
Sama seperti yang terjadi pada zaman pendudukan Belanda, rakyat juga melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang. Salah satu perlawanan rakyat terjadi di Aceh, tepatnya Cot Plieng. Kalau ingin menyimak informasi selengkapnya, langsung saja cek ulasannya di bawah ini.
Kedatangan Jepang ke Hindia Belanda pada awalnya diterima baik oleh rakyat. Namun setelah menunjukkan wajah yang sebenarnya, banyak rakyat yang berontak dan melawan akibat kekejaman mereka. Perlawanan rakyat Aceh di Cot Plieng adalah salah satunya.
Konon, peperangan tersebut terjadi akibat Jepang yang memaksa rakyat untuk memberikan hormat khusus kepada Kaisar Jepang. Akan tetapi, hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh pemuka agama setempat karena bertentangan dengan ajaran agama.
Lantas, apakah benar demikian? Nah daripada membuat kamu semakin penasaran, lebih baik simak jawabannya berikut ini. Selamat membaca!
Latar Belakang Perlawanan Rakyat Aceh di Cot Plieng
Sumber: Wikimedia Commons
Kedatangan Jepang di Hindia Belanda mulanya diterima baik oleh masyarakat. Pada saat itu, rakyat merasa senang karena Jepang dianggap mampu melepaskan belenggu dari penjajahan Belanda.
Salah satu penerimaan tersebut dibuktikan dengan adanya kerja sama antara para ulama Aceh dengan Jepang. Ulama-ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama Pusat Ulama Seluruh Aceh (PUSA) ini mau bergabung karena memiliki tujuan untuk mengusir Belanda di wilayahnya. Kalau berhasil, mereka nantinya akan semakin mudah untuk menegakkan sendi-sendi Islam di masyarakat.
Hubungan kerja sama tersebut juga mendapatkan sambutan yang baik dari Mayor Fujiwara Iwaichi. Ia inilah yang nantinya yang melakukan operasi pemerintah Jepang di wilayah Melayu dan Hindia Belanda.
Akan tetapi, tidak semua ulama menyetujui apa yang dilakukan oleh PUSA. Contohnya adalah Tengku Abdul Djalil. Ia menolak keras kerja sama tersebut. Menurut ajaran agama yang diyakininya, rakyat tidak boleh bekerja sama dengan Jepang meskipun telah membantu mengalahkan Belanda.
Propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Jepang lewat organisasi PUSA tidak menggoyahkan sedikit pun pendiriannya. Malah, ia semakin gencar mengajak santri-santrinya supaya tidak terpengaruh dengan propaganda tersebut. Diketahui, laki-laki tersebut merupakan seorang pimpinan pesantren atau dayah bernama Cot Plieng yang terletak di desa Bayu, Lhokseumawe.
Ketidaksukaan Tengku Abdul Djalil terhadap Jepang semakin kentara saat melihat kelakuan para tentara Jepang yang tidak sesuai dengan kaidah ajaran Islam. Tentara-tentara itu suka mabuk-mabukan, bermain wanita, atau melakukan perbuatan maksiat yang lain.
Baca juga: Sistem Kerja Rodi yang Diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial di Indonesia
Awal Mula Munculnya Perlawanan Cot Plieng
Hal lain yang paling tidak bisa diterima oleh sang ulama adalah ketika pemerintahan Jepang memerintahkan rakyat melakukan Seikerei. Untuk yang belum tahu, seikerei adalah melakukan penghormatan di pagi hari kepada Kaisar jepang dengan cara membungkuk ke arah timur.
Tindakan ini tentu saja tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Ia menganggapnya sama saja dengan menyekutukan Allah.
Sekitar bulan Juli 1942, Tengku Abdul Djalil mengadakan pertemuan dengan pengikutnya di Kampung Krueng Lingka. Di sana, ia berceramah dan mengatakan kalau mereka semua harus berjuang melawan penjajahan Jepang.
Tak butuh waktu yang lama, apa yang dikatakannya itu sampai juga ke telinga Jepang. Sang pemimpin pun diancam akan dibawa ke kantor polisi. Akan tetapi, hal itu tak membuatnya takut sedikit pun. Ia pun tidak pernah menggubris panggilan dari komandan kompetei di Aceh.
Sementara itu, bersama dengan pengikutnya yang berjumlah sekitar 400 orang, Tengku Abdul Djalil melakukan latihan supaya siap melakukan pertempuran dengan Jepang. Dari situ, hubungannya dengan Jepang menjadi semakin buruk.
Baca juga: Latar Belakang Terjadinya Perang Tondano: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Melawan Belanda
Bujukan untuk Tidak Melakukan Perlawanan
Pihak Jepang sempat mengusahakan jalan damai guna meredam perlawanan Tengku Abdul Djalil dan pengikutnya. Pertamanya, mereka mengirimkan uleebalang untuk membujuk ulama tersebut, tapi tak mendapatkan hasil. Bahkan, sekelas bupati saja juga tidak diindahkannya.
Selanjutnya, dikirimlah Tengku Haji Hasan Krueng Kale. Ia merupakan salah satu ulama yang tergabung di PUSA, maka dari itu tidak mengherankan jika memiliki hubungan kedekatan dengan Jepang. Selain itu, ia dipilih karena merupakan mantan guru Tengku Abdul Jalil.
Meskipun didatangi oleh gurunya sendiri, tetap tidak membuat keyakinan Abdul Jalil goyah. Pria tersebut tetap pada pendiriannya untuk melakukan perlawanan.
Hingga akhirnya, pemerintah Jepang mengirimkan seorang polisi militer benama Hayasi. Namun sama saja, kedatangannya itu tidak berpengaruh sedikitpun. Malah, salah satu pengikut sang pimpinan pondok pesantren itu menikamnya dengan menggunakan tombak. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 7 November 1942.
Melihat apa yang terjadi pada Hayasi sekembalinya dari Cot Plieng membuat pihak Jepang marah. Saat itu juga, mereka mengirimkan pasukan yang berada di bireun, Lhoksukon, dan Lhokseumawe untuk menyerbu tempat tersebut.
Baca juga: Ulasan tentang Tujuan Dibentuknya VOC Beserta Penjelasannya
Meletusnya Pertempuran Melawan Jepang
Sumber: Status Aceh
Waktu menunjukkan jam 12 siang ketika pasukan Jepang yang bersenjata lengkap tiba di Cot Plieng. Kedatangan para tentara itulah yang menandai dimulainya peperangan.
Di lain sisi, Tengku Abdul Djalil dan pengikutnya memang selalu siaga kalau-kalau ada penyerangan mendadak. Dengan gigih, ia mengerahkan pengikutnya untuk melawan Jepang.
Peperangan antara kedua kubu yang bertikai itu kurang lebih terjadi selama empat jam. Pasukan Jepang tidak segan-segan untuk membakar bangunan pesantren.
Tak hanya pesantren saja, bahkan masjid dan tempat tinggal sang pemimpin juga habis terbakar. Kurang lebih ada sekitar 86 orang yang gugur dalam peristiwa berdarah itu.
Karena semakin terdesak, perlawanan rakyat Aceh di Cot Plieng yang dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil tersebut terpaksa mundur. Pasukan yang tersisa kemudian menyelamatkan diri ke sebuah desa bernama Neuhun yang teletak di Kecamatan Merurah Mulia.
Terus Melakukan Penyerangan
Pasukan Jepang tentu tidak menyerah begitu saja. Mereka terus memburu pasukan Tengku Abdul Djalil sampai ketemu.
Keesokan harinya, mereka pun akhirnya menemukan tempat persembunyian lawan, yaitu di Desa Neuhun. Penyerangan mendadak itu menewaskan empat orang pejuang.
Beruntungnya, sang pemimpin pesantren dan beberapa pengikutnya masih bisa melarikan diri. Mereka sampai ke Desa Bulouh dan menjadikannya sebagai tempat persembunyian sementara.
Akan tetapi pada tanggal 10 Novemer 1942, pasukan Tengku Abdul Djalil kembali dapat ditemukan oleh Jepang. Mereka diserang ketika sehabis melaksanakan ibadah sholat.
Pada serangan ini, Jepang tidak main-main dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghabisi pasukan lawan. Pertempuran kali ini berlangsung sangat sengit dan berlangsung cukup lama, kira-kira sampai maghrib.
Sekitar pukul 18.00, Tengku Abdul Djalil dinyatakan gugur dalam peperangan. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan rakyat Cot Plieng di Aceh.
Jenazah sang pemimpin kemudian dikebumikan di Kompleks Dayat Cot Plieng. Sebagai tambahan informasi, perlawanan yang dipimpin sang tengku tersebut juga disebut Perang Bayu karena pertama kali meletus di Desa Bayu.
Baca juga: Masa Kejayaan dan Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Banten
Dampak dari Perlawanan Cot Plieng di Aceh
Sumber: Wikimedia Commons
Penumpasan Jepang yang dilakukan terhadap pasukan Tengku Abdul Djalil rupanya tidak membuat situasi di Aceh menjadi terkendali begitu saja. Karena selanjutnya, terjadi pula perlawanan di daerah Pandrah.
Penyebab meletusnya perlawanan tersebut dipicu oleh tindakan kesewenang-wenangan Jepang yang mengambil harta berharga milik rakyat. Selain itu, mereka juga menerapkan kebijakan romusha. Maka dari itu, rakyat melakukan perlawanan supaya terbebas dari penderitaan.
Perlawanan rakyat di Pandrah tersbeut dipimpin oleh beberapa tokoh masyarakat. Beberapa di antaranya adalah Keuchik Usman, Tengku Ibrahim Peudada, dan Keuchik Johan.
Setelah melakukan persiapan yang matang, Keuchik Johan kemudian mengerahkan rakyat untuk melakukan penyerangan terhadap pasukan Jepang. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 2 Mei 1945.
Penyerangan tersebut tidak dianggap enteng oleh Jepang. Mereka tidak menginginkan terjadinya Perang Bayu jilid 2. Selanjutnya, pasukan pun dikerahkan untuk mengepung Desa Pandrah.
Akhir Kisah Perlawanan di Aceh
Sesampainya di tempat tersebut, tentara Jepang tidak menemukan para pejuang karena telah kembali ke Glee Banggalang. Mengetahui hal tersebut, mereka kemudian menyuruh para pejuang untuk menyerahkan diri.
Namun karena tidak ada yang mau menyerah, akhirnya prajurit Jepang menyerang Desa Pandrah supaya mereka kembali. Kejadian tersebut mengusik para pejuang di tempat persembunyian.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan penyerangan dengan dipimpin oleh Tengku Ibrahim Peudada. Akibat kejadian tersebut, banyak sekali pasukan Jepang yang tewas.
Selanjutnya, pihak bangsa asing itu marah dan kemudian menjadikan warga Pandrah sebagai tawanan dan memburu para pejuang yang berhasil melarikan diri. Pada akhirnya, para pejuang berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Baca juga: Kronologi Terjadinya Agresi Militer Belanda 1: Usaha untuk Kembali Menguasai Indonesia
Ulasan tentang Sejarah Perlawanan Cot Plieng di Aceh
Itulah tadi informasi tentang perlawanan Cot Plieng yang dapat kamu temukan di PosKata. Bagaimana? Semoga saja dapat menambah pengetahuan sejarahmu setelah membacanya.
Di sini, kamu tidak hanya akan menemukan artikel sejarah tentang zaman penjajahan saja, lho. Kalau misalnya ingin membaca tentang sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara juga ada.
Selain kerajaan bercorak Hindu-Buddha seperti Kediri, Sriwijaya, dan Singasari, kamu bisa menemukan artikel tentang kerajaan bercorak Islam. Kalau tertarik, langsung cek saja artikel-artikel menariknya, ya!