
Informasi lengkap mengenai silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Banten yang bercorak Islam ini memang sayang sekali jika dilewatkan. Untuk itu, jika penasaran, langsung saja cek ulasannya berikut ini, ya!
Jika membicarakan tentang silsilah Kerajaan Banten, kamu mungkin sudah familier dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Raja Banten kelima yang terkenal tersebut yang mampu membawa kerajaan menuju puncaknya kembali setelah mengalami periode kelam.
Nah tenang saja, di artikel ini nanti kamu tidak hanya akan menyimak informasi mengenai Sultan Ageng Tirtayasa saja, kok. Akan tetapi, kamu juga akan membaca profil pendiri Kerajaan Banten hingga raja terakhirnya.
Sepertinya, kamu sudah tidak sabar ingin segera membacanya, ya? Kalau begitu, tidak usah kebanyakan basa-basi lagi. Lebih baik kamu simak saja selengkapnya di bawah ini!
Daftar Nama Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Banten
Berikut ini adalah nama raja yang masuk ke dalam daftar silsilah pemegang tahta Kerajaan Banten. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Sultan Maulana Hasanuddin
Sultan Maulana Hasanuddin merupakan pendiri sekaligus raja pertama dari Kerajaan Banten. Ia resmi diangkat menjadi pemimpin kerajaan tersebut pada tahun 1522 Masehi.
Sang sultan bisa dibilang lahir dari golongan orang berada. Ia lahir pada tahun 1479 dari pasangan Syarief Hidayatullah dan Nyimas Kawunganten.
Ayahnya adalah seorang pendakwah yang merintis penyebaran agama Islam di Pulau Jawa atau Walisongo. Ia lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Sementara itu, mengenai asal-usul ibunya sedikit kurang jelas. Ada yang mengatakan kalau ia adalah cucu dari Raja Pakuan. Namun kebanyakan sumber menuliskan bahwa ia adalah anak perempuan dari penguasa Banten, yaitu Prabu Surosowan.
Laki-laki yang memiliki nama kecil Pangeran Sabakingkin tersebut memiliki saudara perempuan bernama Ratu Winahon. Saudaranya ini menikah dengan bangsawan yang juga turut menyebarkan islam bernama Pangeran Atas Angin atau dikenal juga dengan Syekh Maulana Muhammad Syafei.
Diangkat Menjadi Pemimpin Banten
Setelah dewasa, Pangeran Sabakingkin mendapatkan mandat dari ayahnya untuk ikut menyebarluaskan agama Islam di Banten. Karena pada waktu itu, sang ayah telah menjadi pemimpin Kerajaan Cirebon menggantikan Raja Cakrabuana.
Misi menyebarkan Islam di Banten pada awalnya berjalan dengan mulus. Pengikutnya pun semakin lama semakin banyak. Para murid kemudian memanggil Pangeran Sabakingkin dengan sebutan Syekh Hasanuddin atau Maulana Hasanuddin.
Sayangnya, misi tersebut mendapatkan batu sandungan dari pamannya sendiri, Prabu Pucuk Umun yang kekeuh mempertahankan Hindu sebagai agama resmi. Perseteruan pun terjadi di antara dua orang yang masih memiliki ikatan darah ini.
Untuk mengakhiri perang dingin tersebut, mereka kemudian memutuskan untuk adu ayam. Apabila Maulana Hasanuddin memenangkan sabung ayam ini, maka wilayah Banten akan diserahkan padanya. Namun jika sebaliknya, maka ia harus menghentikan dakwah di wilayah tersebut.
Pertarungan diadakan di lereng Gunung Karang. Hasilnya adalah Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan tersebut.
Sesuai dengan kesepakatan, Prabu Pucuk Umum menyerahkan kepemimpinan kepada ponakannya itu. Setelah itu, ia mengasingkan diri ke pedalaman bersama pengikut setianya.
Pada waktu itu, wilayah Banten masih berada di bawah kekuasaan Demak setelah Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa. Hingga kemudian, Maulana Hasanuddin memilih untuk memisahkan diri setelah Sultan Trenggono, penguasa Demak saat itu, meninggal dunia.
Baca juga: Ulasan Lengkap Silsilah Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Majapahit
Menjadi Raja Pertama Hingga Wafat
Kerajaan Banten memiliki perkembangan yang baik semasa diperintah oleh Sultan Maulana. Apalagi setelah ia memindahkan ibu kota yang semula di Banten Girang ke Surosowan yang dekat dengan pantai Selat Sunda.
Pantai tersebut dikenal sebagai jalur pelayaran perdagangan internasional yang strategis. Terlebih lagi, pelabuhannya menjadi ramai disinggahi oleh para pedagang Islam karena Selat Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Tak hanya memiliki perekonomian yang baik, wilayah kerajaan pun bertambah luas. Sang raja juga memperkuat keamanan dengan membangun benteng yang kuat untuk melindungi serangan dari para musuh.
Nah menurut sejarah yang tertulis, Sultan Maulana Hasanuddin menikahi putri dari Sultan Trenggono yang beranam Ratu Ayu Kirana. Dari pernikahan ini, mereka memiliki tiga orang anak. Mereka adalah Pangeran Suryani, Pangeran Pajajaran, dan Maulana Yusuf.
Pada tahun 1570, Sultan Maulana Hasanuddin meninggal dunia di usianya sudah cukup tua, yaitu 91 tahun. Ia pun dimakamkan di pemakaman yang berlokasi di area Masjid Agung Banten.
2. Sultan Maulana Yusuf
Setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat, silsilah raja yang memimpin Kerajaan Banten kemudian diteruskan oleh Maulana Yusuf. Ia resmi menjadi raja pada tahun 1570.
Sang raja rupanya memiliki semangat ayahnya untuk semakin meluaskan wilayah sekaligus menyebarkan agama Islam. Ia akhirnya berhasil untuk menaklukkan Kerajaan Pajajaran di tahun 1570 dengan bantuan dari Kerajaan Cirebon.
Pada saat itu juga, dirinya menentukan batas wilayah kekuasaannya dengan Kerajaan Cirebon. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya perang perebutan wilayah. Keputusannya, wilayah kedua kerajaan tersebut dibatasi oleh Sungai Citarum.
Pada era pemerintahannya ini, Sultan Maulana Yusuf berfokus untuk membangun kota. Ia memperkuat keamanan wilayahnya dengan mendirikan banyak benteng pertahanan.
Fakta Lain tentang Sultan Maulana Yusuf
Di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Yusuf, Kerajaan Banten kemudian menjadi kota perdagangan pelabuhan yang besar. Pelabuhannya menjadi tempat transit dan penyimpanan barang sebelum dikirim lagi ke daerah yang lain.
Para pedagang dari Arab, Persia, Gujarat, dan Tiongkok kebanyakan singgah di sini. Beberapa barang yang menjadi komoditas adalah rempah-rempah, sutra, beludru, porselen, emas, dan permata.
Menariknya, para pedagang tersebut tidak hanya singgah sementara saja. Banyak di antara mereka kemudian bermukim di wilayah Kerajaan Banten yang kemudian membentuk sebuah perkampungan.
Selain sektor perdagangan, Sultan Maulana Yusuf juga memberikan perhatiannya di bidang pertanian. Ia membuka banyak sekali tanah untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Untuk pengairannya sendiri sudah dipikirkan secara matang. Ia memanfaatkan Sungai Cibanten untuk membuat danau buatan sebagai irigasi. Danau tersebut kemudian dikenal sebagai Tasikardi atau Situ Kardi.
Di tengah-tengah danau yang memiliki luas sekitar lima hektar tersebut, terdapat sebuah pulau yang diberi nama Kaputren. Pulau tersebut biasanya digunakan oleh keluarga istana untuk beristirahat atau merenung dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Sultan Maulana Yusuf memerintah Kerajaan Banten selama sepuluh tahun. Pemerintahan yang begitu singkat jika dibandingkan dengan ayahnya. Pada tahun 1580, ia meninggal dan kemudian dimakamkan di daerah Kampung Kasunyatan.
Baca juga: Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Sosok Pendiri Kerajaan Sriwijaya
3. Sultan Maulana Muhammad
Yang menempati urutan ketiga dalam silsilah raja-raja yang menjadi pemimpin Kerajaan Banten adalah Sultan Maulana Muhammad. Ia merupakan putra dari Sultan Maulana Yusuf.
Sewaktu ayahnya meninggal, umurnya baru menginjak sembilan tahun. Meskipun masih belia, ia tetap diangkat menjadi raja.
Sebelum acara pengangkatan tersebut, sempat terjadi huru-hara perebutan tahta. Saudara Sultan Maulana Yusuf, yaitu Pangeran Jepara, ingin mengambil alih tahta kerajaan.
Ia berdalih kalau dirinya lebih dewasa dan tentu saja dapat bertanggung jawab untuk mengurus kerajaan jika dibandingkan dengan keponakannya. Selain itu, ia juga berhak untuk mewarisi tahta karena masih memiliki hubungan darah langsung dengan pemimpin yang sebelumnya.
Hal tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup alot. Para ulama tetap menginginkan Maulana Muhammad untuk mewarisi tahta ayahnya. Sementara itu, para petinggi kerajaan menolak ide tersebut.
Hingga akhirnya, keputusan yang diambil adalah kerajaan akan dipimpin oleh Mangkubumi Jayanegara. Ketika sang putra mahkota telah berusia 16 tahun, maka tahta akan diserahkan kepadanya.
Mengenai Sosok Sultan Maulana Muhammad
Sultan Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang yang santun, alim, dan religius. Ketika gurunya agamanya, Syaikh Muhammad Madani Syah datang, ia langsung meninggalkan kesibukannya dan serius belajar.
Dalam Naskah Pupuh tertulis bahwa ketika dirinya duduk menghadap ke arah selatan, di sampingnya pasti ada kitab. Ia juga sering menjadi imam ketika salat Jumat maupun perayaan hari besar lainnya. Tidak mengherankan jika ia menjadi murid kesayangan dari pengajar asal Madinah itu.
Pribadi Maulana Muhammad memang dikenal baik tersebut memang tidak terlepas dari didikan sang sang guru. Maka dari itu, ia kemudian memberikan gelar pada gurunya dengan nama Pangeran Kasunyatan atau Kiai Dukuh.
Ketika usianya 16 tahun, secara resmi ia menerima tampu kekuasaan kerajaan yang sebenarnya. Selama menjadi raja, ia tetap memegang teguh tradisi yang dijalankan oleh pendahulunya. Ia juga memiliki semangat untuk menyebarkan agama Islam.
Di era pemerintahannya, tidak hanya pejabat saja yang sejahtera, tetapi juga rakyat. Ia bahkan sering mengunjungi warganya yang tinggal di daerah terpencil.
Hingga kemudian, Sultan Maulana Muhammad mengadakan penyerbuan ke daerah Palembang. Itu semua atas bujukan Pangeran Mas, cucu dari Prawoto dari Demak, yang berhasrat untuk menjadi raja di Palembang.
Bersama dengan pasukannya yang diangkut dalam 200 kapal, sang sultan berangkat untuk menyerang Palembang. Pertempuran pun terjadi di Sungai Musi dan berlangsung selama beberapa hari.
Pada awalnya, pasukan Banten sudah hampir menang. Namun tiba-tiba mendapatkan serangan yang sangat fatal yang kemudian menghilangkan nyawa sang pemimpin.
Pada tahun 1596, Sultan Maulana Muhammad dinyatakan gugur dalam medan perang saat usianya masih sangat muda, yaitu 25 tahun. Peristiwa tersebut tentu saja membuat rakyat sangat sedih. Ia meninggalkan seorang istri dan anak yang masih kecil.
Baca juga: Faktor yang Ditengarai Sebagai Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kutai
4. Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir
Kematian Sultan Maulana Muhammad yang meninggalkan seorang anak berusia belia seolah mengulang kembali sejarah. Anak lelakinya harus tetap meneruskan silsilah pemimpin Kerajaan Banten.
Namanya adalah Abdul Mafakhir. Ia harus dinobatkan menjadi raja, padahal usianya baru lima bulan. Penobatan tersebut terjadi pada tahun 1596.
Sama seperti ayahnya, selama Pangeran Abdul Mafakhir belum dewasa, pemerintahan akan dijalankan Mangkubumi Jayanegara. Atas kesepakatan bersama, ia ditunjuk sebagai wali karena telah memiliki pengalaman.
Sayangnya pada tahun 1602, Mangkubumi Jayanegara meninggal dunia. Jabatannya kemudian diturunkan kepada sang adik. Hanya saja, itu tidak berlangsung lama karena orang tersebut memiliki kepribadian yang kurang baik.
Akhirnya, diputuskan jika Nyimas Ayu Wanagiri-lah yang akan memimpin kerajaan. Ia merupakan ibu dari Pangeran Abdul Mafakhir yang juga merupakan putri dari Mangkubumi Jayanegara.
Namun pada tahun 1608, terjadi kerusuhan di antara keluarga kerajaan yang memperebutkan posisi mangkubumi. Karena tidak mau berlarut-larut, akhirnya Pangeran Jayakarta menengahi dan membuat perjanjian yang disetujui bersama.
Isinya adalah menunjuk Pangeran Arya Manggala sebagai wali Sultan Abdul Mafakhir sekaligus menjabat mangkubumi. Jabatan sebagai mangkubumi berhasil dijalankan oleh Pangeran Arya selama 21 tahun.
Pada tahun 1624, ia memilih untuk mengundurkan diri karena sakit. Tidak ada mangkubumi lagi yang ditunjuk setelah itu karena pemerintahan diserahkan kepada Sultan Abdul Mafakhir yang sudah dewasa.
Masa Pemerintahan Sultan Abdul Mafakhir
Selama menjabat sebagai raja Kerajaan Banten, Sultan Abdul Mafakhir memfokuskan perhatiannya ke bidang perdagangan. Selain itu sektor pertanian dan kesehatan juga tak luput dari radarnya.
Ia juga memperkuat hubungan diplomatik dengan kerajaan lain. Salah satunya adalah Kerajaan Inggris yang pada saat itu masih dipimpin oleh Raja James I.
Sultan Abdul Mafakhir juga dikenal sebagai pemimpin yang tangguh dan pantang menyerah. Hingga kemudian, pihaknya berseteru dengan Belanda yang memiliki keinginan untuk memonopoli perdagangan lada.
Perang dingin kedua belah pihak semakin memuncak ketika Belanda berhasil menguasai Batavia. Mereka kemudian melakukan blokade terhadap pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Banten.
Hal tersebut tentu saja membuat perekonomian menjadi kacau. Terlebih lagi, Belanda juga melakukan ekpedisi ke Anyer, Tanam, dan Lampung. Lalu pada tahun 1633, meletuslah peperangan antara Kerajaan Banten dengan Belanda. Banyak korban jiwa yang jatuh akibat perang ini.
Beberapa tahun berjalan dan situasinya menjadi semakin sulit untuk kedua belah pihak. Hingga kemudian, mereka membuat perjanjian damai. Sayangnya, itu hanya seperti hitam di atas putih karena hubungan kedua pihak tetap tidak dapat akur.
Nah di tahun 1636, terdapat perubahan peran kepemimpinan. Sultan Abdul Mafakhir mulai saat itu hanya akan menangani segala urusan kerajaan dengan pihak luar.
Sementara itu, putra mahkota yang bernama Abu al-Ma’ali diangkat menjadi Sultan Muda. Ia berwenang untuk mengatur urusan dalam wilayah kerajaan. Di era kepemimpinannya, ia berhasil mengeluarkan mata uang dari timah dan besi untuk digunakan sebagai alat tukar.
Peran tersebut dapat dijalankan dengan baik selama beberapa tahun. Hingga kemudian Sultan Abdul Mafakhir meninggal dunia pada tahun 1651. Ia lalu dikebumikan di Pemakaman Kenari Banten.
Baca juga: Inilah Dia Silsilah Para Raja yang Berkuasa di Kerajaan Demak
5. Sultan Ageng Tirtayasa
Penerus silsilah raja-raja Kerajaan Banten selanjutnya jatuh ke tangan Pangeran Surya yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia adalah anak Sultan Muda Abu al-Ma’ali.
Kamu mungkin bertanya-tanya mengapa bukan Sultan Muda yang naik tahta, melainkan anaknya? Hal itu dikarenakan ia meninggal pada tahun 1650. Maka dari itu, tahta kerajaan kemudian diturunkan kepada anak lelakinya.
Kerajaan Banten mengalami masa kejayaan saat di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia banyak menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan rakyatnya.
Contohnya saja di bidang ekonomi, ia semakin memperluas lahan pertanian. Sistem irigasi pun diperbaiki sehingga petani tidak perlu mengandalkan hujan untuk mengairi sawah. Sementara itu di bidang perdagangan, dirinya juga memperluas jaringan hingga ke Sumatra dan Kalimantan.
Pelabuhan Banten dijadikan pusat bertemunya pedagang internasional, terutama dari negara atau kerajaan Islam, dengan lokal. Ia juga menempatkan armada laut di situ untuk memperkuat sistem keamanan.
Masih sama dengan pendahulunya, sang sultan juga menaruh perhatian lebih dalam penyebaran agama islam. Ia mendirikan banyak pesantren dan mendatangkan banyak guru agama Aceh dan Arab.
Awal Mula Perseteruan
Sama seperti di era pemerintahan sebelumnya, Sultan Ageng Tirtayasa juga menunjuk anaknya, Pangeran Anom untuk menjadi Sultan Muda. Gelarnya adalah Sultan Abu Nashar Abdul Qahar dan nanti akan mengurusi urusan dalam negeri.
Sementara itu, untuk urusan luar kerajaan akan menjadi tanggung jawabnya. Ia dibantu oleh putranya yang lain, yaitu Pangeran Arya Purbaya.
Sejak keputusan tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian lebih memilih untuk tinggal di istananya yang dibangun di Tirtayasa. Sementara Surosowan ditinggali oleh Sultan Abu Nashar.
Belanda rupanya melihat perbedaan peran tersebut sebagai celah untuk mengadu domba keduanya. Pihak penjajah itu memang tidak menyukai Sultan Ageng Tirtayasa. Hal itu dikarenakan sang sultan tidak pernah mau mentolerir Belanda, bahkan tidak segan-segan untuk menyerang mereka.
Belanda kemudian menggunakan taktik adu domba dengan menghasut Pangeran Anom. Ia mengatakan bahwa sang sultan muda diberikan tugas seperti itu agar nantinya mudah disingkirkan.
Abu Nashar yang termakan hasutan tentang saja merasa marah dan kecewa. Ia kemudian membelot dan memihak ke Belanda.
Baca juga: Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri
Perang pun Meletus
Lama kelamaan, Sultan Ageng Tirtayasa mengetahui tindakan sang anak yang pro ke Belanda. Ia sangat marah sekali dan kemudian memerintahkan pasukan untuk menyerang Istana Surosowan.
Sultan Abu Nashar yang juga dikenal sebagai Sultan Haji ini tentu saja kalang kabut mendapatkan serangan dadakan. Ia pun terdesak dan meminta bantuan ke Belanda.
Pada awalnya, pasukan Belanda tidak dapat membantu banyak dan akhirnya terdesak. Namun kemudian, pimpinan mengirimkan lebih banyak pasukan lagi dan akhirnya mereka dapat memukul mundur pasukan Banten.
Sultan Ageng bersama dengan pengikutnya kemudian menyingkir ke wilayah pedalaman. Mereka bersembunyi dengan berpindah-pindah tempat.
Namun beberapa waktu kemudian, ia akhirnya dapat ditangkap oleh Belanda. Itupun berkat jebakan yang dilakukan oleh Sultan Haji.
Kehidupan Pribadi hingga Wafatnya
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan keturunan bangsawan. Seperti yang telah kamu ketahui, ia adalah anak dari Sultan Abu al-Ma’ali. Ibunya bernama Ratu Martakusuma yang merupakan cucu dari Pangeran Jayakarta.
Ia memiliki beberapa saudara kandung, yaitu Pangeran Kilen, Ratu Kulon, dan Pangeran Lor. Sementara itu, ia juga memiliki saudara tiri yang bernama Pangeran Kidul, Ratu Timpuruk, Pangeran Wetan, dan Ratu Intan.
Selama hidupnya, salah satu penerus silsilah raja-raja Kerajaan Banten ini menikah beberapa kali. Istri pertamanya tidak diketahui namanya dan meninggal di usia yang cukup muda. Setelah itu, ia baru menikah lagi dengan Nyi Ayu Ratu Gede dan Ratu Nengah.
Sang sultan meninggal dunia pada tahun 1683 di Jakarta saat menjalani hukuman pengasingan. Setelah itu, jenazahnya dibawa pulang ke kampung halaman untuk dikebumikan di area pemakaman Masjid Agung Banten.
Kemudian pada tanggal 1 Agustus 1970, pemerintah Indonesia mengeluarkan SK Presiden untuk mengangkat Sultan Ageng Tirtayasa sebagai pahlawan nasional. Namanya juga diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Banten.
Baca juga: Peninggalan-Peninggalan Bersejarah Milik Kerajaan Aceh Darussalam yang Masih Ada Hingga Sekarang
6. Sultan Nasar Abdul Qahar atau Sultan Haji
Silsilah raja-raja yang memimpin Kerajaan Banten kemudian diteruskan oleh Sultan Haji. Ia naik resmi naik tahta menggantikan ayahnya pada tahun 1683.
Pengangkatan sang sultan ini tentu saja tidak gratis. Ia harus memberikan apa yang diinginkan oleh Belanda sesuai dengan perjanjian. Perjanjian yang dibuat dalam tiga bahasa, yaitu Jawa, Melayu dan Belanda, tersebut ditandatangai pada tanggal 17 April 1684.
Isinya adalah VOC memiliki hak untuk memonopoli lada, Kerajaan Banten harus menyerahkan wilayah Cirebon, dan juga menarik pasukan yang berada di pantai dan pedalaman Priangan. Jika ingkar janji, Banten harus membayar sebanyak 600.000 ringgit.
Tanpa pikir panjang, Sultan Haji menandatanginya. Semenjak itu, VOC menjadi penguasa di Banten. Kehidupan rakyat pun menjadi sangat sulit.
Hal tersebut tentu saja membuat Belanda menjadi semakin berjaya. Mereka bahkan mendirikan benteng di bekas kesultanan yang sudah hancur. Bahkan, mereka juga menutup akses perdagangan bebas di pelabuhan Banten.
Kejadian tersebut tentu saja memicu amarah rakyat sehingga terjadi kerusuhan dan pemberontakan di mana. Keadaan ini tentu saja membuat Sultan Haji menjadi kalang kabut.
Ia tidak hanya mendapatkan tekanan dari rakyatnya, tetapi juga dari pihak Belanda. Akhirnya, ia pun jatuh sakit dan meninggal dunia di tahun 1687. Sesudah itu, semua urusan kerajaan, termasuk pengangkatan Sultan Banten, harus mendapatkan izin dari VOC.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
7. Silsilah Raja-Raja Kerajaan Banten Selanjutnya Bagian I
Setelah Sultan Haji wafat, penerus silsilah raja-raja Kerajaan Banten dilanjutkan oleh anak lelakinya yang bernama Sultan Haji. Ia menggantikan sang ayah menjadi pemimpin pada tahun 1687 dan bergelar Sultan Abul Fadhl Muhammad Yahya.
Sultan Abul ini dikenal sebagai seorang yang begitu memperhatikan budaya dan sejarah. Tidak seperti ayahnya, ia justru tidak menyukai Belanda dan berusaha membangun kembali kerajaan.
Sayang sekali, masa pemerintahannya begitu singkat. Ia meninggal pada tahun 1690 karena sakit.
Selanjutnya, pemerintahan Kerajaan Banten diserahkan kepada Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin. Namun tidak banyak informasi yang didapat mengenai beliau. Yang jelas, ia memerintah dari tahun 1690 hingga 1733.
Ketika Sultan Abul Muhasin turun tahta, Sultan Abulfathi Zainul Arifin-lah yang menggantikannya. Di masa pemerintahannya ini, banyak sekali pemberontakan karena ketidakpuasan rakyat.
Terlebih lagi, sang sultan malah menunjuk anak tirinya, Pangeran Syarif Abdullah untuk menjadi penggantinya. Itu semua atas hasutan istrinya yang bernama Ratu Syarifah Fatimah. Padahal seharusnya, tahta itu jatuh ke tangan Pangeran Gusti.
Permaisuri yang kejam itu juga memfitnah Pangeran Gusti sehingga ditangkap oleh VOC dan diasingkan. Tidak berhenti di situ saja, ia juga tega memfitnah suaminya sendiri menjadi gila,
Pada akhirnya, Pangeran Syarif memang dijadikan raja. Namun, semua kendali keputusan berada di tangan sang ratu.
Baca juga: Faktor-Faktor yang Menjadi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Singasari
8. Silsilah Raja-Raja Kerajaan Banten Selanjutnya Bagian II
Setelah masa kelam pada pemerintahan Pangeran Syarif yang akhirnya dapat digulingkan, VOC kemudian mengangkat Pangeran Arya Ardisantika yang bergelar Abulmaali Muhammad Wasizainul Alamin untuk menggantikannya. Ia adalah adik dari Sultan Zainul Arifin.
Di bawah kekuasaanya ini, ia dapat membebaskan Pangeran Gusti dan mengangkatnya sebagai pangeran mahkota. Hanya saja, ia harus menandatangi perjanjian dengan Belanda yang isinya tentu saja sangat merugikan.
Akhirnya, Pangeran Gusti dan para pejabat kraton melakukan pemberontakan dan mengacaukan VOC. Sayang perlawanan itu dapat dilumpuhkan dengan mudah.
Di tengah kegentingan itu, Sultan Abulmali menyerahkan tahta ke Pangeran Gusti pada tahun 1753. Gelarnya adalah Abul Nasr Muhammad Arif Zainul. Ia memerintah cukup lama, yaitu sampai tahun 1773.
Silsilah raja-raja Kerajaan Banten selanjutnya dipegang oleh Abul Mufakhir Muhammad Aliyuddin I. Selain menjadi raja, ia adalah seorang ulama. Ia memerintah dari tahun 1773–1779.
Tahta kerajaan kemudian dipegang oleh adiknya, yaitu Pangeran Muhyiddin yang bergelar Sultan Abdul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussolikhin. Ia dipilih karena kakaknya tidak memiliki anak dari permaisuri.
Pada masa pemerintahannya, VOC dibubarkan oleh Belanda. Sehingga, mereka nantinya berhadapan langsung dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
Sultan Abdul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussolikhin meninggal pada tahun 1801. Usia pemerintahannya baru berjalan 2 tahun. Ia juga meninggalkan seorang anak yang masih bayi.
Baca juga: Informasi Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Memimpin Mataram Kuno
9. Silsilah Raja-Raja Kerajaan Banten Selanjutnya Bagian III
Sumber: Wikimedia Commons
Yang mengisi daftar silsilah raja-raja Kerajaan Banten urutan ke-14 adalah bu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin. Ia adalah putra dari selir Sultan Aliyuddin I.
Ia juga merupakan seorang raja yang berani menentang penjajah. Namu sayang, ia hanya memerintah dari tahun 1801-1802 saja. Setelah itu, pemerintahan untuk sementara diambil alih oleh wakilnya, yaitu Pangeran Natawijaya.
Pada tahun 1803, Kerajaan Banten kemudian diambil alil oleh Sultan Abul Mufakhir Muhammad Aqiluddin. Gelarnya adalah Aliyuddin II.
Di era pemerintahannya ini, terjadilah tanam paksa yang direncanakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Karena sang sultan tidak menyetujui, pada awalnya Belanda menggunakan taktik halus dengan memaksanya untuk menandatangani perjanjian.
Namun karena utusannya utusannya malah dibunuh, akhirnya Belanda menyerang istana. Mereka menangkap Sultan Aliyuddin II dan kemudian dibuang ke Ambon.
Baca juga: Candi-Candi yang Menjadi Bukti Kemegahan Kerajaan Mataram Kuno
10. Sultan Banten Terakhir
Di urutan terakhir, ada Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin yang mengisi daftar silsilah Kerajaan Banten. Ia merupakan anak dari Sultan Abdul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussolikhin.
Menurut catatan sejarah, sultan ini adalah raja terakhir Kerajaan Banten yang masih memiliki wilayah yang berdaulat. Ia dinobatkan menjadi raja pada 1808 saat umurnya masih sangat muda. Maka dari itu, pemerintahan akan dijalankan oleh Pangeran Suramenggala sampai sang sultan dewasa.
Setelah cukup umur, Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin tidak hanya mendapatkan kuasa penuh untuk memimpin kerajaan. Akan tetapi, ia juga menikah dengan seorang putri bernama Ratu Putri Fatimah. Ia adalah anak dari Sultan Aliyuddin I.
Pernikahan itu bertujuan untuk mengesahkan haknya sebagai pewaris tahta. Pasangan tersebut memiliki empat orang anak, mereka adalah Pangeran Surya Kumolo, Pangeran Surya Kusumo, Ratu Ayu Kunthi, dan Pangeran Timoer Soerjaatmadja.
Pada masa pemerintahannya, juga banyak terjadi pemberontakan oleh rakyat karena merasa selalu ditindas oleh Belanda. Namun, Belanda tidak kehilangan akal dan melemahkan perlawanan dengan membagi-bagi daerah kekuasaan.
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin ditugaskan untuk memimpin kabupaten Banten Hulu. Kemudian, mereka juga mengangkat Joyo Miharjo sebagai Bupati Banten Hilir.
Lelaki tersebut adalah suami dari bibi sang sultan yang berasal dari daerah Rembang. Gelarnya adalah Muhammad Rafiuddin.
Pada tahun 1832, terjadi lagi perlawanan yang sangat hebat dari rakyat untuk mengusir Hinda Belanda. Namun karena pemberontakan tersebut, Sultan Shafiuddin diasingkan ke Surabaya.
Sang sultan meninggal dunia pada tahun 1899. Jenazahnya tidak dibawa ke Banten, melainkan dimakamkan di sana.
Setelah itu, Kerajaan Banten dipimpin oleh para ulama. Mereka juga tetap melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Ulasan Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja Pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam
Sudah Puas Menyimak Informasi Lengkap tentang Silsilah Kerajaan Banten di Atas?
Itulah tadi ulasan yang sangat lengkap tentang silsilah Kerajaan Banten yang dapat kamu temukan di sini. Ulasannya cukup panjang, ya? Namun semoga saja kamu tidak malas membacanya sehingga mendapatkan pengetahuan baru.
Nah di PosKata, kamu tidak hanya akan dapat menemukan informasi menarik dari Kerajaan Banten saja. Ada beberapa ulasan serupa dari kerajaan di nusantara yang sayang sekali untuk dilewatkan. Contohnya saja ada Kerajaan Singasari, Kediri, Samudra Pasai, dan masih banyak lagi.