
Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan sebuah pembuktian kalau Republik Indonesia masih ada. Kalau ingin mengetahui kronologi selengkapnya, kamu bisa menyimaknya berikut ini.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah salah satu kejadian bersejarah dalam usaha mempertahankan kedaulatan Indonesia. Selain itu, serangan ini juga menjadi ajang pembuktian eksistensi Indonesia di mata dunia.
Pada dasarnya, serangan ini erat kaitannya dengan kedatangan Belanda setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Puncaknya adalah pada saat bangsa asing itu menolak resolusi PBB untuk memberikan kedaulatan pada Indonesia setelah melakukan agresi militer yang kedua kalinya.
Semakin penasaran ingin segera menyimak kronologi sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 ini? Daripada kebanyakan basa-basi, mending langsung cek saja ulasannya di bawah ini, ya!
Latar Belakang Terjadinya Serangan Umum 1 Maret
Apabila merunut peristiwa secara seksama, terjadinya peristiwa ini bermula dari kedatangan Belanda ke Indonesia. Mereka membonceng tentara Sekutu tak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 29 September 1945.
Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mengambil kekuasaan kembali. Kedatangan mereka tentu saja membuat situasi yang masih kurang stabil menjadi panas. Rakyat yang merasa terusik pun tak gentar dan tak masalah berperang lagi demi mempertahankan kedaulatan.
Perlawanan rakyat terhadap Sekutu terjadi di mana-mana. Contohnya seperti di Bandung, Semarang, Surabaya, dan masih banyak lagi. Salah satu penyebabnya adalah perlakuan mereka yang semena-mena sehingga membuat rakyat merasa terancam.
Untuk meredam situasi tersebut, kemudian diadakanlah perjanjian Linggarjati pada tanggal 11 November 1946. Belum genap setahun perjanjian itu berlaku, Belanda sudah mengingkarinya. Pada tanggal 21 Juli 1947, mereka kemudian melakukan agresi militer.
Serangan mendadak dari Belanda tentu membuat keadaan Indonesia menjadi kacau. Kejadian ini kemudian diadukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tak lama kemudian, organisasi internasional itu membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai upaya untuk membantu menyelesaikan masalah persengketaan kedua negara itu.
Pada tanggal 8 Desember 1947, KTN memprakarsai terselenggaranya Perjanjian Renville. Meskipun sudah mendapatkan persetujuan bersama, perundingan ini tidak berjalan dengan semestinya karena kedua belah pihak tetap bersitegang.
Belanda Melanggar Perjanjian Renville
Setelah Perjanjian Renville, situasi menjadi makin tidak stabil. Memang benar, Belanda menghentikan serangan militernya. Akan tetapi, Wilayah Indonesia menjadi terbatas hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera saja.
Hal ini membuat keadaan ekonomi menjadi kacau. Belanda tidak hanya menguasai kota-kota penting yang lain, tetapi juga melakukan blokade ekonomi untuk melemahkan pemerintahan Indonesia.
Puncaknya yaitu Belanda mengirimkan nota kepada PBB. Isinya adalah tuduhan terhadap Indonesia yang melanggar Perjanjian Renville dengan mengirimkan pasukan gerilya ke wilayahnya.
Pada tanggal 18 Desember 1948, pihak Belanda kemudian mengumumkan bahwa tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Lalu keesokan harinya, mereka menyerang Yogyakarta yang merupakan ibu kota sementara RI. Peristiwa ini dikenal dengan Operasi Gagak atau Agresi Militer Belanda II.
Serangan Belanda yang kedua ini benar-benar mengacaukan keadaan. Mereka tidak hanya menjatuhkan bom dan menembakkan peluru ke wilayah tersebut. Akan tetapi, mereka juga berhasil menembus pertahanan istana negara.
Tentara bangsa asing itu mampu menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa menteri lain. Setelah itu, mereka mengasingkan para pejabat ke luar Jawa dan ke tempat yang berbeda-beda.
Untuk sementara, Amir Sjarifuddin memegang Pemerintah Darurat Republik Indonesia sesuai mandat Soekarno sebelum ditangkap. Pusat pemerintahannya berada di Bukittinggi. Para pejabat baru ini selanjutnya menjadi sasaran tentara Sekutu sehingga juga melakukan perjuangan secara gerilya.
Baca juga: HEIHO: Organisasi Pembantu Tentara Jepang yang Turut Diterjunkan ke Perang Asia Pasifik
Awal Mula Serangan Umum 11 Maret
Keadaan Indonesia sangatlah genting. Namun tentu saja yang berjuang tidak hanya mereka yang berada di dalam negeri, tetapi juga mereka yang kebetulan menjalankan tugas di luar negeri.
Tersebutlah A.A. Maramis, Soedarsonono, dan L.N. Palar mengikuti persidangan Dewan Keamanan PBB pada tanggal 22 Desember 1948. Mereka mengangkat peristiwa yang terjadi di Indonesia dalam pertemuan itu.
Belanda membantah hal tersebut dan mengatakan kalau Indonesia baik-baik saja. Akan tetapi, PBB tidak percaya begitu saja sehingga mengirimkan anggota KTN untuk mengecek fakta di lapangan.
Setelah mengetahui apa yang terjadi, utusan pun menyampaikan kebenarannya. Indonesia lalu mendapatkan simpati dari negara-negara lain. Bahkan, Amerika Serikat yang semula bersikap netral kemudian mendesak Belanda supaya segera memberikan kedaulatan pada Indonesia.
Selanjutnya, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Desember 1948. Secara umum, isinya adalah meminta Belanda segera menghentikan serangan dan mengembalikan Yogyakarta kepada RI. Dan juga membentuk United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai pengganti KTN.
Semula, Belanda mengatakan bersedia untuk melakukannya. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka tetap melakukan penyerangan.
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah itu, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Intinya hampir sama dengan resolusi yang sebelumnya.
Untuk kali ini, Belanda menolak resolusi tersebut dan menyiarkannya lewat saluran radio. Selain itu, mereka juga menyebarkan propaganda kalau pemerintahan RI dan TNI sudah tidak ada lagi. Penolakan inilah yang kemudian memicu Serangan Umum 1 Maret 1949.
Persiapan Serangan Umum
Sumber: Matapadi, Wikimedia Commons
Tak lama setelah mendengar kabar tersebut, Letkol dr. Williater Hutagalung (Perwira Teritorial & Penasihat Gubernur Militer III) melaporkan mengenai kejadian tersebut kepada Panglima Besar Soedirman. Sang petinggi militer tersebut kemudian mencari cara untuk mematahkan propaganda Jepang tersebut.
Pejabat kemiliteran lain yang juga turut bergabung dalam misi adalah Kolonel Gatot Subroto (Panglima Divisi II) dan Kolonel Bambang Sugeng (Panglima Divisi III). Keduanya juga tergabung dalam siasat perang gerilya melawan Sekutu.
Hingga kemudian, Hutagalung memiliki ide untuk membuat serangan besar yang tidak dapat disembunyikan oleh Belanda. Selain itu, tentunya UNCI dapat melihatnya dan wartawan asing bisa membantu menyebarkan kabar tersebut ke seluruh dunia.
Panglima Besar Soedirman tentu saja menyetujui gagasan tersebut. Ia kemudian memerintah supaya Hutagalung berkoordinasi dengan Kolonel Gatot Subroto dan Kolonel Bambang Sugeng. Pada tanggal 18 Februari 1949, ia memimpin pertemuan bersama pimpinan militer lain dan juga pemimpin pemerintahan sipil di lereng Gunung Sumbing.
Adapun pokok pembahasannya antara lain:
- Melakukan serangan serentak di wilayah Divisi III dengan melibatkan Wehrkreise I, II, dan II.
- Megerahkan potensi militer dan sipil di bahwa Gubernur Militer III.
- Menyerang satu kota besar di wilayah Divisi III
- Melakukan koordinasi dengan Divisi II untuk memkuat serangan.
- Serangan harus mendapatkan dukungan dari Wakil Kepala Staf Angkatan Perang untuk berkoordinasi dengan pemancar radio serta unit Pendidikan Politik Tentara. Hal ini dilakukan supaya dapat terekspos ke dunia luar.
Tujuan Serangan Umum 1 Maret 1949 itu tentu saja tidak hanya sekadar untuk melawan Belanda. Akan tetapi, juga sebagai bukti kepada dunia kalau Indonesia dan TNI itu masih eksis.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Mataram Islam
Kelanjutan Persiapan Serangan Umum 1 Maret 1949
Setelah melakukan pembahasan lebih lanjut, para petinggi militer itu kemudian memutuskan untuk menyerang Yogyakarta atas saran Bambang Sugeng. Yogyakarta terpilih bukan hanya karena merupakan wilayah langsung Divisi III.
Akan tetapi, kota ini terpilih karena memiliki pengaruh yang besar serta di sana masih banyak wartawan asing dan delegasi UNCI. Selain itu, kota ini juga berada di wilayah Wherkreise I yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Selanjutnya, mereka juga mencari pemuda yang berbadan tegap, tinggi, dan menguasai bahasa Belanda, Inggris atau Perancis. Nantinya, mereka akan mengenakan seragam TNI dan masuk ke Hotel Merdeka untuk menemui anggota UNCI dan wartawan asing ketika serangan berlangsung.
Setelah itu, Kolonel T.B. Simatupang bertugas untuk menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional. Tujuannya adalah supaya negara lain tahu mengenai adanya serangan TNI kepada tentara Sekutu di Yogyakarta.
Para pemimpin pemerintahan sipil yang turut serta dalam pertemuan tersebut bertugas untuk mengkoordinasi mengenai persiapan perbekalan di wilayah masing-masing. Ini bukan masalah yang besar karena sewaktu perang gerilya mereka pun melakukan hal yang sama.
Sementara itu, mengenai urusan pertolongan medis akan dibantu oleh PMI. Walaupun risikonya besar, Sutarjo Kartohadikusumo selaku ketua PMI tetap menyanggupi permintaan tersebut. Setelah rapat usai, keputusan pun dilaporakan kepada Panglima Besar Soedirman.
Baca juga: Peninggalan Bersejarah dari Kerajaan Demak yang Masih Bisa Dilihat Hingga Kini
Kronologi Jalannya Perang
Sekitar tanggal 19 Februari, rombongan Panglima Divisi melakukan perjalanan menyampaikan pesan kepada divisi-divisi terkait. Beberapa yang tergabung dalam rombongan adalah Kolonel Bambang Sugeng, Wiliater Hutagalung, dan Letnan Amron Tanjung.
Mereka melakukannya sendiri untuk mengurangi risiko rencana akan bocor ke pihak lawan. Mereka melakukan perjalanan di malam hari dan istirahat di siang hari untuk menghindari patroli Belanda.
Setelah singgah di beberapa tempat, akhirnya mereka bertemu dengan Letnan Kolonel Soeharto di daerah Brosot. Sebenarnya, pertemuan akan dilaksanakan di sebuah gedung sekolah. Namun karena takut adanya pembocoran informasi, maka lokasi diubah ke sebuah gubug di tengah sawah.
Dalam pertemuan tersebut sudah ada perkiraan tanggal penyerangan, yaitu antara tanggal 25 Februari atau 1 Maret 1949. Namun untuk kepastiannya masih harus menunggu menunggu persiapan pihak-pihak yang terkait selesai.
Beberapa saat setelah pertemuan tersebut, datanglah perintah kalau serangan akan terjadi tanggal 1 Maret 1949 jam enam pagi. Yang ditunjuk sebagai pemimpin dalam Serangan Umum 1 Maret adalah Letnan Kolonel Soeharto.
Baca juga: Perlawanan Cot Plieng, Usaha Rakyat Aceh Melawan Kekejaman Tentara Jepang
Hari H Serangan
Serangan ke Kota Yogyakarta terjadi seperti yang telah diinstruksikan. Penyerangan dilakukan serentak oleh pasukan yang tergabung dalam wilayah Divisi III/GM III.
Malam sebelum serangan, mereka sudah bersiap-siap di pos komando yang terletak di Desa Muto. Pasukan TNI perlahan-lahan bergerak mendekati kota. Ketika tepat pukul enam pagi, mereka kemudian menyerang dari berbagai arah.
Pemimpin pasukan dari arah barat adalah Letkol Soeharto, sementara yang timur dipimpin oleh Ventje Sumual. Selanjutnya, pimpinan pasukan dari arah selatan adalah Mayor Surdjono dan utara oleh Mayor Kusno.
Nah dalam waktu yang bersamaan, terjadi juga serangan terhadap pertahanan Belanda yang ada di Magelang dan Surakarta. Tujuannya adalah supaya tidak ada bantuan yang datang untuk Belanda dari kota-kota tersebut.
Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia tentu saja membuat Belanda kewalahan. Tanpa adanya persiapan, perlawanan tentara asing itu menjadi tak terlalu berarti.
Tak membutuhkan waktu yang lama, pihak Indonesia pun akhirnya berhasil melumpuhkan pertahanan Sekutu. Mereka pun menduduki Yogyakarta selama enam jam.
Tepat pada pukul 12.00 siang, Letkol Soeharto kemudian meminta pasukannya untuk mengosongkan kota. Mereka lalu kembali ke pos masing-masing untuk mengantisipasi serangan balasan dari Belanda.
Meskipun berhasil menjalankan rencana, tentu tetap ada korban jiwa yang jatuh. Namanya juga perang. Dari pihak Indonesia tercatat ada lebih dari 400 orang yang meninggal dunia. Sementara itu, dari pihak Belanda sekittar 200 orang.
Pembuktian pada Dunia
Kabar mengenai serangan besar-besaran terhadap Belanda ini akhirnya sampai juga ke dunia internasional. Termasuk di Washinton D.C. yang menjadi tempat penyelenggaraan sidang PBB. Hal ini berkaitan dengan rencana semula untuk mendatangi wartawan asing dan anggota UNCI yang berada di Hotel Merdeka.
Pemberitaan tersebut tentu berdampak pada propaganda yang dilakukan Belanda. Pemerintahan Indonesia masih tetap ada dan TNI juga tetap berjaya.
Setelah melihat fakta yang tak terelakkan itu, PBB kemudian semakin mendesak Belanda untuk membebaskan para petinggi Indonesia menjadi tawanan. Bangsa asing itu akhirnya melunak dan mau melakukan perundingan.
Dampak lain dari Serangan Umum 1 Maret ini adalah terjadinya perundingan antara perwakilan Indonesia dan Belanda di Hotel Des Indes, Jakarta pada tanggal 17 April 1949. Yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen.
Sesuai yang telah menjadi kesepakatan bersama, Belanda akhirnya mengembalikan Yogyakarta kepada pemerintah RI tanggal 24 Juni 1949. Selain itu, mereka membebaskan tawanan politik serta menarik mundur pasukannya.
Sementara itu, mengenai penyerahan kedaulatan Indonesia secara resmi baru terjadi pada 29 Desember 1949. Hal tersebut juga bertepatan sebagai hari di mana Indonesia berganti sistem pemerintahan menjadi Republik Indonesia Serikat.
Baca juga: Informasi tentang Sin Po: Surat Kabar yang Tak Takut Memberitakan Perjuangan Indonesia
Kontroversi Mengenai Serangan Umum 1 Maret
Sumber: Wikimedia Commons
Sebenarnya terdapat beberapa versi mengenai siapa yang memberikan perintah untuk melakukan serangan tersebut. Ada beberapa sumber yang menuliskan kalau yang memerintahkan adalah Sultan Hamengku Buwono IX.
Sang sultan menggagas rencana penyerangan tersebut karena marah terhadap perbuatan Belanda dalam Agresi Militer II. Ia pun menghubungi Jenderal Soedirman untuk membicarakan hal tersebut. Setelah itu, ia diminta untuk mengkomunikasikannya dengan Letnan Kolonel Soeharto.
Sultan Hamengku Buwono XI bertemu dengan Soeharto dan kemudian memberikan perintah untuk menyerang Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949. Sayangnya, ada banyak pihak yang menilai kalau fakta ini sedikit janggal.
Pasalnya, komandi tentara biasanya terstruktur dan sesuai dengan hierarki garis komando militer. Jadi, agak sulit dipercaya jika seseorang dari luar kemiliteran memberikan perintah.
Untuk keadaan terdesak mungkin itu bisa terjadi, terutama jika tidak ada pejabat kemiliteran yang berwenang. Namun selama ini, bahkan dalam keadaan perang gerilya pun, perintah pada pasukan tentara Indonesia tetap terstruktur.
Selain itu, kontroversi lainnya adalah mengenai peranan Letnan Kolonel Seoharto. Seperti pada buku sejarah terbitan Orde Baru, ia merupakan orang yang menggagas penyerangan tersebut sekaligus pemimpin pertempuran.
Setelah orde tersebut tumbang, barulah ada yang berani mengungkap tentang kebenarannya. Saksi tersebut adalah Abdul Latief yang pernah menjadi anak buat Soeharto pada waktu itu.
Ia mengatakan kalau waktu itu bukanlah Soeharto yang memimpin peperangan. Karena sewaktu dirinya kembali ke markas setelah bergabung dalam serangan umum itu, ia mendapati pimpinannya itu sedang makan santai bersama beberapa orang lainnya.
Baca juga: Sekilas tentang Chuo Sangi In: Dewan Perwakilan Rakyat pada Masa Penjajahan Jepang
Fakta Lain Mengenai Serangan Umum 1 Maret
Demikianlah ulasan mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dapat kamu simak di sini. Semoga setelah membacanya dapat menambah wawasanmu mengenai sejarah bangsa Indonesia.
Tak hanya mengenai perjuangan sebelum dan sesudah kemerdekaan, kalau kamu ingin menyimak ulasan tentang masa penjajahan juga ada, lho. Lanjutkan membacanya, ya!