
Politik Etis merupakan salah satu kebijakan yang diterapkan pada masa kependudukan Belanda. Kalau kamu ingin mengetahui informasi lengkap seputar kebijakan tersebut, bisa langsung cek saja artikel berikut ini.
Setelah mendapatkan protes dari kaum-kaum humanis, Belanda kemudian memberlakukan kebijakan Politik Etis. Apa itu Politik Etis dan bagaiamana penerapannya? Kamu bisa menemukan jawabannya di sini.
Menurut catatan sumber sejarah, kebijakan tersebut digagas oleh Conrad Theodor van Deventer. Ia merupakan seorang pengacara, politikus, sekaligus penulis asal Belanda. Kebijakan itu baru diberlakukan pada tahun 1901.
Nah, kamu sepertinya ingin mengetahui lebih banyak informasi tentang kebijakan Politik Etis ini, kan? Daripada kebanyakan basa-basi, lebih baik langsung cek saja ulasan lengkapnya di bawah ini. Selamat membaca!
Latar Belakang Penerapan Kebijakan Politik Etis
Sumber: Wikimedia Commons
Seperti yang mungkin telah kamu ketahui, Belanda sudah menjajah bangsa Indonesia selama beratus-ratus tahun. Tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alamnya saja, tetapi juga tenaga rakyat.
Terlebih lagi ketika Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel pada tahun 1830. Penderitaan yang dirasakan oleh rakyat pada waktu itu sangatlah luar biasa.
Mereka harus merelakan tanah untuk cultuurstelsel melebihi apa yang ditetapkan. Semua hasil panen diserahkan pada pemerintah Belanda, termasuk kelebihan panennya.
Selanjutnya, rakyat harus membayar pajak tanah yang mencekik. Belum lagi menanggung kerugian jika mengalami gagal panen. Padahal seharusnya itu semua ditanggung oleh Belanda.
Untuk rakyat yang tidak memiliki tanah juga tidak kalah miris. Pada awalnya, mereka hanya ditetapkan untuk bekerja di perkebunan milik Belanda selama 66 hari.
Namun kenyataanya, masa kerjanya lebih lama dari yang sudah ditentukan. Bahkan, mereka juga tidak diberi makan dan gaji yang layak. Akibatnya, banyak yang meninggal karena kelelahan.
Mendapatkan Banyak Kecaman
Kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah Belanda tersebut menuai protes atau kecaman dari warganya sendiri, terutama kaum humanis.
Salah satunya adalah Eduard Douwes Deker, seorang asisten residen Belanda yang bertugas di Lebak, Banten. Ia menulis kebijakan pemerintahan Belanda yang membuat rakyat menderita. Tulisannya tersebut dimuat dalam buku berjudul Max Havelaar dengan menggunakan nama samaran, yaitu Multatuli.
Selanjutnya, ada Fansen van de Putter yang juga berkontribusi dalam gerakan protes tersebut. Ia menulis tentang penderitaan dan kerugian petani pribumi berkaitan dengan Perjanjian Gula.
Selain itu, van Deventer juga menuliskan tentang kemiskinan yang terjadi di Hindia Belanda. Tulisannya dimuat dalam sebuah majalah yang terbit pada tahun 1899
Di situ, juga tertulis himbauan untuk pemerintah agar lebih memberikan perhatian terhadap kesejahteraan rakyat jajahan. Nah, gagasan mengenai kebijakan Politik Etis diambil dari tulisan-tulisan miliknya.
Baca juga: Ulasan Lengkap Silsilah Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Majapahit
Kebijakan-Kebijakan Politik Etis
Sumber: Wikimedia Commons
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai isi dari kebijakan Politik Etis, tidak ada salahnya jika membahas tujuan mengapa pihak Belanda menerapkannya. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah untuk membalas budi kepada rakyat Hindia Belanda.
Penderitaan rakyat karena kebijakan-kebijakan Belanda pada waktu itu memang sudah tidak dapat terelakkan lagi. Maka dari itu, mereka menyusun program-program untuk setidaknya membuat daerah jajahan menjadi lebih baik. Itulah mengapa kebijakan tersebut juga disebut sebagai Politik Balas Budi.
Ketika naik tahta pada tanggal 17 September 1901, Ratu Wilhelmina secara resmi merespons protes dari kaum humanis. Dalam pidatonya, sang pemimpin mengatakan bahwa pemerintah Belanda akan menjawab panggilan moral tersebut dengan menerapkan program Trias Van Deventer.
Program yang kemudian dikenal dengan nama Politik Etis tersebut berisi 3 kebijakan. Dengan menerapkan ketiga hal pokok tersebut, pemerintah Belanda berharap supaya kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Namun selain itu, mereka memiliki agenda tersendiri, yaitu mencegah protes berkelanjutan dari masyarakat sehingga dapat mempertahankan kekuasaan. Ketiga kebijakan tersebut adalah:
1. Irigasi (Pengairan)
Sumber: Wikimedia Commons
Pertanian dan perkebunan merupakan sumber utama yang mendukung perekonomian Hindia Belanda. Maka dari itu, pemerintah Belanda menerapkan program irigasi.
Mereka membangun infrastruktur untuk pengairan dan segala hal yang menjadi penunjangnya. Dengan adanya bantuan tersebut, diharapkan produktivitasnya akan menjadi lebih baik. Jika produktivitas meningkat, otomatis perekonomian juga akan meningkat sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih sejahtera.
Salah satu perwujudannya adalah pembangunan infrastruktur irigasi di Demak seluas 67.200 hektar yang sebenarnya sudah mulai dibangung pada tahun 1885. Prasarana tersebut kemudian mengalami perluasan hingga 121.000 hektar pada tahun 1902.
Selain itu, ada juga Waduk Prijetan yang terletak di Kabupaten Lamongan. Luasnya mencapai 231 hektar dang diresmikan pada tahun 1917. Hingga kini, bendungan air tersebut masih digunakan oleh masyarakat sekitar.
Baca juga: Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat
2. Migrasi
Maksud dari program imigrasi ini adalah mengajak penduduk Jawa untuk pindah ke luar pulau. Nantinya, lebih dikenal dengan transmigrasi.
Sejak zaman dahulu, Pulau Jawa menjadi sentral segala kegiatan ekonomi sehingga tidak mengherankan jika jumlah penduduknya sangat padat. Akibatnya, memang terjadi kesenjangan antara penduduk di sini dengan yang ada di luar pulau Jawa.
Supaya pulau lain juga dapat berkembang, maka pemerintah Belanda mendorong para warga untuk melakukan transmigrasi. Salah satu efek positifnya adalah warga mendapatkan kesempatan kerja yang lebih banyak.
Jika mendapatkan pekerjaan, tentu saja akan meningkatkan perekonomian. Namun selain itu, tujuan utamanya memang adalah untuk untuk pemerataan jumlah penduduk.
Bayangkan saja, penduduk di Pulau Jawa sudah mencapai 28 juta jiwa pada tahun 1900 lalu. Maka dari itu, kemudian banyak warga yang dipindahkan ke Sumatra untuk mengelola perkebunan.
3 Edukasi (Pendidikan)
Sumber: Wikimedia Commons
Kebijakan Politik Etis yang terakhir adalah memberikan edukasi atau pendidikan untuk pribumi. Tujuannya adalah supaya generasi penerus memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mendukung kehidupannya kelak.
Meskipun begitu, kebijakan mengenyam pendidikan tersebut dibagi oleh Belanda sesuai status sosial dan golongannya. Untuk anak-anak yang memiliki orang tua terpandang dan PNS, mereka akan masuk kelas 1. Sementara itu, anak-anak pribumi golongan bawah akan masuk ke kelas 2.
Pada dasarnya, sekolah tersebut mengajari pribumi pelajaran dasar seperti menghitung, membaca, menulis, pengetahuan alam, seni, ilmu bumi, dan ilmu kedokteran.
Di tahun 1901, Belanda sudah mendirikan 43 sekolah, baik di ibu kota karesidenan maupun afdeling. Dua tahun kemudian, jumlah sekolah meningkat sangat pesat yaitu sebanyak 571.
Sekolah-sekolah itu hanya yang ada di Pulau Jawa dan Madura saja, lho. Pada waktu itu terdiri dari 326 sekolah swasta dan 245 sekolah negeri.
Baca juga: Prasasti Peninggalan yang Menunjukkan Keberadaan Kerajaan Kutai
Pembagian Sekolah Belanda
Adapun pembagian tingkatan sekolah pada waktu itu adalah:
a. Hollandsch Indlandsche School (HIS) merupakan tingkatan sekolah dasar (SD).
b. Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs (MULO) adalah sekolah tingkat menengah pertama (SMP).
c. Algemeene Middlebare School (AMS) bisa dikatakan setara dengan sekolah menengah atas (SMP).
d. Selanjutnya, ada Kweek School yang diperuntukkan bagi kaum pribumi yang ingin menjadi guru.
e. Technische Hoogeschool adalah perguruan tinggi teknik. Saat ini lebih dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB).
f. Rechtshoogeschool te Batavia merupakan perguruan tinggi hukum yang berada di jakarta. Kini berubah menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
g. The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) adalah perguruan untuk dokter pribumi. Perguruan tinggi tersebut kini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Baca juga: Candi-Candi Peninggalan yang Menjadi Bukti Peradaban Kerajaan Singasari
Penyimpangan Kebijakan Politik Etis
Apabila dilihat dari rancangan dan implementasi di atas, kebijakan Politik Etis memang baik serta menguntungkan pribumi. Sayangnya, masih ditemukan celah-celah untuk melakukan penyimpangan dalam menerapkan kebijakan tersebut. Urainnya adalah sebagai berikut:
1. Penyimpangan di Kebijakan Irigasi
Sumber: Wikimedia Commons
Jika merunut sesuai rancangan kebijakan Politik Etis, semua lahan pertanian maupun perkebunan akan diuntungkan oleh sistem irigasi yang dibangun oleh Belanda. Namun, kenyataan dalam lapangan sangatlah jauh berbeda.
Rupanya, yang diuntungkan dalam pembangunan irigasi tersebut hanyalah orang-orang yang memiliki tanah subur. Selain itu, kebanyakan infrastruktur dibangun tak jauh dari perkebunan swasta milik Belanda.
Sementara itu, perkebunan dan pertanian milik rakyat biasa diabaikan. Pada akhirnya, hasil panen milik rakyat tentu saja tidak maksimal jika dibandingkan yang mendapatkan peningkatan sarana dan prasarana.
Jadi, kesimpulannya adalah peningkatan ekonomi yang digadang-gadang akan terjadi karena adanya perbaikan irigasi tersebut hanyalah omong kosong. Ya, mungkin ada rakyat yang merasakannya, tapi itu hanya sebagian kecil saja.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
2. Penyimpangan di Kebijakan Migrasi
Seperti yang sudah kamu baca di atas, kebijakan Politik Etis dalam hal migrasi bertujuan untuk meratakan jumlah penduduk. Orang-orang yang pindah ke luar Jawa memang berkesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Hal itu dikarenakan di sana memang kekurangan sumber daya manusia.
Sayangnya, orang-orang tersebut hanya dipindahkan ke daerah-daerah yang banyak terdapat perkebunan milik Belanda. Mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar di perkebunan itu, terutama yang berlokasi di daerah Deli, Sumatra Utara.
Upahnya juga tidaklah terlalu besar. Maka dari itu, tidak sedikit orang yang berusaha untuk melarikan diri. Karena banyak yang lari, pemerintah Belanda kemudian menetapkan Poenale Sanctie atau hukum pidana.
Pekerja yang kabur akan dicari dan setelah tertangkap akan dikembalikan kepada pengawas atau pemilik lahan. Nantinya, pemilik lahan yang berhak menentukan hukumannya. Kebanyakan pekerja akan dihukum cambuk, tetapi ada juga yang mendapatkan hukuman denda.
3. Penyimpangan di Kebijakan Edukasi
Sumber: Wikimedia Commons
Dan yang terakhir, tujuan dari program edukasi dalam Politik Etis adalah supaya pribumi mendapatkan pengetahuan dan keterampilan untuk kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, rupanya sekolah tersebut menjadi ajang untuk mendapatkan tenaga administrasi terampil berupah rendah bagi pemerintah Hindia Belanda.
Selain itu, pelaksanaannya terdapat banyak sekali diskriminasi. Dalam uraian di atas, tertulis bahwa semua rakyat berhak mendapatkan pendidikan.
Namun yang terjadi adalah pengajaran di kelas untuk golongan terpadang dan rakyat biasa sangatlah berbeda. Maka dari itu, kesenjangannya terlihat sangat nyata.
Selain itu, pembangunan sekolah ini juga berdampak untuk orang-orang kaum indo atau hasil pernikahan campuran. Mereka tidak dapat masuk ke sekolah tinggi yang didirikan oleh Belanda. Jika ingin menempuh pendidikan tinggi, mereka harus pergi ke Eropa dengan biaya yang tidak sedikit.
Baca juga: Faktor yang Dinilai Menjadi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri
Dampak Kebijakan Politik Etis
Sumber: Wikimedia Commons
Sebuah kebijakan yang dilakukan tentu saja memiliki dampak, baik itu yang bernilai positif maupun negatif. Adapun dampak kebijakan Politik Etis adalah sebagai berikut:
1. Pembangunan Infrastruktur
Tujuan pembangunan infrastruktur di Hindia Belanda sejatinya hanyalah untuk memperlancar kepentingan pemerintah Belanda semata. Terutama, dalam hal pengangkutan komoditas ekspor.
Hanya saja, pada akhirnya penduduk juga bisa merasakan manfaatnya. Selain bendungan yang menjadi irigasi, ada pula jalur kereta api yang hingga sekarang masih bisa dimanfaatkan.
2. Munculnya Kaum Terpelajar
Dampak positif dengan adanya kebijakan Politik Etis adalah munculnya kaum terpelajar dari golongan pribumi. Namun tentu saja, tidak semuah orang berpendidikan tersebut mau mengabdikan dirinya untuk memperjuangkan nasib kaumnya.
Sebagian kaum terpelajar memang memilih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan memimpin pergerakan nasional. Lalu yang lainnya lebih memilih untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dengan menjadi pegawai pemerintah Belanda.
3. Akulturasi Kebudayaan
Kemudian dampak yang terakhir adalah terjadinya akulturasi budaya. Pada awalnya, orang-orang Belanda tidak mau membagi bahasa atau budaya pada orang lokal.
Namun karena pengajaran di sekolah menggunakan pengantar bahasa Belanda, maka hal tersebut tidak bisa dihindari. Berawal dari bahasa, kemudian berlanjut ke pakaian maupun gaya hidup.
Baca juga: Masa Kejayaan dan Penyebab Runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam
Apakah Ulasan Kebijakan Tentang Politik Etis Ini Mampu Menjawab Pertanyaanmu?
Demikianlah tadi ulasan mengenai kebijakan Politik Etis yang dapat kamu simak di sini. Semoga saja dengan membaca artikel di atas dapat menambah wawasanmu, ya!
Tak hanya seputar penjajahan bangsa-bangsa asing, di PosKata kamu juga bisa menemukan informasi seputar kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia. Jadi, tunggu apalagi? baca terus, yuk!