
Dalam menjalankan Orde Lama, ada tiga sistem pemerintahan yang dijalan oleh Seokarno. Nah, yang akan dibahas lebih mendalam lewat artikel ini adalah masa sistem pemerintahan yang menggunakan Demokrasi Parlementer. Sistem tersebut dipakai karena banyak pihak yang tidak terlalu menyukai sistem Presidensial.
Saat memimpin Indonesia, Presiden Soekarno menerapkan tiga sistem pemerintahan. Ketiganya adalah sistem Presidensial, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Terpimpin. Namun kali ini, PosKata akan membahas lebih jauh mengenai masa Demokrasi Parlementer yang pernah diterapkan di Indonesia.
Kamu mungkin bertanya-tanya mengapa Indonesia mengganti-ganti sistem pemerintahan? Pada waktu itu, Indonesia benar-benar masih menjadi negara yang baru. Jadi, sebuah hal yang wajar untuk mengganti sistem pemerintahan ke yang lebih cocok atau pas sesuai dengan dasar negara Indonesia.
Gimana? Kamu pastinya makin penasaran ingin segera menyimak ulasan tentang masa Demokrasi Parlementer di Indonesia, kan? Nah daripada kebanyakan basa-basi, langsung cek saja ulasan lengkapnya di bawah ini, ya!
Sistem Pemerintahan Sebelum Demokrasi Parlementer
Jepang resmi menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Indonesia lalu memanfaatkan hal tersebut untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Walaupun sempat terjadi perselisihan antara golongan muda dan tua, proklamasi kemerdekaan Indonesia akhirnya terjadi juga pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.
Dengan adanya proklamasi tersebut, Indonesia kemudian resmi menjadi sebuah negara baru. Sesuai pada sidang PPKI, dalam menjalankan pemerintahan akan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, sistem pemerintahan yang digunakan adalah presidensial.
Ketika awal berdiri, Indonesia belum punya lembaga legislatif. Untuk membangun negara, presiden dan wakil presiden dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Dengan menerapkan sistem presidensial, maka kekuasaan terpusat pada presiden. Karena hal tersebut, ada beberapa pihak yang merasa cemas kalau nantinya kekuasaan akan menjadi absolut di satu orang saja.
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah Indonesia lalu mengeluarkan tiga maklumat, yaitu:
- Wakil Presiden Indonesia mengeluarkan maklumat pada tanggal 16 Oktober 1945. Isinya adalah mengenai penetapan KNIP sebagai lembaga legislatif.
- Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat lagi yang berisikan tentang pembentukan partai politik.
- Selanjutnya tanggal 14 November 1945, pemerintah kembali mengeluarkan maklumat. Isinya yaitu mengenai perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke demokrasi parlementer.
Maklumat inilah yang menandai berakhirnya masa pemerintahan presidensial yang hanya seumur jagung. Mulai tanggal 14 November 1945, Indonesia secara resmi menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Baca juga: Ulasan Lengkap Peristiwa Pertempuran Ambarawa: Perang Besar antara TKR dan Pasukan Sekutu
Berlakunya Sistem Demokrasi Parlementer I
Menurut catatan sejarah, berlakunya sistem Demokrasi Parlementer di Indonesia terbagi dalam dua jilid. Yang pertama berlaku mulai tanggal 14 November 1945.
Sebelum membahas lebih lanjut, tidak ada salahnya kalau kamu mengetahui definisinya terlebih dahulu. Sistem parlementer merupakan sebuah sistem di mana badan legislatif memiliki peranan yang penting dalam pemerintahan.
Sebagai tambahan informasi, Demokrasi Parlementer di Indonesia juga dikenal sebagai sistem Demokrasi Liberal. Adapun ciri-ciri dari pemerintahan Demokrasi Parlementer adalah sebagai berikut:
- Badan legislatif memiliki kewenangan yang tinggi daripada eksekutif.
- Menteri dalam kabinet terpilih harus mempertanggungjawabkan tindakan pada DPR.
- Presiden Indonesia bertindak sebagai kepala negara dan berhak membentuk kabinet.
- Perdana Menteri berindak sebagai kepala pemerintahan yang punya hak prerogatif untuk mengangkat atau menurunkan menteri.
Ulasan mengenai kabinet-kabinet yang terbentuk pada masa Demokrasi Parlementer adalah sebagai berikut:
1. Kabinet Sjahrir I
Pada awal masa penerapan Demokrasi Parlementer di Indonesia, Sutan Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. Ia membawahi kabinet bernama Kabinet Sjahrir I.
Para anggota yang diangkat menjadi anggota kabinet adalah mereka yang berasal dari partai politik. Sebagian besar dikuasai oleh PSI, Masyumi, dan Parkindo.
Selain sebagai perdana menteri, Sutan Sjahrir juga merangkap menjadi menteri. Adapun susunan kabinetnya adalah:
a. Perdana Menteri: Sutan Sjahrir (PSI)
b. Menteri Luar Negeri: Sutan Sjahrir (PSI)
c. Meneri Dalam Negeri: Mr. Harmani
d. Menteri Kemanan Rakyat: Amir Sjarifuddin (PSI)
e. Wakil Menteri Kemanan Rakyat: Abdul Moerad (PSI), Soegiono Josodiningrat
f. Menteri Kehakiman: Mr. Soewandi
g. Menteri Penerangan: Amir Sjarifuddin (PSI– hanya sampai 3 Januari 1946), Mohammad Natsir (Masyumi– sejak tanggal 3 Januari)
h. Menteri Keuangan: Seonarjo Kolopaking, Ir. Soerachman Tjokrodisoerjo.
i. Menteri Kemakmuran: Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo,
j. Menteri Perhubungan: Ir. Abdoelkarim
k. Menteri Pekerjaan Umum: Ir Putuhena (Parkindo)
l. Menteri Sosial: Dr Adji Darmo (PSI — sampai 5 Desember 1945), lalu dilanjutkan oleh Dr. Soedarsono (PSI).
m. Menteri Pengajaran: Dr. T.S.G Mulia (Parkindo).
n. Menteri Kesehatan: Dr. Darma Setiawan
0. Menteri Negara: H. Rasjidi (Masyumi).
Kabinet Sjahrir I memiliki program sebagai berikut:
- Melakukan penyempurnaan pemerintah daerah sesuai dengan kedaulatan rakyat.
- Berkoordinasi dengan rakyat untuk menegakkan RI dan membangun masyarakat berdasarkan keadilan dan peri-kemanusiaan.
- Membagikan bahan pangan sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat
- Membereskan perihal keuangan RI.
Sayangnya, masa kabinet ini tidak bertahan lama. Hanya dari tanggal 14 November 1945 – 12 Maret 1946. Penyebabnya adalah karena adanya tekanan dari oposisi Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka.
Baca juga: Sejarah Kongres Pemuda I: Pertemuan Kepemudaan Skala Nasional Pertama di Hindia Belanda
2. Kabinet Sjahrir II
Sumber: Wikimedia Commons
Periode kedua Kabinet Sjahrir resmi terbentuk pada tanggal 12 Maret 1946. Keputusan tersebut sudah melalui sidang KNIP yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1946.
Sesuai dengan kesepakatan bersama, Sjahrir dipilih kembali oleh Presiden Soekarno untuk mengatur kabinet. Kali ini, ia melibatkan tujuh partai politik untuk masuk dalam kabinetnya.
Pada demokrasi Parlementer I di Indonesia ini, kebijakan yang diambil mengakomodasi tuntutan Belanda. Hal tersebut karena Belanda kembali ke Indonesia dan berniat untuk menguasai lagi.
Beberapa tuntutan yang kemudian dijadikan landasan kebijakan Kabinet Sjahrir II adalah:
- Mengakui Republik Indonesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan penuh terhadap wilayah bekas Hindia-Belanda.
- Pemerintah Indonesia mengambil tanggung jawab pinjaman Belanda sebelum tanggal 8 Maret 1942.
- Menarik tentara Belanda dari Indonesia, jika perlu menggantinya dengan Tentara Republik Indonesia.
- Pembentukan Badan Federasi yang mengurus masalah luar negeri dan pertahanan Federasi Indonesia-Belanda.
- Pemerintah Belanda membantu Indonesia untuk kembali diterima sebagai anggota PBB.
Masa berlakunya Kabinet Sjahrir II juga tidak terlalu lama. Kabinet tersebut berakhir pada tanggal 2 Oktober 1946.
Alasannya adalah karena percobaan kudeta yang dilakukan oleh Tan Malaka. Laki-laki itu masih berambisi untuk menjadi formatur kabinet.
Sekitar pertengahan Agustus 1946, KNIP kembali mengadakan sidang. Keputusannya adalah tetap menunjuk Sutan Sjahrir untuk membentuk kabinet kembali. Yang kemudian dikenal sebagai Kabinet Sjahrir III.
Selain itu, Sutan Sjahrir dianggap membuat Indonesia lemah karena menyetujui Perjanjian Linggarjati. Meski demikian, Presiden Soekarno tetap menunjuknya untuk membentuk kabinet yang baru.
Baca juga: Peristiwa Westerling: Sejarah Kelam Bagi Masyarakat di Sulawesi Selatan Usai Proklmasi Kemerdekaan
3. Kabinet Sjahrir III
Pembentukan Kabinet Sjahrir III terjadi pada tanggal 2 Oktober 1946. Posisi jabatan menteri ada 32 orang. Meski demikian, ada beberapa tokoh yang merangkap jabatan.
Secara umum, program kerja kabinet ini sama dengan yang telah dibuat pada periode I. Periode kerja kabinet tersebut berakhir pada tanggal 27 Juni 1947.
Alasannya adalah karena Sjahrir memberikan persetujuan mengenai pemerintah sementara yang akan dibentuk oleh Belanda. Setelah menyetujui, ia lalu berunding dengan tiga anggota kabinetnya yang lain, yaitu A.K. Gani, Natsir, dan Abdulmadjid.
Sayangnya, Abdulmadjid yang diminta Sjahrir untuk pergi ke Yogyakarta menemui presiden tidak mengatakan hal yang seharusnya. Abdul malah bekerjasama dengan Amir Sjariffudin. Sebagai tambahan informasi, Amir adalah tokoh sayap kiri yang berseberangan dengan Sjahrir.
Sutan Sjahrir tentu saja merasa kecewa karena telah dikhianati orang kepercayaannya. Karena hal tersebut, ia lalu melepaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 27 Juni 1947. Dengan demikian, Kabinet Sjahrir III resmi bubar.
Baca juga: Sejarah dan Tujuan Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
4. Kabinet Amir Sjarifuddin I
Setelah era kepemimpinan Sutan Sjahrir berakhir, Amir Sjarifuddin kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri yang baru. Periode kepemimpinan pertamanya berlangsung mulai tanggal 3 Juli 1947 hingga 11 November 1947.
Dalam kabinetnya ini, ia menunjuk 31 menteri yang berasal dari beberapa partai. Pembagian kursinya pun rata, tidak seperti pada periode-periode sebelumnya.
Karena hal tersebut, koalisi kabinetnya menjadi kuat. Selain itu, laki-laki ini juga mengangkat tangan kanan Sjahrir, yaitu AK Gani sebagai wakilnya.
Sementara itu, kebijakan yang berlaku pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I adalah mempertahankan kehidupan RI. Ia mengusahakan agar Belanda mengakui kekuasaan Indonesia secara de facto.
Dirinya memang lebih memfokuskan perhatian pada aspek politik. Tidak terlalu menyinggung aspek pembangunan sosial dan ekonomi seperti yang sebelumnya.
Pada Demokrasi Parlementer di masa kepemimpinan Amir, terjadi sebuah peristiwa besar, yaitu Agresi Militer Belanda I. Tujuan bangsa asing itu melancarkan serangan adalah untuk kembali menguasi Indonesia. Situasi Indonesia pada saat itu tentu saja sangat kacau.
Untuk meredam pergolakan, kedua pihak yang bertikai mengadakan perjanjian. Akhinya, terjadilah kesepakatan bersama yang tertuang dalam Perjanjian Renville.
Pada awalnya, ia yakin kalau perjanjian itu akan menguntungkan Indonesia. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya karena negara ini malah menderita kerugian yang sangat besar.
Karena hal tersebut, banyak partai yang menarik dukungannya dari Kabinet Amir ini. Akhirnya, sang perdana menteri menyerah dan mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Hal ini kemudian menandai berakhirnya Demokrasi Parlementer pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I.
Baca juga: Informasi tentang Sin Po: Surat Kabar yang Tak Takut Memberitakan Perjuangan Indonesia
5. Kabinet Amir Sjarifuddin II
Pada tanggal 11 November 1947, Presiden Soekarno kembali memberikan mandat kepada Amir untuk membentuk kabinet. Tujuannya adalah supaya memperkuat kabinet untuk menghadapi perundingan dengan Belanda lagi.
Salah satu hal yang dilakukannya dalam memimpin kabinet tersebut adalah menunjukkan pentingnya fungsi pertahanan negara. Terlebih lagi, Indonesia pada waktu itu menghadapi banyak sekali konflik.
Lalu, yang menjadi penyebab jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin yang kedua adalah karena adanya pertentangan dengan Partai Masyumi dan PNI. Hal ini masih berkaitan atau merupakan dampak dari Perjanjian Renville.
Partai Masyumi menarik kembali menteri-menteri yang berada di kabinet tersebut. Hal itu karena partai tersebut menganggap bahwa Amir terlalu mudah dan menyerah begitu saja terhadap ultimatum Belanda.
Apa yang dilakukan oleh Masyumi mendapatkan dukungan dari PNI. Pasalnya, PNI juga menolak hasil Perjanjian Renville karena melemahkan kedudukan RI.
Setelah kedua partai tersebut menolak, akibatnya Kabinet Amir hanya didukung oleh partai sosialis yang berpaham komunis saja. Tak lama setelah itu, Amir lalu meletakkan jabatannya dan berakhirlah masa Kabinet Amir II.
Namun tidak berhenti di situ saja, mantan perdana menteri itu lalu berbalik menjadi oposisi pemerintah. Ia bergabung dengan Muso untuk melakukan pemberontakan dan berencana mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis.
Keadaan menjadi sangat ricuh, puncaknya adalah Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun. Beruntung, pemerintah cepat tanggap dan segera mengamankan situasi.
Meskipun di tempat terpisah, pasukan RI dapat menangkap Muso dan Amir Sjarifuddin. Keduanya pun ditembak mati.
6. Kabinet Setelahnya
Sumber: Wikimedia Commons
Setelah kekisruhan yang terjadi pada Kabinet Amir Sjarufuddin, Presiden Soekarno lalu menunjuk Hatta untuk membentuk kabinet baru. Periode Kabinet Hatta I ini berjalan mulai tanggal 29 Januari 1948 sampai 4 Agustus 1949.
Pada awalnya, penunjukan Hatta tersebut mendapatkan sikap skeptis dari Partai Masyumi yang masih trauma karena dampak Perjanjian Renville. Namun akhirnya, mereka memberikan dukungan penuh terhadap kabinet ini.
Kabinet Hatta I pada masa Demokrasi Parlementer menunjuk 19 menteri. Beberapa program kerjanya adalah melakukan perundingan berdasarkan Perjanjian Renville, segera membangun Negara Indonesia Serikat, dan menggalakkan pembangunan.
Di masa Kabinet Hatta I, pada saat itu situasi sangat kacau. Tidak hanya mendapatkan perlawanan dari oposisi, tetapi juga menghadapi Agresi Militer Belanda 2. Presiden dan para menteri banyak yang diculik lalu kemudian dibentuklah kabinet darurat yang beranggotakan 12 menteri.
Pembentukan kabinet darurat ini dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dan mulai berlaku pada tanggal 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949.Setelah situasi membaik, Presiden Soekarno lalu memberikan mandatnya kepada Hatta untuk menyusun kabinet kembali.
Pada tanggal 4 Agustus 1949, terbentuklah Kabinet Hatta II. Kabinet ini berakhir pada tanggal 2 November 1949 setelah adanya Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi tersebut dilaksanakan untuk memfasillitasi penyelesaian masalah Indonesia dan Belanda yang tak kunjung usai.
Nah, salah satu keputusannya adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan berdirinya RIS, maka kabinet Hatta II secara resmi dibubarkan.
Baca juga: Suishintai: Barisan Pelopor Bentukan Jepang yang Menjadi Pengawal Kemerdekaan Indonesia
Pemberlakuan Sistem Demokrasi Parlementer Setelah RIS
Sumber: Wikimedia Commons
Pada masa Republik Indonesia Serikat, Demokrasi Parlementer yang dijalankan oleh Indonesia menjadi semakin kuat. Alasannya adalah karena sudah memiliki landasan konstitusional yang kuat, yaitu Undang-Undang Dasar Sementara 1949 dan 1950.
Pembentukan kabinet di era ini berdaarkan koalisi partai-partai yang ada di parlemen. Pada waktu itu, ada sekitar 29 partai politik di Indonesia. Dilihat dari jumlahnya, sudah tentu ada tendensi persaingan yang tidak sehat.
Hal tersebut terbukti ketika menjalankan kabinet dan sering terjadi pergolakan. Hal ini menyebabkan kabinet yang dibentuk biasanya tidak bertahan lama. Salah satu alasannya adalah karena partai-partai tersebut lebih mementingkan partai daripada kepentingan nasional.
Apalagi, pihak oposisi selalu berusaha menjatuhkan partai yang sedang berkuasa. Hal tersebut tentu saja membuat kondisi perpolitikan menjadi tidak stabil.
Pergantian kabinet yang hanya bertahan selama beberapa bulan juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, pemerintah pergantian yang cepat membuat pemerintah tidak bisa dengan benar menjalankan program kerjanya.
Karena hal tersebut pula, masalahnya menjadi semakin luas dan menimbulkan pemberontakan di berbagai daerah. Contohnya adalah pmberontakan DI/TII, PRRI, Permesta, dan lain-lain.
Kabinet-Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal Parlementer
Adapun beberapa kabinet yang terbentuk pada masa Demokrasi Parlementer ini adalah sebagai berikut:
1. Kabinet Natsir (September 1950–Maret 1951)
Sebelum menjadi perdana menteri, Mohammad Natsir merupakan anggota KNIP. Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi perdana menteri pada tanggal 17 Agustus 1950. Ini adalah kabinet pertama setelah RIS bubar.
Kabinet Natsir resmi berjalan pada tanggal 6 September 1950 sampai 27 April 1951. Salah satu program kerjanya adalah untuk menyelenggarakan pemilu Dewan Konstituante. Selain itu, ia mengusahakan agar masalah perebutan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda segera selesai.
Natsir belum sempat menyelesaikan perogram kerjanya, tapi harus berhenti di tengah jalan karena situasi Indonesia yang cukup kacau. Banyak terjadi pemberontakan di berbagai daerah dan parlemen mengajukan Mosi Tidak Percaya. Karena hal tersebut, Natsir pun mundur dari jabatannya.
Baca juga: Sekilas tentang Chuo Sangi In: Dewan Perwakilan Rakyat pada Masa Penjajahan Jepang
2. Kabinet Sukiman (April 1951–Februari 1952).
Setelah mundurnya Natsir, jabatan Perdana Menteri berada di tangan Sukiman. Kabinet ini resmi menjalankan tugas mulai tanggal 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Beberapa program kerja yang diusungnya adalah:
- Menjamin keamanan, ketentraman, dan menyempurnakan organisasi keamanan negara.
- Menyelesaikan perisapan pemilu sehingga mempercepat otonomi daerah.
- Membuat undang-undang mengenai Pengakuan Serikat Buruh dan Perjanjian Kerjasama
- Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Lagi-lagi, jatuhnya Kabinet Sukiman ini karena adanya mosi Tidak Percaya dari parlemen. Hal tersebut berkaitan dengan dugaan penyelewengan dana bantuan asing, Mutual Security Act (MSA).
3. Kabinet Wilopo (April 1952–Juni 1953).
Sebelum Wilopo menjalankan kabinetnya, Presiden Soekarno sebenarnya sudah lebih dulu menunjuk Sidik Djojosukaro dan Prawoto Mankusasmito. Sayangnya, kedua orang tersebut tidak mendapatkan dukungan dari parlemen.
Akhirnya, pada tanggal 19 Maret 1952, sang presiden menunjuk Wilopo untuk membentuk kabinet. Menariknya, kabinet Wilopo pada masa Demokrasi Parlementer ini dikenal sebagai kabinet zaken. Maksudnya adalah para anggota parlemen berasal dari orang yang memang ahli di bidangnya, bukan hanya wakil partai.
Program kerja yang direncanakan pada kabinet ini cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah menyederhanakan organisasi pemerintah pusat, memajukan tingkat penghidupan rakyat, memperlengkapi undang-undang untuk mengangkat derajat buruh, dan masih banyak lagi.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953–Agustus 1955).
Kabinet Ali Sastroamijoyo yang pertama ini mulai menjalankan tugasnya pada tanggal 31 Juli 1953. Adapun program kerja yang diusung adalah memperbaharui situasi politik, fokus pada politik pembangunan untuk kepentingan rakyat, memperbaharui politik desentralisasi, dan juga memberantas korupsi.
Sayang pada masa kepemimpinannya, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah. Salah satunya adalah ekonomi yang terpuruk akibat korupsi dan inflasi. Hal tersebut kemudian membuat partai NU menarik wakilnya dari kabinet, yang kemudian diikuti oleh partai lain.
Sehubungan dengan kejadian ini, Ali Sastroamijoyo lalu mengembalikan mandat kepada presiden. Dengan demikian, Kabinet Ali Sastroamijoyo resmi bubar.
Baca juga: Kronologi Terjadinya Peristiwa Perang 10 November 1945 di Surabaya
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955–Maret 1956)
Sumber: Wikimedia Commons
Tak lama setelah Ali Sastroamijoyo mundur, Mohammad Hatta lalu mengumumkan tiga kandidat untuk menjadi perdana menteri yang baru. Mereka adalah Wilopo, Sukiman, dan Assat. Namun, ketiga orang tersebut malah memilih Hatta untuk menjadi Perdana Menteri.
Sayangnya, Hatta tidak dapat menerimanya karena ia masih menjabat sebagai wakil presiden. Akhirnya, tokoh nasional itu menunjuk Burhanuddin Harahap untuk membentuk kabinet yang baru.
Proses pembentukan kabinet ini cukup panjang dan melelahkan. Akhirnya, pada tanggal 12 Agustus 1955, Kabinet Burhanuddin resmi terbentuk.
Sementara itu, program kerja yang dijalankan dalam kabinet ini adalah melaksanakan pemilu. Selain itu, ia juga melanjutkan beberapa program kerja sebelumnya seperti memberantas korupsi dan meneruskan perjuangan untuk merebut Irian Barat.
Nah tidak seperti yang sebelum-sebelumnya, Kabinet Burhanuddin ini bisa dibilang paling sukses. Alasannya adalah karena ia mampu menyelesaikan program kerja yang telah dirancang di atas. Kabinet ini mengakhiri masa kerja pada tanggal 3 Maret 1956.
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956–Maret 1957).
Pada Pemilu yang diselenggarakan oleh kabinet sebelumnya, ada empat partai yang menang. Partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Karena PNI memiliki suara terbanyak dan Ali Sastroamijoyo yang menjadi ketuanya, maka ia kemudian diangkat lagi menjadi perdana Menteri. Kali ini, ia didampingi oleh Mohammad Roem dan Idham Chalid.
Kabinet yang resmi menjalankan pemerintahan pada tanggal 24 Maret 1956 ini memiliki beberapa agenda kerja. Di antaranya adalah mengusahakan pembatalan KMB, mengusahakan agar Irian Barat kembali ke RI secepatnya, memulihkan perekonomian, dan menjalankan putusan Konferensi Asia-Afrika (KAA).
Pada masa pemerintahannya ini, kembali terjadi pergolakan di dalam kabinet. Salah satunya adalah perpecahan yang terjadi antara kubu PNI dan Masyumi. Akhirnya, Ali Sastroamijoyo meletakkan jabatannya pada tanggal 14 Maret 1957.
7. Kabinet Djuanda (Maret 1957–Juli 1959).
Pada tanggal 9 April 1957, tumpu pemerintahan Indonesia yang menggunakan sistem Demokrasi Parlementer ini dilanjutkan oleh Ir. Djuanda. Ia memiliki tiga orang wakil, yakni Mr. Hardi, Idham Chalid, dan dr. Leimena.
Sama seperti pada masa pemerintahan Wilopo, Kabinet Djuanda ini juga dikenal sebagai zaken kabinet. Kabinet ini memiliki 5 program kerja:
- Membentuk Dewan Nasional yang menampung aspirasi non partai
- Menormalisasi keadaan RI
- Mempercepat pembangunan
- Melanjutkan pembatalan KMB
- Dan yang terakhir, memperjuangkan Irian Barat
Kabinet Djuanda berakhir bukan karena adanya pergolakan di dalam tubuh kabinet. Akan tetapi, karena Presiden Soekarno mengganti sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin.
Baca juga: Sejarah Kedatangan Sekutu dan Belanda ke Indonesia Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Berakhirnya Demokrasi Parlementer di Indonesia
Berikut ini adalah beberapa kegagalan pada masa Demokrasi Parlementer yang membuat Presiden kemudian memutuskan untuk mengganti sistem pemerintahan:
- Adanya Konsepsi Presiden
Presiden memiliki konsepsi atau usulan untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia. Salah satunya adalah yang bersifat gotong royong. Ia menilai kalau sistem parlementer yang digunakan selama masa orde lama itu merupakan “produk impor” dari bangsa luar.
Untuk mewujudkan hal tersebut, sang presiden lalu membentuk Dewan Nasional yang dalam prosesnya melibatkan partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Awalnya, pembentukan itu mendapatkan tentangan dari Masyumi dan PSI. Pasalnya, pembentukan Dewan Nasional adalah pelanggaran terhadap konsitusi.
- Dewan Konstituante Gagal Mencapai Kesepakatan
Kegagalan Dewan Konstituante untuk mencari jalan keluar dalam mencapai kesepakatan dalam perumusan ideologi nasional menjadi salah satu alasan mengapa Demokrasi Parlementer berakhir. Lembaga tersebut tidak bisa menyatukan dua kubu politik yang bertentangan.
Satu kubu menginginkan Islam sebagai ideologi negara. Sementara yang lain, ingin mempertahankan Pancasila. Melakukan voting pun tidak ada gunanya karena suara mayoritas tak pernah tercapai.
- Dasar Sosial Ekonomi yang Lemah
Alasan terakhir yang menyumbang kegagalan masa Demokrasi Parlementer di Indonesia adalah sulitnya menyatukan komponen masyarakat. Hal itu karena kedudukan masyarakat masih dibedakan melalui struktur sosial sehingga tidak mendukung demokrasi.
Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap stabilitas pemerintahan. Akibatnya seperti yang telah kamu simak di atas, kabinet pemerintahan mudah berganti meskipun masa jabatannya belum selesai.
Karena alasan-alasan tersebut, akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit Presiden, yaitu:
-
- Membubarkan konstituante
- Tidak mengakui UUDS 1945 dan memberlakukan kembali UUD 1945
- Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
Baca juga: Latar Belakang Sejarah & Kronologi Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Penting di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer
Sumber: Wikimedia Commons
Tadi kamu sudah menyimak masa Demokrasi Parlementer mulai dari kabinet awal sebelum RIS dan sesudahnya, kan? Nah selanjutnya, berikut ini ada beberapa peristiwa penting yang terjadi pada era pemerintahan tersebut. Untuk ulasan lebih lengkapnya bisa kamu baca berikut ini:
1. Pemilu Pertama
Pada masa penggunaan sistem Demokrasi Parlementer, Indonesia mengadakan pemilihan umum untuk yang pertama kalinya. Pemilu tersebut terlaksana pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, tepatnya pada tanggal 29 September 1955.
Pelaksanaan Pemilu pertama ini dalam rangka untuk memilih anggota DPR (parlemen) dan Konstituante. Pada waktu itu, situasi di Indonesia masih belum stabil. Terlebih lagi karena adanya pemberontakan DI/TII. Meskipun demikian, pemilu tetap terlaksana dengan para pasukan militer berjaga-jaga.
Pemilu tahun 1955 terbagi menjadi dua tahap. Yang pertama dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen. Kemudian, dilanjutkan dengan pemilihan anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955.
Saat Pemilu tersebut, para anggota TNI dan Polri masih bisa menggunakan hak pilihnya. Berbeda dari peraturan yang berlaku sekarang.
Pengadaan Pemilu tahun 1955 ini merupakan hal yang sangat krusial bagi negara Indonesia. Alasannya adalah dengan adanya pemilihan maka bisa mengukur kekuatan-kekuatan partai dengan lebih cermat.
Selanjutnya, anggota parlemen yang terpilih bisa jadi memiliki mutu yang lebih baik dan rasa tanggung jawab yang besar karena dipilih oleh rakyat. Sementara itu, biaya yang dihabiskan untuk menyelenggarakan Pemilu 1955 kurang lebih sekitar 479 juta rupiah.
2. Gunting Syarifuddin
Sekitar tahun 1950-an, situasi perekonomian Indonesia semakin merosot akibat agresi yang dilakukan oleh Belanda. Keuangan negara menjadi defisit dan inflasi semakin tinggi.
Hal ini membuat harga-harga barang menjadi sangat tinggi. Yang tentu saja, sangat memberatkan masyarakat.
Salah satu cara yang dilakukan untuk menangani situasi tersebut adalah dengan mengeluarkan kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang. Kebijakan ini diusulkan oleh Syafruddin Prawiranegara yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan.
Mulai tanggal 20 Maret 1950, mata uang yang bernilai 5 gulden keluaran NICA dan de Javasche Bank digunting menjadi dua sehingga nilainya menjadi setengah. Guntingan yang sebelah kiri menjadi alat pembayaran, sementara yang sebelah kanan ditukar dengan obligasi.
Baca juga: Latar Belakang dan Kronologi Terjadinya Pertempuran Medan Area
3. Program Benteng
Program Benteng yang dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer ini juga berkaitan dengan terpuruknya perekonomian Indonesia. Tidak hanya karena Agresi Militer Belanda, tetapi jug karena hars membayar hutang Belanda sesuai kesepakatan di perundingan KMB.
Kehidupan rakyat pun sulit. Hal tersebut karena sumber daya kebanyakan dikuasai oleh para penguasa. Untuk menanggulangi masalah tersebut, Sumitro Djojohadikusumo lalu mengusulkan Gerakan Benteng. Ia adalah Menteri Perdagagan pada masa Kabinet Natsir.
Dalam pelaksanaannya, ada dua peraturan yang berlaku dalam Gerakan Banteng:
- Memberikan hak istimewa kepada importir pribumi untuk melakukan impor khusus dan mendapatkan jatah devisa dengan kurs murah.
- Memberikan pinjaman modal kepada pengusaha pribumi yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank.
Gerakan tersebut mulai sejak bulan April 1950. Dalam perjalanannya, mengalami beberapa revisi mengenai persyaratan yang ditetapkan untuk mendapatkan keistimewaan di atas.
Namun sayang sekali, program tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Banyak pengusaha pribumi yang hanya dimanfaatkan oleh pengusaha asing untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Selain itu juga terjadi polemik lain karena persyaratannya mendiskriminasikan para pengusaha Tionghoa. Kemudian pada tahun 1955, gerakan tersebut dikaji ulang oleh Sumitro.
Namun sepertinya, usaha tersebut tidak terlalu banyak berpengaruh. Pada bulan April 1957, Gerakan Banteng akhirnya diberhentikan.
4. Kebijakan Ali-Baba
Peristiwa penting yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer lainnya adalah pemberlakukan kebijakan ekonomi Ali-Baba. Kebijakan tersebut tercetus pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo I, yaitu sekitar bulan Agustus 1954.
Mengenai penamaannya, Ali merupakan istilah untuk pengusaha lokal. Sementara itu, Baba mewakili para pengusaha non-lokal atau Tionghoa.
Nah, tujuan dari pemberlakukan sistem tersebut adalah memajukan ekonomi Indonesia. Adapun langkah-langkah yang diambil adalah:
- Pengusaha non-lokal harus memberikan pelatihan untuk tenaga-tenaga kerja Indonesia supaya nantinya dapat menduduki staf perusahaan negara.
- Pendirian perusahaan-perusahaan negara oleh pemerintah.
- Pemerintah memberikan kredit beserta lisensi untuk usaha swasta nasional.
Walaupun sudah dirancang sedemikian rupa, namun sistem ini tidak berjalan dengan baik. Salah satu alasannya adalah para pengusaha lokal malah memindahkan kredit kepada pengusaha Tionghoa secara sepihak.
Selanjutnya, terjadi pula penyalahgunaan kredit pinjaman. Yang seharusnya dipergunakan sebagai modal untuk mengembangkan usaha, malah digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
5. Nasionalisasi De Javasche Bank
Menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) juga merupakan salah satu kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1950-an. Sebagai tambahan informasi, menasionalisasi adalah tindakan untuk mengambil alih kekayaan asing menjadi milik negara.
Tokoh yang pertama kali mengusulkan ide tersebut adalah Jusuf Wibisono yang merupakan Menteri Keuangan dari Kabinet Sukiman. Pemerintah menyetujui usulan tersebut lalu membentuk kepanitiaan untuk menasionalisasi De Javasche Bank.
Yang ditunjuk menjadi ketua panitia adalah Mohammad Sediono dan dibantu oleh Mr. Soetikno Slamet, R.M. Soemitro Djojohadikoesoemo, T.R.B. Sabarudin, dan Drs. Khouw Bian Tie. Sebagai langkah pertama, yang mereka lakukan adalah membeli saham-saham DJB.
Proses nasionalisasi De Javasche Bank membutuhkan waktu yang tidak sebentar, yaitu mulai tahun 1952 hingga 1953. Setelah itu, pemerintah mengesahkan Undang-Undang No 11 tahun 1953. Selanjutnya, peraturan tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1953.
Setelah bank tersebut dapat dinasionalisasi, Syafruddin Prawiranegara kemudian diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia yang pertama. Peristiwa ini tentu saja disambut oleh masyarakat dengan sangat antusias. Hal ini karena nasionalisasi DJB menjadi salah satu bukti perjuangan bangsa dan negara yang berdaulat, bukan semata-mata hadiah kecil dari Belanda.
Baca juga: Sejarah Kronologi Terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949
Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi Parlementer
Demokrasi Parlementer yang berlaku di Indonesia mulai bulan November 1945 hingga tahun 1959 ini tentu saja memiliki kekurangan dan kelebihan. Apa sajakah itu? Ulasan singkatnya dapat kamu simak berikut ini, ya!
Kelebihan Demokrasi Parlementer di Indonesia
Ada beberapa nilai positif dari sistem tersebut, yakni:
- Mengenai pelaksanaan, tanggung jawab, dan pembuatan kebijakan alurnya jelas.
- Perlemen melakukan pengawasan yang ketat terhadap kabinet sehingga meminimalisir kesalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
- Jika ada masalah, dapat dengan segera melakukan pertemuan dan mengambil keputusan sehingga cepat teratasi.
Kekurangan Demokrasi Parlementer di Indonesia
Sementara itu, kekurangannya antara lain:
- Kabinet sewaktu-waktu dapat bubar, bahkan sebelum semua program kerjanya terpenuhi. Hal tersebut karena kedudukan mereka tergantung pada mayoritas anggota sehingga bisa dengan mudah dijatuhkan.
- Lembaga eksekutif memiliki potensi untuk dijadikan wadah kaderisasi bagi calon eksekutif selanjutnya yang berasal dari partai yang sama.
- Parlemen dapat dikendalikan oleh kabinet. Terutama apabila anggota kabinet berasal dari partai mayoritas. Karena hal tersebut, mereka bisa dengan mudah menancapkan pengaruhnya.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Sejarah Lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia
Informasi Lengkap Masa Demokrasi Parlementer di Indonesia
Itulah tadi ulasan lengkap tentang masa Demokrasi Parlementer atau Liberal yang pernah berlaku di Indonesia. Cukup panjang memang, tapi semoga informasi yang tertulis pada artikel di atas dapat menambah wawasanmu, ya!
Perjuangan para pendahulu dalam mempertahankan Indonesia tidaklah main-main. Bahkan setelah merdeka saja, mereka harus tetap berjuang supaya negara ini tetap berdiri tegak dan mampu mengayomi rakyatnya.
Tak hanya seputar Orde Lama saja, kalau kamu ingin mencari informasi tentang masa penjajahan atau persiapan kemerdekaan juga ada. Selain itu, kamu pun dapat membaca artikel menarik mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti Majapahit, Sriwijaya, Demak, dan masih banyak lagi. Yuk, baca PosKata terus!