
Agresi Militer Belanda 2 terjadi tak lama setelah diadakannya Perjanjian Renville yang resmi ditandatangani pada tahun 1748. Lantas, bagaimana kronologi selengkapnya? Cek artikel berikut jika ingin mengetahui jawabannya.
Agresi Militer Belanda I terjadi akibat pengingkaran Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati bersama Pemerintah Indonesia. Setelah beberapa saat melakukan gencatan senjata, kedua belah pihak kemudian menandatangani Perjanjian Renville. Namun lagi-lagi, perundingan tersebut diingkari sehingga meletuslah Agresi Militer Belanda 2.
Keadaan pada waktu itu juga tidak kalah kacau dengan Agresi Militer Belanda I. Bahkan, pihak Belanda sempat ingin menduduki Yogyakarta yang menjadi ibu kota RI sementara.
Lantas, bagaimana sebenarnya kronologi terjadinya Agresi Militer Belanda 2 ini? Kalau penasaran dan tidak sabar untuk membacanya, mending langsung cek saja ulasan lengkapnya di bawah ini, ya!
Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 2
Sumber: Wikimedia Commons
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer I dengan tujuan untuk menguasai sumber daya alam di wilayah Jawa dan Sumatra. Mereka meluncurkan serangan tersebut karena pemerintah Indonesia tidak menggubris ultimatum-ultimatum yang mereka keluarkan.
Suasana saat itu memang benar-benar kacau. Wilayah-wilayah penting dan strategis di Pulau Jawa banyak yang diambil alih oleh Belanda. Tak berhenti di situ saja, mereka juga menguasai perkebunan, pelabuhan, dan pertambangan Pemerintah RI yang ada di luar Jawa.
Perlawanan untuk mempertahankan kedaulatan terjadi di mana-mana yang tentu saja banyak menelan korban jiwa. Kurang lebih sekitar 500.000 orang meninggal dunia, baik dari pasukan khusus maupun warga sipil.
Parahnya, pasukan Belanda juga menembak helikopter yang membawa bantuan obat-obatan untuk rakyat. Peristiwa tersebut menewasakan tiga orang, termasuk salah satunya adalah Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto.
Karena merasa kewalahan dengan keadaan tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian mengadukannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemerintah melaporkan bahwa Belanda telah melanggar Perjanjian Linggarjati.
Aksi Belanda yang sangat kejam itu mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Atas permintaan India dan Australia, masalah tersebut dimasukkan ke agenda Dewan Keamanan PBB.
Pembentukan Komisi Tiga Negara
Agenda tersebut ditanggapi dengan cepat oleh Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, organisasi internasional tersebut mengeluarkan resolusi untuk menghentikan konflik. PBB mengakui bahwa Indonesia adalah sebuah negara berdaulat. Dengan gamblang mereka menyebut Indonesia, bukan Hindia Belanda.
Resolusi tersebut ditanggapi oleh Belanda beberapa hari kemudian. Itupun atas desakan-desakan yang terus dilancarkan oleh PBB. Akhirnya pada tanggal 5 Agustus 1947, Belanda mau menerima resolusi untuk menghentikan agresi militernya.
Pada tanggal 17 Agustus 1947, pihak Indonesia dan Belanda berkompromi dan sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Untuk yang belum tahu, gencatan senjata adalah kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik untuk menghentikan peperangan.
Dewan Keamanan PBB lalu membentuk komite untuk menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Namanya adalah Komisi Tiga Negara atau KTN. Yang menjadi anggotanya adalah negara Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan Amerika Serikat sebagai pihak netral.
Tujuan pembentukan KTN adalah untuk mendekatkan Belanda dan Indonesia supaya menyelesaikan sengketa dengan cara yang damai. Salah satunya adalah lewat diplomasi yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Renville.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Raden Wijaya, Sang Pendiri Kerajaan Majapahit
Perjanjian Renville
Sumber: Wikimedia Commons
Sayang sekali, upaya gencatan senjata tersebut tidak berpengaruh terlalu banyak. Hal itu dikarenakan masih sering terjadi peperangan antara pihak Belanda dengan laskar-laskar pejuang di Indonesia. Tak hanya itu, terkadang juga terjadi baku tembak antara TNI dan pasukan Belanda.
Atas gagasan dari Amerika Serikat, kedua belah pihak itu kemudian dipertemukan kembali. Mereka kemudian menggelar diplomasi di atas kapal perang milik Amerika yang bernama USS Renville yang sedang menepi di Jakarta.
Perundingan damai tersebut dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Pihak yang berkonflik dipertemukan dengan didampingi oleh anggota Komisi Tiga Negara.
Dalam diplomasi tersebut, pihak Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun. Sementara itu, perwakilan Belanda adalah Abdul Kadir Wijoyoatmojo, Mr. H..A.L. Van Vredenburg dan P.J. Koets.
Ya, kamu tidak salah membaca. Salah satu wakil Belanda merupakan seorang Indonesia yang memang loyal terhadap pemerintah Belanda.
Selain itu, datang pula PBB yang menjadi mediator dalam diplomasi tersebut. Anggotanya adalah Frank Graham dari Amerika Serikat, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Richard Kirby dari Australia. Mereka ini adalah orang-orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Komisi Tiga Negara.
Isi Perjanjian Renville
Dengan didampingi oleh para saksi, Indonesia dan Belanda kemduian menyepakati Perjanjian Renville yang disahkan pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun isi dari perjanjian Renville adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat tetap dilaksanakan.
2. Pembentukan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai oleh Raja Belanda. Kedudukan Uni Indonesia Belanda ini sejajar dengan RIS.
3. Belanda tetap berhak atas Indonesia sebelum RIS terbentuk. Untuk sementara, kekuasaan dapat diserahkan pada pemerintah federal.
4. Negara Republik Indonesia menjadi salah satu bagian dari Republik Indonesia Serikat.
5. Untuk mementukan nasib wilayah dan Dewa Konstituante RI akan diadakan pemilihan umum.
6. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah kekuasaan Indonesia.
7. Wilayah antara Indonesia dan Belanda dibatasi oleh sebuah garis demarkasi yang bernama Garis Van Mook.
8. Tentara Nasional Indonesia harus ditarik dari wilayah milik Belanda dan kembali ke wilayah Indonesia.
Baca juga: Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui
Dampak dari Perjanjian Renville
Salah satu dampak positif dari ditandatanganinya Perjanjian Renville adalah Agresi Militer Belanda I benar-benar berakhir. Akan tetapi, isi dari perundingan tersebut rupanya lebih banyak dampak negatifnya untuk Indonesia.
Salah satu contohnya adalah wilayah Republik Indonesia yang semakin menyempit. Karena pada perjanjian sebelumnya, yang termasuk ke dalam wilayah kedaulatan adalah Pulau Jawa, Sumatra, dan Madura.
Sehubungan dengan hal tersebut, banyak wilayah Indonesia yang berfungsi sebagai penghasil kebutuhan pokok dikuasai oleh Belanda. Akibatnya, keadaan ekonomi Indonesia sangatlah kacau.
Tidak ada bahan pangan, sandang, dan senjata yang bisa dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia. Blokade ekonomi tersebut memang merupakan salah satu cara Belanda untuk membuat pemerintahan Indonesia menjadi lemah.
Tak berhenti di situ saja, bangsa asing itu juga membentuk negara-negara boneka untuk memecah belah RI. Contoh-contoh negara boneka yang dimaksud adalah negara Madura, Borneo Barat, Jawa Timur, Sumatra Timur, dan lain-lain.
Meletusnya Agresi Militer Belanda 2
Perundingan Renville tersebut rupanya tidak berjalan dengan semestinya. Kedua belah pihak tetap bersikukuh dengan pendirian masing-masing. Indonesia yang tetap ingin mempertahankan kedaulatan dan Belanda yang ingin menguasai kembali daerah jajahannya.
Puncaknya adalah pihak Belanda mengirimkan nota kepada KTN yang berisi tentang tuduhan bahwa Indonesia melanggar Perjanjian Renville. Pihaknya berkata bahwa Indonesia mengirimkan pasukan gerilya ke daerah-daerah kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 18 Desember 1948, Dr. Beel selaku Wali Tinggi Belanda memberikan pengumaman bahwa mereka tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Inilah yang menandakan meletusnya Agresi Militer Belanda jilid 2 atau yang juga dikenal sebagai Operasi Gagak (Operatie Kraai).
Keesokan harinya, pasukan Belanda menyerang Yogyakarta yang pada waktu itu berstatus sebagai ibu kota sementara Republik Indonesia. Pagi-pagi buta, mereka mengirim banyak sekali pasukan udara dan menjatuhkan bom di Lapangan Udara Maguwo pada pukul 15.45 WIB. Tidak hanya itu saja, mereka juga menjatuhkan tembakan dengan senapan mesin.
Yang menjadi pemimpin serangan tersebut adalah Letnan Jendral Simon Hendrik Spoor. Tindakan tersebut mereka anggap sebagai pengamanan untuk para perusuh yang mengganggu wilayah kekuasaannya.
Kesiapan Indonesia Menghadapi Serangan Mendadak Belanda
Menurutmu, apakah Indonesia siap untuk menghadapi serangan mendadak dari Belanda tersebut? Tentu saja tidak. Hal ini dikarenakan RI percaya kalau keadaan akan menjadi aman setelah ada perjanjian hitam di atas putih.
Terlebih lagi, ada Komisi Tiga Negara yang senantiasa membantu dan mengawasi berlakunya Perjanjian Renville. Namun semestinya, pemerintah tetap harus berjaga-jaga mengingat pada perjanjian yang sebelumnya Belanda juga mengingkarinya.
Pada saat mendapatkan serangan, TNI yang berjaga di wilayah Maguwo hanya berjumlah 150 orang. Peralatan perangnya pun sangat terbatas jika dibandingkan dengan armada lawan.
Pertempuran antara TNI dan pasukan Belanda KNT terjadi sekitar pukul 06.45 WIB dan kurang lebih berlangsung selama 25 menit. Meskipun singkat, kejadian tersebut mampu merenggut nyawa lebih dari 100 tentara. Sementara itu, tak seorang pun pasukan Belanda gugur.
Setelah itu, datang lagi pasukan Belanda yang dipimpin oleh van Langen, jumlahnya kurang lebih 5.000 tentara. Agenda mereka selanjutnya adalah mengepung Yogyakarta.
Baca juga: Ulasan Lengkap Silsilah Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Majapahit
Agenda Agresi Militer Belanda 2: Penyerangan Yogyakarta
Sumber: Wikimedia Commons
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai penyerangan Yogyakarta, tidak ada salahnya jika membahas sejenak mengenai tujuan Belanda melakukan Agresi Mililter jilid 2. Tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan status negara kesatuan milik Indonesia.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menguasai Yogyakarta yang pada saat itu dijadikan ibu kota sementara. Selanjutnya, mereka juga akan menangkap para pemimpin Republik Indonesia.
Penyerangan terhadap Yogyakarta dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948. Sementara itu di daerah-daerah lain, Belanda sudah mulai menyerang pada tanggal 18 Desember malam.
Mengetahui apa yang dilakukan oleh Belanda, Panglima Besar Soedirman kemudian melapor kepada Presiden Soekarno. Kebetulan pada waktu itu, para petinggi tengah mengadakan sidang mengenai situasi genting yang sedang dihadapi. Ada tiga hal yang diputuskan dalam sidang tersebut:
a. Pemerintah Republik Indonesia memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membuat Pemerintah Darurat RI (PDRI). Pusatnya nanti berada di Sumatra.
b. Meskipun berisiko, Presiden dan Wakil Presiden RI diharuskan tetap tinggal di kota supaya dekat dengan KTN.
c. Pimpinan TNI membentuk pertahanan kawasan di Jawa dan Sumatra dengan cara bergerak ke luar kota dan melakukan perang gerilya.
Baca juga: Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat
Belanda Beraksi untuk Mengambil Alih Yogyakarta
Suasana di Yogkarta pada tanggal 19 Desember 1948 tersebut sangatlah mencekam. Ledakan bom terdengar di mana-mana.
Dalam buku yang berjudul Reuni Keluarga Bekas Resimen 22 -WK.III Tanggal 1 Maret 1980 di Yogyakarta, A. Eryono menuliskan bahwa Belanda berhasil masuk ke kota Jogja sekitar pukul dua siang. Berita tersebut merupakan laporan dari Kolonel Latif Hendraningrat kepada Jendral Soedirman.
Mengetahui keadaan sudah benar-benar genting, sang jendral memerintahkan pasukannya untuk bergerilya. Tidak hanya untuk mempertahankan keamanan, tetapi juga supaya tidak ditangkap oleh Belanda.
Di sisi lain, tentara Belanda bisa dengan mudah menangkap para petinggi Republik Indonesia. Hal itu dikarenakan pasukan pertahanan TNI yang masih tersisa tidak cukup kuat untuk melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda kemudian mengepung istana dan berhasil menjadikan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan hampir semua menteri sebagai tawanan rumah. Kejadian ini membuat bangsa penjajah itu merasa berhasil melumpuhkan pemerintahan Indonesia.
Sebenarnya, Jendral Soedirman sudah menyarankan para pemimpin untuk bergerilya. Namun, presiden tetap kekeuh untuk mencoba menyelesaikan masalah dengan jalur diplomasi.
Kedua pemimpin tersebut memang sempat berbeda pendapat. Namun akhirnya, keputusan telah ditetapkan sesuai dengan tiga poin yang telah kamu baca di atas. Karena memang, pada akhirnya mereka berjuang sesuai dengan keahlian masing-masing.
Baca juga: Faktor yang Ditengarai Sebagai Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kutai
Pengasingan Para Pemimpin RI
Melalui Agresi Militer 2 ini, para tokoh petinggi RI dapat ditangkap oleh Belanda. Lalu pada tanggal 22 Desember 1948, mereka diasingkan di tempat yang terpisah. Mengenai tempat pengasingan, mereka sama sekali tidak tahu. Bahkan, pilotnya saja tahu ketika akan berangkat.
Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim diterbangkan ke Brastagi dan Prapat. Sementara itu, Mohammad Hatta, Kolonel Soerjadi Soerjadarma, AG Pringgodigdo, dan Ketua KNIP Assaat diasingkan ke Bukit Menumbing, Mentok.
Pemimpin-pemimpin RI memang telah ditangkap. Namun bukan berarti perjuangan berhenti sampai di situ saja.
Jendral Soedirman tetap memimpin perlawanan dengan cara gerilya. Sementara itu, sesuai dengan keputusan sidang darurat, Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat RI (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi.
Selain itu, dipersiapkan juga rencana cadangan apabila PDRI gagal. Rencananya adalah memerintahkan Sudarsono, LN Palar, dan A.A. Maramis yang sedang di New Delhi untuk membentuk Pemerintah dalam Pengasingan.
Baca juga: Candi-Candi Peninggalan yang Menjadi Bukti Peradaban Kerajaan Singasari
Mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Pada tanggal 22 Desember 1948, secara resmi Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi. Susunannya adalah sebagai berikut:
- Ketua DPRI/Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri ad Interim: Syafruddin Prawiranegara
- Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama: T.M. Hassan
- Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman: Lukman Hakim
- Jabatan Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda: Sutan Mohammad Rasjid
- Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan: Ir. Mananti Sitompul
- Jabatan Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran: Ir. Indracaya
Setelah PDRI didirikan, para menterinya menjadi target utama Agresi Militer Belanda 2. Untuk menghindari penangkapan, mereka menyamar dan bergerilya keluar masuk hutan. Bahkan, pihak Belanda mengejek mereka sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia.
Kondisi Indonesia pada saat itu tentu saja sangat genting. Perlawanan tetap terjadi di mana-mana, baik di Jawa maupun Sumatra. Tak hanya dilakukan oleh TNI, tetapi juga laskar-laskar pejuang kedaulatan.
Selanjutnya, PDRI membentuk pemerintahan militer di Sumatra pada tanggal 1 Januari 1949. Adapun wilayahnya adalah Aceh, Tapanuli & Sumatra Timur, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Riau. Tiap daerah memiliki gubernur militer dan wakilnya masing-masing.
Lalu pada tanggal 31 Maret 1949, PDRI melakukan sesi komunikasi dengan empat menteri yang berada di Jawa. Keempat menteri itu adalah dr. Sukiman, I.J. Kasimo, Supeno, dan Susanto. Mereka tidak ditangkap Belanda karena pada saat itu mereka tidak berada di Yogyakarta.
Setelah pendirian PDRI sebenarnya terjadi dualisme kepemimpinan, yaitu di Jawa dan Sumatra. Untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan, Syafruddin Prawiranegara kemudian menggabungkan komando dan melakukan penyempurnaan pimpinan PDRI.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
Perjuangan Indonesia di Dunia Internasional
Sumber: Wikimedia Commons
Mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia merupakan sebuah cita-cita bersama. Maka dari itu, tidak hanya orang-orang di dalam negeri yang berjuang. Akan tetapi, mereka yang tinggal di luar juga ikut membantu sekuat tenaga.
Seperti yang telah kamu baca sebelumnya, ada beberapa tokoh penting Indonesia yang tinggal di luar negeri. Mereka adalah orang-orang yang dimandati untuk membentuk Pemerintahan dalam Pengasingan oleh Presiden Soekarno jika PDRI tidak berjalan dengan lancar.
Yang pertama adalah Dr. Soedarsono. Ia merupakan wakil RI yang berkedudukan di New Delhi.
Kemudian, A.A. Maramis yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menggantikan Agus Salim yang ditangkap Belanda. Dan, yang terakhir adalah L.N. Palar yang merupakan perwakilan Indonesia di PBB.
Karena PDRI berjalan sesuai yang direncanakan, ketiga orang itu lalu memperjuangkan nasib Indonesia ke dunia internasional dengan mengikuti sidang PBB. Mereka ingin keadaan kembali seperti semula dengan Presiden Soekarno sebagai pemimpin RI.
Persidangan Dewan Keamanan PBB
Pada tanggal 22 Desember 1948, tiga wakil Indonesia tersebut mengikuti sidang Dewan Keamanan PBB. Agresi Militer Belanda 2 menjadi salah satu pokok bahasan dalam persidangan tersebut.
Di depan banyak delegasi negara, A.A. Maramis mengungkapkan apa yang sebenarnya yang terjadi di Indonesia. Tentu saja juga mengenai Belanda yang melanggar perjanjian serta melakukan operasi militer.
Sayangnya, pernyataan itu disanggah oleh perwakilan Belanda. Ia mengatakan bahwa keadaan di Indonesia telah kembali seperti sedia kala. Beruntungnya, PBB tidak percaya begitu saja.
Organisasi internasional tersebut kemudian mengirimkan anggota KTN untuk untuk mengecek kebenarannya. Pada tanggal 15 Januari 1949, mereka tiba di tempat pengasingan dan menemukan fakta bahwa apa yang dikatakan oleh perwakilan Belanda sama sekali tidak benar.
Setelah mengetahui kebenarannya, Indonesia mendapatkan banjir simpati dari berbagai negara. Salah satunya adalah Amerika Serikat.
Negara tersebut pada awalnya bersikap netral. Namun setelah mengetahui fakta yang terjadi, mereka mendesak PBB untuk segera mengatasi masalah mengenai Agresi Militer Belanda 2 ini.
Baca juga: Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang Sarat Akan Nilai Sejarah
Resolusi Dewan Keamanan PBB
Sumber: Wikimedia Commons
Sehubungan dengan masalah Agresi Militer Belanda 2 di Indonesia, perwakilan-perwakilan RI diundang ke New Dehli oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India. Mereka menghadiri Konferensi Inter-Asia yang diselenggarakan pada tanggal 20–23 Januari 1949.
Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengumpulkan para pemimpin yang sedang memperjuangkan kedaulatan negerinya. Selain itu, konferensi juga diadakan untuk memupuk persatuan negara-negara Asia.
Jadi, dalam konferensi tersebut tidak hanya dihadiri oleh perwakilan negara-negara Asia seperti Tiongkok, Arab Saudi, Pakistan, Myanmar, Thailand, dan lain-lain. Akan tetapi, ada juga perwakilan Afrika, Oceania, Mesir, Selandia Baru, dan Australia.
Dari pertemuan tersebut diperoleh sebuah kabar baik. Perwakilan-perwakilan negara yang mengikuti konferensi sepakat dan semakin mendesak PBB untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.
Pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB menerbitkan resolusi lain agar sengketa antara Indonesia dan Belanda segera berakhir. Walaupun sebenarnya pihak Belanda masih bergeming dan tetap berhasrat untuk menguasai wilayah-wilayah Indonesia.
Isi dari Resolusi Dewan Keamanan PBB
Beberapa poin penting yang termuat dalah Resolusi DK PBB tertanggal 28 Januari 1949 adalah:
1. Indonesia dan Belanda harus segera menghentikan semua operasi militer. Kedua pihak harus bekerjasama untuk segera berdamai.
2. Belanda harus mengembalikan Yogyakarta kepada Pemerintah Indonesia dan dibebaskan untuk melakukan tugasnya.
3. Selanjutnya, Belanda juga harus membebaskan tanpa syarat para tawanan politik yang ditahan sejak tanggal 19 Desember 1948.
4. Pemerintah Indonesia diperbolehkan untuk segera menyusun UUD, selambat-lambatnya tanggal 1 Juli 1949.
5. Antara Indonesia dan Belanda harus melakukan perundingan kembali berdasarkan Perjanjian Linggarjati dan Renville. Perjanjian itu juga paling lambat harus dilakukan pada tanggal 1 Juli 1949.
6. PBB akan segera membentuk United Nations Comission for Indonesia (UNCI). Komisi tersebut merupakan pengganti dari Komisi Tiga Negara.
Kewenangan dari UNCI tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan KTN. Tugasnya tidak hanya untuk membantu supaya pihak yang bertikai segera berdamai dan mendesak Belanda menyerahkan kedaulatan RI. Akan tetapi, komisi tersebut juga mengawasi penyelenggaraan pemilu dan perancangan UUD.
Baca juga: Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri
Berakhirnya Agresi Militer Belanda Jilid 2
Sumber: Wikimedia Commons
Resolusi yang diterbitkan oleh Dewan Keamanan PBB tersebut awalnya ditolak oleh pihak Belanda. Karena menurut mereka, resolusi tersebut hanya menguntungkan Indonesia saja.
Secara resmi, penolakan itu diumumkan oleh Wakil Agung Kerajaan Belanda, yaitu Louis Beel. Pernyataan ini rupanya memicu kerusuhan 1 Maret 1949.
Peristiwa tersebut rupanya semakin membuat dunia internasional mendesak Belanda agar segera mengembalikan kedaulatan Indonesia. Maka dari itu, bangsa penjajah tersebut akhirnya mau melakukan perundingan.
Pada tanggal 17 April 1949, diadakanlah Perjanjian Roem-Roijen. Nama tersebut diambil dari perwakilan masing-masing pihak. Dari Indonesia adalah Mohammad Roem, sementara perwakilan Belanda adalah Herman van Roijen.
Awalnya, perundingan tersebut tidak berjalan dengan lancar. Bahkan, mereka harus memanggil Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Isi dari Perjanjian Roem-Roijen adalah kesediaan masing-masing pihak untuk berdamai. Dari Indonesia menyatakan:
- Memberikan perintah kepada rakyat RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
- Mau bekerjasama untuk berdamai, menjaga ketertiban, dan keamanan.
- Mau turut serta dalam Konferensi Meja Bunda (KMB) di Den Haag untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.
Sementara itu, dari pihak Belanda menyatakan:
- Bersedia mengembalikan Yogyakarta kepada Pemerintah Indonesia.
- Membebaskan tahanan politik dan menghentikan gerakan-gerakan militer.
- Tidak mendirikan atau mengakui negara yang berada di wilayah Republik Indonesia. Selain itu, Belanda juga tidak akan memperluas daerah yang akan merugikan RI.
- Republik Indonesia dianggap sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
- Mengusahakan agar KMB terlaksana, segera setelah Yogyakarta dipegang kembali oleh pemerintah RI
Baca juga: Ulasan Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja Pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam
Konferensi Meja Bunda dan Penyerahan Kedaulatan
Sumber: Wikimedia Commons
Perjanjian Roem-Roijen di atas resmi ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949. Selanjutnya pada tanggal 6 Juli 1949, Belanda menyerahkan Yogyakarta kembali pada Presiden Soekarno dan Hatta.
Kemudian pada tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan mandat kepada Presiden dan mengakhiri pemerintahan PDRI. Di hari yang sama, Kabinet Hatta juga mengesahkan Perjanjian Roem-Roijen.
Sebulan kemudian, Belanda dan Indonesia melakukan gencatan senjata. Tepatnya, di wilayah Jawa pada tanggal 11 Agustus dan Sumatra tanggal 15 Agustus 1949.
Perjanjian tersebut tentu saja belum mengakhiri Agresi Militer Belanda 2. Selanjutnya, semua permasalahan yang telah terjadi dibawa ke Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Adapun hasil dari KMB adalah:
- Kerajaan Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia Serikat tanpa syarat.
- Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan berdasarkan ketentuan konstitusinya.
- Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
- Belanda menyerahkan seluruh wilayah kepada RIS, kecuali Papua Barat.
- Dibentuknya Uni Indonesia-Belanda dengan Pemimpin Kerajaan Belanda sebagai kepala negaranya.
- Utang Hindia Belanda diambil alih oleh RIS.
Sebenarnya, isi dari KMB tersebut tidak serta merta disetujui begitu saja. Utamanya adalah soal utang dan Uni Indonesia-Belanda yang masih menjadi pertimbangan.
Namun yang pasti, akhirnya Indonesia mendapatkan kedaulatan secara penuh pada tanggal 27 Desember 1949. Hal ini juga yang menandai akhir dari Agresi Militer Belanda jilid 2.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Mataram Islam
Sudah Puas Membaca Kronologi Lengkap tentang Agresi Militer Belanda 2 ini?
Demikianlah informasi lengkap mengenai kronologi Agresi Militer Belanda Jilid 2 yang bisa kamu baca di sini. Cukup panjang memang, tapi semoga saja dapat membantumu memahami apa yang terjadi pada peristiwa bersejarah tersebut.
Di PosKata ini, kamu tidak hanya akan menyimak informasi mengenai masa ketika Indonesia dijajah saja, lho. Akan tetapi, kamu pun dapat menemukan informasi menarik seputar kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia. Baik mengenai sejarah berdirinya, peninggalan sejarah, maupun silsilah para raja yang pernah memimpin.
Untuk Kerajaan bercorak Islam beberapa yang dapat disimak adalah Samudra Pasai, Demak, Aceh, dan Mataram Islam. Sementara itu, kerajaan bercorak Hindu-Buddha meliputi Singasari, Majapahit, Sriwijaya, Tarumanegara, dan lain-lain. Jangan sampai melewatkan informasi menariknya, ya!