
Beberapa bulan sebelum Indonesia merdeka, terjadi sebuah peristiwa besar dalam sejarah, yaitu pemberontakan pasukan PETA di Kota Blitar. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, ulasan selengkapnya bisa disimak di bawah ini!
PETA atau Tentara Sukarela Pembela Tanah Air merupakan sebuah organisasi militer bentukan Jepang yang berdiri pada tanggal 3 Oktober 1943. Semula tujuan pembentukannya adalah untuk membantu Jepang dalam pertempuran Asia Pasifik. Namun kemudian, PETA berubah haluan menjadi membelot dari Jepang dan kemudian terjadilah pemberontakan di Blitar.
Menurut catatan sejarah, yang menjadi komando pimpinan pemberontakan tersebut adalah Supriyadi. Dengan berani, ia mengerahkan pasukan untuk menyerang Jepang. Namun sayangnya setelah pemberontakan dapat dipadamkan, keberadaannya masih menjadi misteri hingga sekarang.
Lantas, apakah kamu penasaran mengenai kronologi jalannya pemberontakan PETA di Blitar dan bagaimana nasib sang komandan? Jawabannya dapat kamu temukan di bawah ini! Selain pemberontakan di Blitar, nanti kamu juga akan menemukan pemberontakan PETA di daerah lainnya.
Sejarah Singkat Kedatangan Jepang ke Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Pada tahun 1939, terjadi Perang Dunia II yang melibatkan Blok Sekutu dan Blok Poros. Blok Sekutu beranggotakan Amerika Serikat, Uni Soviet, Britania Raya, Tiongkok, dan Belanda. Sementara itu, Blok Poros merupakan gabungan dari Jerman, Italia, dan Jepang.
Selanjutnya pada tanggal 7 Desember 1941, pasukan Jepang menyerang pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di Hawaii. Penyerangan itu juga atas dasar sentimen karena pihak lawan melakukan embargo minyak bumi pada negaranya. Padahal, bahan baku tersebut sangatlah penting untuk keperluan perang dan industri Jepang.
Pagi-pagi sekali, Jepang menjatuhkan bom ke pangkalan militer tersebut. Selama dua jam, mereka terus menyerang dan membuat keadaan menjadi sangat kacau. Dalam pertempuran ribuan orang tewas dan ratusan pesawat milik Amerika Serikat hancur.
Kekalahan Amerika dalam peperangan membuat kedudukan Blok Sekutu menjadi melemah. Hal ini dikarenakan negara-negara lainnya yang tergabung dalam blok tersebut juga mendapatkan serangan dari Blok Poros.
Keadaan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Jepang untuk mengambil alih kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Pasukan Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan merebut pos-pos militer milik Belanda. Belanda semakin terdesak dan akhirnya menyerah tanpa syarat pada Jepang dengan menandatangani Perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942.
Latar Belakang Pembentukan PETA
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pemberontakan PETA di Blitar, tidak ada salahnya untuk membaca mengenai latar belakang pembentukannya terlebih dahulu. Nah, setelah penandatanganan Perjanjian Kalijati, secara resmi wilayah Hindia Belanda berada di tangan Jepang.
Untuk menarik simpati rakyat, mereka menjalankan banyak propaganda. Salah satunya adalah dengan membentuk organisasi militer.
Menurut catatan sejarah, Jepang membentuk tujuh organisasi militer. Satu di antaranya adalah PETA. Berbeda dengan organisasi lainnya, PETA rupanya terbentuk atas inisiatif rakyat. Lho, maksudnya bagaimana?
Jadi sebelum bulan Oktober 1943, salah seorang aktivis perjuangan yang bernama Gatot Mangkoepraja memberikan usul pada Jepang untuk membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Alasannya adalah supaya dapat melindungi tanah air dari serangan Sekutu karena Perang Pasifik atau Asia Timur Raya.
Menanggapi usulan tersebut, pemerintah Jepang secara resmi membentuk PETA atau dalam bahasa Jepang bernama Kyodo Boei Giyugun pada tanggal 3 Oktober 1943. Keputusan ini berdasarkan Osamu Seireo No. 44 tahun 1943. Pernyataan peresmian organisasi itu disampaikan langsung oleh Letnan Jenderal Kumakichi Harada dan juga dimuat pada koran Asia Raya.
Tujuan pemerintah bangsa asing itu menyetujui adanya PETA adalah untuk membuat hati para pemuda Indonesia yang lain supaya tergerak bergabung dengan PETA. Dengan begitu, secara otomatis mereka akan mendapatkan bantuan pasukan untuk membantu memenangkan Perang Pasifik.
Baca juga: Benda-Benda Bersejarah Peninggalan Kerajaan Majapahit
Tentang PETA
Sumber: Wikimedia Commons
Lantas, apa yang membuat organisasi militer yang satu ini berbeda dari yang lain? Selain karena dibentuk atas keinginan rakyat sendiri, PETA merupakan pasukan sukarela untuk mempertahankan keamanan wilayah. Maka dari itu, tidak ada pasukannya yang dikirimkan ke daerah luar Pulau Jawa.
Pembentukan PETA tersebut rupanya sangat menarik minat para pemuda. Terlebih lagi, pada waktu itu Jepang gencar sekali menggaungkan kalimat “Indonesia akan merdeka”.
Karena hal tersebut, semakin banyak sekali pemuda dari berbagai daerah yang datang untuk bergabung. Selanjutnya, pihak Jepang kemudian memberikan fasilitas dengan mendirikan pusat pelatihan kemiliteran yang berlokasi di Bogor.
Dalam waktu yang cukup singkat, organisasi tersebut memiliki anggota yang sangat banyak. Pada waktu itu, kira-kira jumlahnya hampir 40.000 orang. Mereka terbagi atas 69 batalion atau deidan, di mana yang 66 berada di Jawa dan 3 lainnya ada di Pulau Bali.
Para anggota PETA ini memiliki seragam khas yang membedakannya dengan organisasi militer yang lainnya. Tentara-tentaranya mengenakan seragam dan topi lapangan berwarna hijau dengan kerah putih. Sementara itu, untuk perwiranya memakai jas warna hijau, kemeja putih, dan membawa pedang samurai.
Segala kegiatan pelatihan organisasi memang berpusat di Bogor. Namun, yang menjalani pelatihan di sana hanyalah yang akan menjadi menjadi komandan. Baik itu, komandan batalion, kompi, peleton, maupun regu.
Kepelatihan tersebut berada di bawah unit intelejen khusus tentara Jepang yang disebut Beppan. Yang diberi tanggung jawab untuk mendidik anggota PETA adalah Letnan Yanagawa.
Stuktur Organisasi PETA
Dalam organisasi tersebut, terdapat jenjang kepangkatan yang diberikan berdasarkan pendidikan dan kelas sosial. Adapun jenjang tersebut adalah:
1. Daidanco
Pangkat yang paling tinggi adalah Daidanco atau komandan batalion. Biasanya, pangkat tersebut diberikan pada orang yang asalnya dari kalangan pejabat, penegak hukum, politikus, atau pamong praja.
Laki-laki yang menjabat pangkat ini hanya menjalani masa pelatihan selama kurang lebih 6 minggu. Pada dasarnya, mereka diajarkan untuk latihan kepemimpinan dan perekrutan anggota batalion. Orang Indonesia yang direkrut menjadi Daidanco adalah sebanyak 70 orang.
2. Cudanco
Sementara itu, di urutan kedua ada Cudanco atau dalam bahasa Indonesia disebut komandan kompi. Orang yang memegang jabatan tersebut biasanya berasal dari kalangan guru atau juru tulis. Yang terpilih akan menjalani masa pelatihan selama tiga bulan.
Setelah itu, mereka akan kembali ke daerahnya masing-masing untuk melatih anggota kompinya. Hal yang dipelajari adalah tentang pengamanan wilayah dan strategi gerilya. Menurut catatan, ada 200 orang yang ditunjuk sebagai Cudanco.
3. Shodanco
Selanjutnya, ada Shodanco atau komandan peleton. Orang yang bisa menduduki jabatan tersebut minimal harus pernah belajar setingkat sekolah lanjutan pertama atau sekolah menengah atas. Jumlah orang yang menjadi Shodanco kurang lebih ada 620 orang.
4. Budanco
Di bawah Shodanco, adalah Budanco yang juga dikenal sebagai komandan regu. Yang terpilih menjadi Budanco tidak memerlukan pendidikan tinggi. Minimal, mereka pernah sekolah di tingkat sekolah dasar. Yang menjadi Budanco tercatat ada sekitar 2.000 orang.
5. Giyuhei
Nah, di tingkat terendah, yaitu Giyuhei. Anggota yang menjadi Giyuhei atau prajurit sukarela tersebut biasanya tidak pernah mendapatkan pendidikan sama sekali.
Baca juga: Mengenal Sosok Kundungga, Sang Pendiri Kerajaan Kutai
Alasan-Alasan yang Menjadi Penyebab Pemberontakan PETA
Tak berapa lama setelah resmi membentuk PETA, Jepang kemudian mendirikan batalion di beberapa daerah yang tersebar di Pulau Jawa. Salah satunya adalah Batalion Blitar yang dibentuk pada tanggal 25 Desember 1943.
Nah, peristiwa yang menjadi penyebab utama pemberontakan PETA di Blitar adalah melihat penderitaan rakyat akibat perbuatan semena-mena Jepang. Pada waktu itu, beberapa anggota Batalion Daidan Blitar kembali usai melakukan latihan.
Di tengah jalan, mereka melihat dengan mata kepala sendiri kalau para petani yang dipaksa untuk menyerahkan hasil panennya lebih dari apa yang sudah ditentukan. Hal ini tentu sangat membuat miris. Pasalnya, untuk memberi makan keluarganya saja para petani itu masih kekurangan.
Yang lebih parahnya lagi, para prajurit PETA pernah ditugaskan untuk menjadi pengawas para pekerja romusha. Mereka rasanya marah sekali melihat saudara setanah airnya diperlakukan dengan sangat kejam.
Pekerjaan sangatlab berat, tetapi para pekerja tidak diberi upah dan juga makanan yang layak. Bahkan, waktu istirahat pun hanya sebentar. Selain itu, banyak juga pekerja romusha perempuan yang disiksa oleh tentara Jepang.
Selain karena rasa kemanusiaan dan kepedulian, yang menjadi penyebab perlawanan PETA adalah adanya perbedaan perlakuan antara tentara asli Jepang dengan pribumi. Tentara PETA yang berpangkat tinggi tetap harus merendah di hadapan prajurit Jepang yang pangkatnya lebih rendah.
Perencanaan Pemberontakan
Melihat kenyataan tersebut, Shodanco Supriyadi kemudian merencanakan pemberontakan yang dibantu oleh Shodanco PETA di Blitar yang lain, yaitu Muradi dan Suparjono. Selain itu, mereka mendapatkan dukungan dari Budanco yang bernama Sunanto, Halir Makudidjaja, dan Sunanto.
Mereka ini yang kemudian dikenal sebagai tokoh pemberontakan PETA di Blitar kemudian merencanakan strategi penyerangan mulai bulan September 1944. Selanjutnya, Supriyadi mulai menghimpun kekuatan dengan mulai menghubungi beberapa batalion lain.
Rencana tersebut sepertinya mendapatkan sambutan yang positif. Daidan PETA dari Malang, Lumajang, Kediri, Surabaya, Madiun, dan Tulungagung datang ke rapat bersama yang diadakan pada bulan November 1944. Selanjutnya, mereka mengadakan pertemuan beberapa kali sebelum akhrinya mengeksekusi rencana tersebut.
Sekitar tanggal 4 Februari 1945, Supriyadi mendesak teman-temannya untuk segera melaksanakan pemberontakan. Ia tidak mau rencana tersebut gagal karena diketahui oleh Jepang. Sayangnya, hal tersebut belum mendapatkan jawaban dari anggota PETA di daidan yang lain.
Tak menyerah, pada tanggal 13 Februari 1945, laki-laki yang lahir pada tanggal 13 April 1923 tersebut kembali mengumpulkan rekannya. Ia mengatakan bahwa Jepang sudah mengetahui rencana mereka sehingga pemberontakan harus dilaksanakan sesegera mungkin. Kali ini, ia mendapatkan persetujuan dari yang lainnya.
Baca juga: Faktor yang Dinilai Menjadi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kronologi Jalannya Pemberontakan PETA di Blitar
Sumber: Wikimedia Commons
Pada tengah malam, para anggota PETA keluar dari markas dengan dalih ingin menjalankan latihan malam. Pada waktu itu, mereka sudah mengenakan kelengkapan untuk berperang seperti senapan, granat, dan tembakan mortir. Prajurit yang berangkat kira-kira lebih dari 300 orang.
Tanggal 14 Februari 1945, tepat pada pukul 3 pagi, mereka bergerak melakukan serangan ke Jepang. Pemberontakan PETA di Blitar tersebut dipimpin oleh Supriyadi.
Mereka pada mulanya menyerang Hotel Sakura. Tempat tersebut dipilih karena merupakan kediaman para petinggi Jepang. Tak berhenti di situ saja, mereka juga menyerang markas Kempetai. Kempetai adalah organisasi militer lain yang terdiri dari pasukan khusus dan sangat ditakuti.
Selain itu, para prajurit juga mengibarkan bendera Merah Putih tepat pada pukul 03.30 pagi di alun-alun Blitar. Mereka mengibarkan bendera di tiang yang digunakan untuk mengibarkan bendera Jepang, yaitu Hinomaru. Yang mendapatkan tugas untuk menjadi pengibar bendera adalah Shodanco Partohardjono.
Selanjutnya, mereka pergi menyebar dan bergerak ke perbatasan kota. Hal tersebut dilakukan supaya dapat mencegah pasukan Jepang dari daerah lain untuk masuk ke Blitar. Pasukan pun dibagi menjadi tiga kelompok.
Shodanco Sunanto menggiring pasukan ke timur dan Shodanco Sunardjo ke arah utara. Mereka dikomandoi oleh Supriyadi. Sementara itu, yang bergerak ke arah barat dikomandoi oleh Muradi, S. Djono, dan Suparjono.
Pasukan Jepang Turun Tangan
Mengetahui adanya pemberontakan pasukan PETA di Blitar, para petinggi militer Jepang segera mengerahkan pasukan Heiho untuk mengepung daerah tersebut. Untuk menutupi peristiwa ini supaya tidak memantik pemberontakan lainnya, mereka mengatakan bahwa Sekutu menyerang Blitar.
Pasukan Jepang datang dengan menggunakan tank dan pesawat udara. Dengan cepat, mereka bisa membalik keadaan dan mengamankan Blitar. Mereka membuat pasukan PETA tersudut dan diminta untuk segera menyerah.
Rupanya strategi ini berhasil membuat sebagian pejuang mundur dan kembali ke barak masing-masing. Sayang sekali, tentara yang kembali mendapatkan siksaan dari Jepang.
Sementara itu, gertakan dari Jepang tidak membuat nyali Supriyadi menciut. Bersama dengan Muradi, ia masih memperjuangkan harkat dan martabat tanah airnya. Mereka kemudian bergerilya dan mendirikan tempat pertahanan di lereng Gunung Kawi.
Untuk melemahkan pasukan Supriyadi, Jepang memblokade seluruh akses dan mengepung kamp milik mereka. Namun lagi-lagi, tidak ada yang bisa mengusik sedikitpun nyali sang pemimpin.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja Pemimpin Kerajaan Pajajaran
Peristiwa Penangkapan Tentara PETA
Jepang sepertinya sudah kehabisan akal untuk membuat Supriyadi dan pasukannya menyerah. Maka dari itu, mereka menggunakan cara terakhir, yaitu memanipulasi mereka.
Sang komandan pasukan Jepang yang bernama Kolonel Katagiri kemudian berpura-pura menyerah. Yang pada akhirnya berhasil menjebak Muradi dan pasukannya. Sang kolonel mengajak mereka berunding dan bertukar pikiran secara damai.
Untuk kembali ke batalion, Muradi mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Yang pertama adalah mereka yang memberontak tidak akan dilucuti dan dikawal ketika pulang. Selain itu, mereka tidak akan dibawa ke pengadilan militer.
Poin selanjutnya yaitu Jepang akan menindak tegas tentara yang memperlakukan rakyat dengan semena-mena. Dan yang terakhir, mereka akan diperlakukan setara dengan tentara Jepang.
Sebagai bukti persetujuan, Kolonel Katagiri menyerahkan samurainya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa perlawanan yang terjadi hari itu hanyalah masalah internal sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Strategi ini sepertinya berhasil karena bisa membuat pasukan PETA luluh. Muradi dan pasukannya kemudian kembali ke markas Blitar.
Hukuman bagi yang Memberontak
Sekitar pukul delapan malam, para tentara PETA yang terlibat dalam pemberontakan di Blitar itu kembali dan disambut oleh Daidanco Surakhmad. Pada waktu itu, sebagai pimpinan Muradi memberi laporan dan mengaku menyesal telah memberontak.
Namun siapa yang menyangka kalau sebenarnya pasukan yang kembali itu sudah dikepung oleh pasukan Jepang. Kolonel Katagiri tidak benar-benar menepati janjinya. Tanpa membuang-buang waktu, senjata mereka dilucuti dan langsung ditahan.
Mereka dibawa ke markas Kempetai. Setelah peristiwa penangkapan Shodanco Muradi dan pasukannya, tak berapa lama kemudian Jepang dapat menangkap Supriyadi. Mereka semua kemudian menjalani pengadilan militer di Jakarta.
Menurut catatan beberapa sumber sejarah, para tentara PETA yang terlibat dalam pemberontakan di Blitar mendapatkan hukuman. Namun mengenai hukumannya sendiri informasinya ada berbagai versi.
Salah satunya mengatakan bahwa anggota PETA yang ditangkap ada kurang lebih sejumlah 55 orang. Chudanco Ismail, Shodanco Suparjono, Shodanco Muradi, dan beberapa orang lainnya dihukum mati. Sementara itu, beberapa lainnya ada yang menjalani hukuman seumur hidup. Lalu yang lainnya ada yang mendapatkan hukuman ringan.
Nah, mengenai apa yang terjadi pada Supriyadi masih menjadi misteri hingga kini. Ada yang mengatakan kalau ia mendapatkan hukuman mati secara rahasia. Namun, juga ada yang bilang kalau ia sebenarnya sudah meninggal terlebih dahulu saat menghadapi pasukan Jepang.
Dalam salah satu sumber sejarah tercatat bahwa ia diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet I. Akan tetapi karena tidak pernah muncul, posisinya kemudian digantikan oleh orang lain.
Baca juga: Candi-Candi Peninggalan yang Menjadi Bukti Peradaban Kerajaan Singasari
Pemberontakan PETA yang Terjadi di Daerah Lain
Seperti yang telah kamu baca di atas, pihak memang Jepang telah menutupi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh tentara PETA di Blitar. Namun rupanya, kejadian tersebut tetap saja didengar oleh tentara PETA di batalion lain.
Salah satu batalion yang mengikuti jejak adalah yang berbasis di Cilacap. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 April 1945. Pemberontakan PETA di Cilacap ini dipimpin oleh Kusaeri.
Laki-laki tersebut berhasil mengumpulkan kekuatan dan dukungan dari beberapa shodanco lainnya. Setelah semua persiapan selesai, mereka akan menyerang markas pasukan Jepang yang berada di sekitar Bukit Srandil.
Konon setelah rencana itu berhasil, ia akan mengajak batalion Kroya yang dipimpin oleh Daidancho Sudirman untuk memberontak dalam skala yang lebih besar. Sayang sekali, itu semua tinggallah rencana.
Belum sempat melakukan penyerangan terhadap markas Jepang, mereka sudah terlebih dahulu dicegat oleh pihak lawan di tengah jalan. Pertempuran sengit pun tidak dapat dihindari.
Banyak tentara yang gugur dalam peperangan tersebut. Sebagian lainnya dapat menyelamatkan diri, tapi setelah beberapa hari kemudian akhirnya ditangkap dan diadili.
Baca juga: Kisah Lengkap tentang Sultan Maulana Hasanuddin, Sang Pendiri Kerajaan Banten
Informasi Perlawanan PETA di Blitar
Demikianlah ulasan tentang peristiwa pemberontakan PETA di Blitar yang dapat kamu simak di PosKata. Bagaimana? Semoga setelah membacanya bisa membuatmu memiliki gambaran dengan apa yang terjadi pada masa itu.
Selain mengenai masa penjajahan, jangan lewatkan juga artikel menarik kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, ya! Yuk, teruskan membacanya!