
Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya merupakan pertempuran besar pertama melawan pasukan Belanda dan Inggris setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Meletusnya perang tersebut kemudian memicu dan menggerakkan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda di daerah lainnya.
Kedatangan Belanda kembali dengan membonceng Sekutu tentu saja mengusik rakyat Indonesia. Terlebih lagi, mereka yang ingin menguasai wilayah Indonesia kembali. Akibatnya, terjadilah perlawanan di berbagai daerah. Salah satunya adalah di Surabaya yang dikenal sebagai Peristiwa 10 November 1945.
Sebenarnya, periode perang Surabaya tersebut sudah berlangsung sejak akhir Oktober. Tanggal 10 November merupakan peristiwa puncaknya. Perang revolusi ini adalah pertempuran pertama yang terjadi setelah poklamasi kemerdekaan Indonesia.
Keadaan pada waktu itu sangatlah kacau, korban jiwa dari kedua kubu pun tak terhitung jumlahnya. Nah, sepertinya kamu sudah tidak sabar ingin segera menyimak mengenai kronologi Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya ini, ya? Daripada kebanyakan basa-basi, mending langsung saja cek informasi selengkapnya berikut ini.
Sejarah Latar Belakang Peristiwa Perang 10 November 1945
Jepang secara resmi menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, Sekutu kemudian mengirim pasukan ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tentara mereka yang menjadi tawanan.
Pada waktu itu, dari pihak Sekutu yang mengurus wilayah Asia Tenggara adalah South East Asia Command (SEAC). Pemimpinnya adalah Louis Mountbatten dari Inggris.
Selanjutnya, untuk lebih fokus mengurus wilayah Indonesia, mereka membentuk Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pasukan ini dipimpin oleh Jenderal Philip Christison.
Namun rupanya, beberapa waktu sebelum peristiwa kekalahan Jepang, Inggris membuat kesepakatan dengan Belanda. Isinya adalah Inggris akan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Berdasarkan kesepakatan itu, maka dikirimlah pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) bersama pasukan AFNEI.
Pasukan AFNEI dan NICA kemudian bersama-sama datang menuju Indonesia. Sekitar akhir bulan Agustus mereka mendarat di wilayah Aceh. Baru pada tanggal 29 September 1945, pasukan bangsa asing itu tiba di Jakarta.
Kedatangan pasukan tersebut tentu saja membuat rakyat menjadi berang. Terlebih lagi ketika Belanda mengumumkan kalau secara de jure wilayah Indonesia masih mereka pegang. Akhirnya terjadilah perang melawan Sekutu di berbagai wilayah, nantinya termasuk Surabaya.
Baca juga: Jawa Hokokai: Organisasi Propaganda Bentukan Jepang sebagai Pengganti PUTERA
Kejadian-Kejadian Menuju Peristiwa 10 November 1945
Seperti yang sudah kamu baca di atas, salah satu tugas pasukan Sekutu yang datang ke sini adalah membebaskan pasukan mereka yang menjadi tawanan Jepang. Mereka lalu berbagi kelompok dan pergi ke daerah-daerah untuk mulai melakukan pembebebasan.
Salah satunya adalah Surabaya. Pasukan Sekutu yang bertugas di sini kurang lebih sebanyak 4.000–6.000 orang dan dipimpin oleh Brigadir Mallaby.
Rombongan pasukan Sekutu datang ke Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Akan tetapi, kehadiran mereka tidak diterima dengan baik. Selain karena di dalamnya terdapat pasukan dari Belanda, mereka juga sebenarnya tidak boleh mendarat sebelum mendapatkan izin dari pemimpin Indonesia di Surabaya.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pihak Indonesia kemudian mengadakan perundingan dengan pemimpin pasukan. Yang menjadi wakil Indonesia pada saat itu adalah Gubernur Suryo, Mayor Jenderal Mustopo, dan Ketua KNI Doel Arnowo.
Beberapa hal yang menjadi kesepakatan bersama adalah memperbolehkan Inggris untuk menempati wilayah sesuai dengan tugasnya. Selanjutnya, diadakan pula pembentukan Biro Kontak untuk memperlancar komunikasi antar kedua belah pihak.
Dari pihak Indonesia, yang ditunjuk menjadi anggota Biro Kontak adalah Gubernur Soejo, Residen Soedirman, Sungkono, Doel Arnowo, dan Kusnandar. Sementara itu, Brigadir Mallaby, Kolonel Pugh, dan Kapten Shaw mewakili pihak Inggris. Lalu sebagai penengah, ada T.D. Kundan.
Dari pihak Sekutu sendiri meyakinkan Indonesia bahwa mereka tidak akan melibatkan tentara Belanda untuk misi tersebut. Selanjutnya, mereka juga meminta supaya hanya TKR, Polisi, dan BPRI saja yang diperlengkapi dengan senjata demi kelancaran tugas Sekutu.
Semula Inggris memang bertindak sesuai dengan apa yang telah tertulis dalam perjanjian. Namun tak lama setelah itu, mereka malah mulai arogan dan menguasai tempat-tempat penting di Surabaya.
Baca juga: Sistem Kerja Rodi yang Diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial di Indonesia
Insiden Perobekan Bendera
Sumber: Wikimedia Commons
Suasana menjadi semakin tak kondusif setelah terjadi insiden perobekan bendera di Hotel Yamato. Kejadiannya bermula dari pemerintah Indonesia yang mengeluarkan maklumat untuk mengibarkan bendera Merah Putih ke seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 1 September 1945.
Seluruh daerah tentu saja melaksanakan hal tersebut, tak terkecuali Surabaya. Para warga mengibarkan benderra Merah Putih setiap sudut kota, gedung-gedung, dan rumah-rumah.
Nah kemudian pada tanggal 18 September 1945, pasukan Belanda yang dipimpin oleh W.V. Ploegman mengibarkan bendera Belanda di puncak Hotel Yamato. Tentu saja, tanpa persetujuan siapa pun. Mereka melakukan hal tersebut sekitar pukul sembilan malam.
Keributan terjadi ketika keesokan harinya para pemuda melihat bendera Belanda itu berkibar dengan eloknya. Mereka tentu saja marah karena hal itu sama saja dengan melecehkan kedaulatan Indonesia. Banyak orang yang berkumpul di bawah hotel tersebut.
Tak berapa lama kemudian, datanglah tokoh bernama Residen Soedirman bersama Sidik dan Hariyono. Untuk meredam situasi, mereka melakukan perundingan dengan Ploegman. Pada awalnya, pihak Indonesia meminta dengan baik-baik agar Ploegman menurunkan bendera Belanda.
Akan tetapi, permintaan tersebut mendapatkan penolakan mentah-mentah dari orang belanda itu. Akhirnya, terjadilah percekcokan antara beberapa orang yang ada dalam perundingan tersebut. Suasana menjadi semakin memanas ketika Ploegman mengeluarkan pistol. Keributan pun tidak dapat terhindarkan.
Dalam perkelahian tersebut, Sidik mencekik Ploegman hingga tewas. Sementara laki-laki itu tewas di tangan tentara Belanda. Suasana yang menjadi semakin tak terkendali membuat Residen Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar.
Namun, suasana di luar juga tak kalah ramai. Sebagian dari para pemuda kemudian beruaha untuk naik ke puncak Hotel Yamato.
Melihat hal tersebut, Hariyono kemudian ikut pemuda yang lain untuk memanjat tiang bendera. Di puncak, sudah ada Koesno yang berhasil menurunkan bendera. Pemuda itu kemudian merobek bagian biru pada bendera Belanda dan mengibarkannnya kembali.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat dengan Sosok Sultan Suriansyah, Pendiri dari Kerajaan Banjar
Sekutu Mengeluarkan Ultimatum
Akibat insiden perobekan bendera itu, hubungan antara Indonesia dan Belanda menjadi semakin tegang. Meskipun demikian, pasukan Sekutu juga tetap berlaku semau mereka.
Mereka membebaskan pasukan Belanda yang menjadi tawanan di kompleks penjara Kalisosok dan Wonokitri. Tak berhenti di situ saja, banyak tokoh pemuda Indonesia yang kemudian mereka tangkap. Pada saat itu, situasi di Surabaya benar-benar kacau.
Peristiwa lain yang menjadi pemicu meletusnya peristiwa peperangan 10 November 1945 adalah pimpinan Sekutu yang memberikan ultimatum kepada pasukan Indonesia untuk menyerah dalam kurun waktu 48 jam. Tentara bangsa asing itu akan menembaki pasukan Indonesia apabila tidak mematuhinya.
Ultimatum itu tidak diumumkan secara verbal. Akan tetapi, menggunakan selebaran yang dijatuhkan dari atas pesawat pada tanggal 27 Oktober 1945. Pada lembaran selebaran juga terdapat tanda tangan Mayor Jenderal Hawthorn yang merupakan salah satu petinggi Sekutu di Indonesia.
Pasukan bangsa asing tersebut benar-benar memancing permusuhan. Kejadian ini tentu saja membuat rakyat menjadi sangat marah. Karena hal tersebut, secara kolektif rakyat membuat siaran di radio untuk mengusir Inggris dari Surabaya.
Tak lama setelah itu, terjadilah baku tembak antara pasukan pemuda denga pasukan Sekutu. Akan tetapi, situasi pada waktu itu masih dapat teratasi. Keesokan harinya, Brigadir Mallbay mulai bergerak untuk merebut kembali kendaraan berat tinggalan Jepang yang berada di tangan pasukan Indonesia.
Baca juga: Bukti Peninggalan-Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo, Serambi Mekah di Indonesia Timur
Kembali Melakukan Perundingan-Perundingan
Sejak peristiwa tersebut, kedua kubu saling menyerang. Beruntungnya, para wanita dan anak-anak sudah dievakuasi ke tempat yang lebih aman.
Polisi, TKR, dan juga BPRI menyatukan kekuatan dan menyerang pasukan Sekutu secara serentak. Di bawah pimpinan Mayor Yonosewoyo, mereka akan merebut kembali wilayah-wilayah penting yang berada di tangan bangsa asing itu.
Serangan yang besar tersebut membuat Inggris menjadi kewalahan. Tak mau keadaan menjadi semakin kacau dan yang berlarut-larut, petinggai Sekutu lalu bantuan Presiden Soekarno untuk meredam situasi yang telah terjadi.
Pada tanggal 29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Meteri Amir Syarifuddin akhirnya tiba di Surabaya. Mereka bertemu dengan Brigadir Mallaby dan membuat kesepakatan.
Isinya adalah kedua belah pihak akan melakukan gencatan senjata. Untuk yang belum tahu, gencatan senjata adalah pihak-pihak yang terlibat konflik bersedia untuk menghentikan serangan untuk sementara waktu. Nah, kesepakatan tersebut kemudian diumumkan melalui saluran radio.
Keesokan harinya, Mayor Jenderal Hawtron tiba di Surabaya dan membahas lebih lanjut mengenai kesepakatan bersama. Hasilnya adalah Sekutu mengakui keberadaan Indonesia dan tidak memberlakukan lagi leaflet ultimatum itu.
Selain itu, pihak Indonesia memperbolehkan Inggris untuk menduduki pelabuhan dan bandar udara. Akan tetapi, pasukan mereka harus ditarik dari pusat kota.
Baca juga: Informasi tentang Sin Po: Surat Kabar yang Tak Takut Memberitakan Perjuangan Indonesia
Tewasnya Brigadir Mallaby
Sumber: Wikimedia Commons
Para petinggi memang sudah menandatangani kesepakatan bersama. Akan tetapi, kedua kubu masih saling menyerang pada beberapa titik wilayah. Perwakilan Biro Kontak dari kedua belah pihak kemudian turun tangan untuk meredamkan situasi.
Mereka berhasil menghentikan baku tembak yang terjadi di Gedung Lindevetes. Selanjutnya, mereka kemudian bergerak Gedung Bank Internatio. Di sana, pasukan pemuda memerintahkan pasukan Sekutu untuk menyerahkan senjata.
Keadaan menjadi semakin memanas ketika tentara bangsa asing itu dengan tegas menolaknya. Baku tembak pun tak terhindarkan. Hingga kemudian, peristiwa tersebut menewaskan Brigadir Mallaby.
Mengenai kronologi tewasnya Mallaby sendiri terdapat beberapa versi. Salah satu versinya adalah pria tersebut keluar dari mobil dan hendak masuk ke gedung, akan tetapi dihalang-halangi massa yang sudah berada di sekitar gedung.
Di dalam gedung sendiri sudah ada anggota Biro Kontak dari Indonesia yang sedang berbicara dengan perwakilan Sekutu. Sayang sekali, keadaan menjadi kacau saat pasukan Sekutu melemparkan granat dan tembakan dari dalam ke gedung ke arah massa.
Pada saat terjadi kekacauan itu, sebenarnya Mallaby masuk ke dalam mobil lagi bersama dengan beberapa tentara Sekutu yang lainnya. Akan tetapi saat mengecek situasi setelah keadaan mereda, tiba-tiba ada seorang pemuda yang mendekatinya dan menembaknya dari dekat.
Melihat hal tersebut, Kapten R.C. Smith yang berada di dalam gedung kemudian melemparkan granat untuk ke pemuda tadi. Namun, tembakan itu malah meleset dan mengenai mobil Mallaby sehingga meledak.
Sementara itu, Kontak Biro Indonesia mengatakan kalau terbunuhnya Mallaby adalah murni kecelakaan. Tidak ada yang bisa memastikan siapa yang menembak karena bisa saja terkena tembakan dari dalam gedung.
Sampai sekarang mengenai kronologi kematian Mallaby tetap menjadi misteri. Namun yang pasti, tindakan tersebut memicu meletusnya peristiwa perang Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Baca juga: Propaganda-Propaganda yang Diterapkan Terhadap Indonesia Selama Penjajahan Jepang
Detik-Detik Menuju Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Kematian Mallaby tentu saja membuat pihak Sekutu menjadi sangat marah. Komandan SEAC, Louis Mountbatten, mengatakan akan membalas perbuatan tersebut.
Hingga kemudian pada tanggal 7 November 1945, Gubernur Soerjo mendapatkan surat dari pejabat Sekutu. Surat tersebut berisikan tentang laki-laki itu yang dianggap mempersulit mereka untuk melakukan evakuasi terhadap orang-orang mereka.
Sebagai kompensasi, pihak bangsa asing itu meminta untuk menduduki bandara Morokrembangan. Hal itu tentu saja membuat sang gubernur marah. Ia tidak terima mengenai tuduhan tersebut karena kenyataannya memang tidak seperti itu.
Selain itu, permintaan mengenai bandara juga ditolak dan sampai kapan pun tidak akan pernah diserahkan kepada mereka. Tindakan dari Gubernur Soerjo itu membuat pihak Sekutu semakin berang. Pada tanggal 9 November 1945, Mansergh selaku perwakilan Sekutu kemudian mengeluarkan ultimatum.
Mereka memerintahkan rakyat Surabaya untuk menyerahkan semua senjatanya. Hal itu termasuk milik polisi, tentara, dan gerakan pemuda. Selanjutnya, para pemimpin lembaga-lembaga itu harus melapor dan nantinya akan menjadi tawanan. Bangsa asing itu memberikan batas waktu hanya sampai jam enam sore pada tanggal 9 November 1945.
Baca juga: Candi-Candi Bersejarah Peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya
Peristiwa Pertempuran 10 November 1945
Menanggapi ultimatum tersebut, pihak Indonesia meredam ego dan berinisiatif mengirimkan utusan untuk diajak berunding. Akan tetapi, utusan tersebut mendapatkan penolakan. Tak menyerah, Indonesia mengirimkan utusan kembali. Namun, lagi-lagi mereka ditolak.
Sementara itu, keadaan di berbagai sudut kota Surabaya semakin memanas. Para pemuda dan kelompok bersenjata yang lain sudah berkumpul. Mereka bahkan sudah memperlengkapi dirinya dengan senjata.
Untuk mempermudah komando, gabungan kelompok tersebut lalu mengangkat Soengkono menjadi Komandan Pertahanan Kota Surabaya. Sementara itu, yang menjadi komandan pertempuran adalah Surachman. Semboyan mereka adalah “Merdeka atau Mati.” Mereka akan terus maju untuk melawan Sekutu.
Apa yang akan dilakukan oleh para pemuda itu sampai juga ke telinga Gubernur Soerjo. Sebenarnya pada waktu itu, para petinggi pusat sedang melakukan lobi. Soekarno mengutus Achmad Soebardjo menemui Komandan Pasukan Sekutu supaya mau membatalkan ultimatum. Namun, tentu saja permintaan tersebut mendapatkan penolakan.
Karena hal itu, pemerintah pusat tidak memiliki jawaban yang pasti ketika Gubernur Soerjo bertanya mengenai tindakan apa yang harus diambil pada situasi di wilayahnya. Pusat menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada sang gubernur. Sebenarnya, jawaban itu membuatnya marah karena tidak memberikan solusi apa pun.
Hingga akhirnya pada jam sembilan malam, Gubernur Soerjo menyampaikan jawabannya lewat saluran radio supaya semua orang bisa mendengar. Isinya adalah ia mendukung perlawanan rakyat untuk mempertahankan kedaulatan, daripada harus kembali menjadi jajahan.
Dengan demikian, ia akan menolak ultimatum yang disampaikan oleh Inggris. Setelah itu, suasana menjadi hening dan mencekam.
Rakyat kemudian bersiap untuk menghadapi serangan dan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat barikade meskipun menggunakan peralatan sederhana. Momen inilah yang kemudian menjadi penanda meletusnya Peristiwa Pertempuran 10 November 1945.
Pertempuran Hari Pertama
Keesokan harinya, tentara Sekutu memulai penyerangan tepat pada pukul enam pagi. Tak hanya suara tembakan, tetapi juga bom terdengar di mana-mana. Serangan ini tidak hanya dilakukan dari darat saja, tetapi juga udara.
Target mereka bukan hanya menyerang jalan-jalan utama di mana para tentara Indonesia bersiaga. Akan tetapi, juga sejumlah gedung-gedung penting.
Tank-tank milik tentara Sekutu tidak pernah terlihat menghentikan tembakannya. Dari pagi hingga malam, mereka terus menggempur pertahanan Surabaya. Keadaan pada waktu itu memang benar-benar mencekam.
Sementara itu, dari pasukan Indonesia sendiri tidak kalah nekat. Adu tembak sudah pasti. Namun, beberapa pemuda Indonesia mengorbankan dirinya untuk melakukan bom bunuh diri.
Kejadian ini berlangsung pada malam hari. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk melumpuhkan kekuatan Sekutu. Mereka akan menghentikan tank milik tentara Sekutu dengan paksa.
Setelah itu, mereka membuka kanopi dan masuk ke dalamnya. Dan tentu saja, meledakkan dirinya bersama seluruh orang yang berada di dalam kendaraan tersebut. Kejadian tersebut kemudian dibalas oleh Sekutu dengan mengebom perkampungan-perkampungan milik warga.
Sayang sekali, pada pertempuran hari pertama ini koordinasi antar kelompok masih kurang berjalan dengan baik. Sehingga serangan terlihat kurang terkoordinir dengan baik.
Melihat betapa mengerikannya Peristiwa 10 November 1945 ini, kamu tentu bisa membayangkan seberapa banyak orang yang menjadi korban. Menurut beberapa sumber, orang yang tewas sudah mencapai ribuan. Ini bahkan baru hari pertama.
Baca juga: Mengulik tentang Kehidupan Pendiri Kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senapati
Sosok Bung Tomo yang Mengobarkan Semangat
Sumber: Wikimedia Commons
Nah, di hari pertama Peristiwa 10 November 1945 ini, dikenal pula sosok Bung Tomo yang mengobarkan semangat rakyat untuk tak gentar menghadapi Sekutu. Ia melakukan orasinya lewat radio dan mendampingi rakyat melakukan perlawanan.
Lewat orasinya, ia juga meminta kepada pemuda untuk mempertahankan Surabaya. Dirinya menyerukan agar para pemuda dari segala penjuru Surabaya untuk datang dan bersama-sama untuk membantu mengusir Sekutu.
Bung Tomo sendiri merupakan pemimpin dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Ia mendapatkan mandat tersebut sejak tanggal 12 Oktober 1945. Namun sebelum itu, ia juga aktif mengikuti gerakan-gerakan pemuda yang lain sehingga sangatlah disegani.
Tak hanya Bung Tomo saja yang langsung menunjukkan dukungan langsung dalam peperangan tersebut. Sejumlah tokoh muslim berpengaruh juga mengerahkan santrinya untuk ikut membantu perang melawan Sekutu. Contohnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Para kyai juga merupakan tokoh penting dalam Peristiwa 10 November 1945. Pasalnya, mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap sebagian besar rakyat. Bahkan, dulu banyak orang yang lebih mendengarkan para kyai daripada pemerintah.
Baca juga: Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja Penguasa Kerajaan Banten
Pertempuran Hari-Hari Selanjutnya
Peristiwa peperangan yang meletus pada tanggal 10 November 1945 terus berlanjut hingga beberapa minggu setelahnya. Kedua kubu terus melancarkan serangan demi mencapai tujuan masing-masing.
Korban jiwa sudah tak terhitung lagi banyaknya. Bahkan, jasad mereka banyak yang hanya tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Para relawan medis yang mengurus kewalahan sehingga penangannya menjadi terlambat. Bau anyir darah, mesiu, dan asap menjadi hal yang biasa selama periode tersebut.
Dalam berperang, pihak Indonesia sendiri ada yang memang menggunakan perlawanan ekstrim seperti yang kamu baca di atas. Namun, sebagian besar lainnya memilih untuk melakukan serangan secara teroganisir supaya lebih tepat sasaran.
Ada banyak sekali kejadian mengenai betapa gigihnya wargaa dan tentara Surabanya dalam mempertahankan kotanya. Bahkan, bisa dibilang kejam dan brutal. Serangan demi serangan yang pasukan Indonesia lakukan bahkan sempat membuat nyali Sekutu menjadi ciut.
Tak hanya menembaki pesawat lawan, mereka juga tidak segan-segan untuk membunuh segerombolan tentara Inggris yang mereka jumpai di tengah jalan. Pada saat itu yang ada hanyalah bagaimana untuk mengenyahkan pasukan Sekutu dari Surabaya.
Menurut kesaksian tentara Sekutu yang selamat, peristiwa perempuran 10 November 1945 ini merupakan yang paling ganas setelah Perang Dunia II. Keadaan memang sama-sama mencekam. Akan tetapi, juga merupakan perlawanan yang benar-benar revolusioner dan mengubah sejarah Indonesia.
Baca juga: Informasi tentang Fujinkai: Organisasi Perempuan yang Dibentuk pada Masa Penjajahan Jepang
Akhir dari Peristiwa Pertempuran Surabaya
Tercatat, pertempuran besar terakhir antara Indonesia dan Sekutu terjadi pada akhir November. Lokasinya berada di Gunung Sari yang merupakan markas pertahanan terakhir pasukan Surabya.
Pada akhirnya, pasukan Sekutu dapat merebut markas tersebut. Selanjutnya, Indonesia memindahkan basis pertahanan ke Desa Lebaniwaras.
Memasuki awal bulan Desember, peristiwa yang berkecamuk sejak tanggal 10 November 1945 itu sampai juga pada titik padamnya. Perang memang mulai mereda, akan tetapi keadaan masih belum pulih seperti sedia kala.
Pihak Indonesia dan Sekutu masih saling menyerang meskipun dalam skala yang tak begitu besar. Para pasukan kedua belah pihak tetap dalam mode siaga.
Sementara itu, pihak lawan sendiri sudah mulai menarik pasukan dan menghentikan serangan pada tanggal 2 Desember 1945. Tak berapa lama setelah itu, mereka mulai meninggalkan Surabaya.
Melihat kegigihan rakyat Indonesia, perang tidak akan pernah berhenti jika mereka tidak segera pergi. Selain itu, kalau tetap berlanjut, pasukannya yang meninggal dalam pertempuran akan bertambah banyak.
Menurut catatan sejarah, ada sekitar 18.000 orang yang tewas dalam peperangan. Kira-kira 16.000 dari pihak Indonesia, sementara pihak Sekutu kehilangan sekitar 2.000 tentaranya.
Kalau dilihat secara militer, peristiwa pertempuran 10 November 1945 ini dimenangkan oleh pihak Sekutu. Meskipun demikian, secara mental ini adalah kemenangan indonesia. Para pejuang bisa memperlihatkan kegigihan mereka untuk mempertahankan kedaulatan dan tak gentar menghadapi gempuran pihak lawan.
Baca juga: Latar Belakang Terjadinya Perang Tondano: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Melawan Belanda
Ulasan Lengkap tentang Peperangan 10 November 1945
Itulah tadi informasi lengkap mengenai perjuangan rakyat Surabaya untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Perang tersebut bukan hanya sekadar kegigihan rakyat untuk mengusir Sekutu suaya tidak terjajah lagi.
Akan tetapi, ini juga menjadi penyulut perlawanan-perlawanan di daerah lain. Maka dari itu, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk diperingati setiap tahunnya.
Nah buat kamu yang mungkin masih ingin menyimak artikel serupa mengenai perjuangan rakyat dalam mengusir penjajah, bisa langsung cek saja artikel yang lainnya. Tak hanya itu saja, kalau mau membaca sejarah Indonesia sesudah maupun sebelum penjajahan juga ada, kok. Baca terus, ya!