
Mataram Kuno merupakan salah satu kerajaan Hindu-Buddha yang besar di Pulau Jawa. Kejayaan tersebut tentu saja bisa diraih berkat pemimpinnya. Nah, ulasan lengkap tentang silsilah raja-raja yang pernah menduduki singgasana Mataram Kuno bisa kamu simak berikut ini.
Prasasti Mantyasih merupakan bukti peninggalan sejarah yang paling penting dari Kerajaan Mataram Kuno. Karena dari situ dapat diketahui mengenai silsilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram Kuno.
Diketahui, pendiri kerajaan tersebut adalah Raja Sanjaya yang masih memiliki dari keturunan dari Kerajaan Lingga, yaitu kerajaan bercorak Hindu tertua di Pulau Jawa. Setelah itu, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Rakai Panangkaran.
Semakin penasaran ingin menyimak informasi tentang silsilah para pemimpin Kerajaan Mataram Kuno yang lainnya? Kalau begitu, nggak usah kebanyakan basa-basi lagi, cek selengkapnya di bawah ini, ya!
Silsilah Raja yang Memerintah Kerajaan Mataram Kuno
Berikut ini adalah daftar nama-nama raja yang pernah menjadi pemimpin Kerajaan Mataram Kuno:
1. Sri Sanjaya
Sumber: Wikimedia Commons
Pendiri Kerajaan Mataram Kuno ini memiliki gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Namanya muncul di urutan paling atas dalam daftar raja-raja Mataram Kuno yang tertulis pada prasasti Mantyasih.
Tidak ada informasi rinci mengenai kehidupan dari Sri Sanjaya sebelum menjadi raja. Akan tetapi jika dirunut dari silsilahnya, ia masih merupakan keturunan dari penguasa Kerajaan Kalingga yang menganut agama Hindu.
Pada masa kepemimpinannya, tepatnya pada tahun 732 Masehi, sang raja menerbitkan sebuah prasasti yang kemudian dikenal dengan nama Prasasti Canggal. Di situ, tertulis bahwa ia mendirikan bangunan dan lingga di sebuah bukit untuk memuja Dewa Siwa.
Selain itu, lewat tulisan tersebut diketahui bahwa sebelum masa pemerintahan Sri Sanjaya, sudah ada seorang raja yang memimpin. Namanya adalah Sanna yang dikenal begitu baik, adil, dan bijaksana. Ia memiliki seorang saudara perempuan yang bernama Sannaha yang merupakan ibu dari Sanjaya.
Hingga kemudian, Sanna tewas dalam peperangan dan terjadi krisis. Maka dari itu, kepemimpinan kemudian diambil alih oleh Sanjaya. Tidak ada catatan yang pasti mengenai kapan dirinya resmi naik takhta. Namun para ahli menduga, ia menjadi raja sekitar tahun 717 Masehi.
Selain itu, kisah mengenai Sri Sanjaya juga bisa ditemukan di naskah Carita Parahyangan. Di sini tertulis bahwa ia adalah raja yang sangat tangguh dan selalu berhasil mengalahkan musuhnya. Ia juga berhasil menaklukkan beberapa wilayah untuk menjadi daerah kekuasaan.
Pada tulisan tersebut, nama lainnya adalah Prabu Harisdarma yang sakit keras dan akhirnya meninggal dunia karena terlalu patuh menjalankan apa yang diperintahkan oleh guru agamanya. Sebelum meninggal, ia pun berpesan kepada anaknya untuk pindah agama.
Baca juga: Silsilah Lengkap Raja-Raja yang Pernah Menjadi Pemimpin Kerajaan Singasari
2. Rakai Panangkaran
Sepeninggal Sri Sanjaya, silsilah kepemimpinan raja Kerajaan Mataram Kuno kemudian dilanjutkan oleh Rakai Panangkaran. Ia diperkirakan naik takhta sekitar tahun 770 Masehi. Pada masa pemerintahannya, kerajaan ini berubah menjadi bercorak agama Buddha, tepatnya aliran Mahayana.
Menarikanya, ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai hal tersebut. Teori yang pertama diungkapkan oleh Poerbatjaraka yang mengatakan kalau tidak ada Dinasti Sanjaya karena tidak tertulis pada prasasti apapun.
Baik Sri Sanjaya maupun Rakai Penangkaran berasal dari Dinasti Syailendra. Hingga kemudian sebelum meninggal dunia, Sanjaya menyuruh anak lelakinya untuk berpindah agama.
Teori selanjutnya disampaikan oleh Van Naerssen. Menurutnya, Rakai Panangkaran memang anak laki-laki Sri Sanjaya. Namun kemudian, Dinasti Sanjaya ditaklukkan oleh Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha.
Kemudian, teori yang terakhir ini dikemukakan oleh Slamet Muljana dan bertentangan dengan yang sebelumnya. Ia mengatakan bahwa Rakai Panangkaran yang berasal dari Dinasti Syailendra berhasil merebut kerajaan dari Wangsa Sanjaya. Hal tersebut berarti pula bahwa Rakai Panangkaran bukanlah anak dari Sanjaya.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Panangkaran pernah mendirikan sebuah candi bercorak Buddha yang dibangun untuk memuja Dewi Tara. Bangunan tersebut diberi nama Tarabhavanam.
Informasi tersebut tertulis dalam Prasasti Kalasan yang diterbitkan tahun 778 Masehi. Di masa sekarang, bangunan tersebut dipercaya sebagai Candi Prambanan.
Setelah turun takhta, Rakai Panangkaran kemudian menjadi seorang pendeta. Sebelum meninggal, ia mendirikan sebuah bangunan untuk Dewi Avalokitesvara.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Raden Wijaya, Sang Pendiri Kerajaan Majapahit
3. Rakai Panunggalan
Sumber: Wikimedia Commons
Di urutan ketiga, silsilah kepemimpinan Kerajaan Mataram Kuno berlanjut di tangan Rakai Panunggalan. Ia merupakan anak lelaki dari Rakai Panangkaran yang resmi menjadi raja sekitar rahun 782 Masehi. Gelarnya adalah Sri Sanggrama Dhananjaya. Mengenai asal-usulnya pun menjadi perdebatan di kalangan para ahli sejarah.
Pada prasasti Kelurak yang diterbitkan tahun 728 Masehi, ia mendapatkan julukan Wairiwarawiramardana atau yang menumpas musuh-musuh para perwira. Selain itu, pada prasati Ligor, ia disebut sebagai Sarwwarimadawimathana.
Kemudian, nama aslinya juga menjadi spekulasi. Setelah mengumpulkan dan memadukan bukti-bukti yang ada, salah satunya dengan prasasti Po Ngar, sejarawan Slamet Muljana lalu menarik kesimpulan bahwa nama asli dari Rakai Panunggalan adalah Dharanindra.
Ketika memimpin, Rakai Panunggalan berhasil memperluas kerajaannya. Ia tidak hanya berhasil merebut kekuasaan Kerajaan Sriwjaya, akan tetapi juga menaklukkan Kamboja dan Campa.
Di masa pemerintahannya pula, sang raja diketahui pernah menganugerahkan gelar sima untuk Desa Hampran. Selain itu, ia juga memberikan sawah milik kerajaan kepada biara di sebuah daerah bernama Pikatan.
Baca juga: Nama Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kerajaan Sriwijaya
4. Rakai Warak
Raja keempat yang meneruskan silsilah kepemimpinan Kerajaan Mataram Kuno adalah Rakai Warak. Ia diperkirakan resmi menjadi pemimpin pada tahun 802 Masehi.
Sayang sekali, tidak banyak informasi yang bisa didapat dari raja yang satu ini. Sejarawan Slamet Muljana memberikan hipotesa bahwa sang raja memilih nama asli Samaragrawira.
Samaragrawira merupakan anak dari Dharanindra atau Rakai Panunggalan. Di masa pemerintahannya bisa dibilang kondisi kerajaan tidak sekuat sebelumnya. Maka dari itu, ada beberapa wilayah kekuasaan yang dengan mudah bisa melepaskan diri.
Hal tersebut juga belum bisa dipastikan kebenarannya karena ia menarik kesimpulan setelah menganalisis beberapa prasasti. Mengenai kapan Rakai Warak turun takhta juga tidak ada informasi yang jelas.
5. Rakai Garung
Sumber: Wikimedia Commons
Selanjutnya, ada Rakai Garung yang menjadi pewaris takhta kerajaan. Seperti yang tertulis pada prasasti Wanua Tengah III, ia resmi menjadi raja pada tahun 828 Masehi hingga 847 Masehi. Gelarnya adalah Sri Maharaja Rakai Garung.
Sebelum menjadi raja, diketahui ia sebelumnya pernah menjadi pejabat tinggi degan sebutan Rakaryan I Garung. Informasi tersebut tertulis pada prasasti Pengging yang diterbitkan tahun 819 Masehi.
Di kalangan para ahli, asal-usul dari Rakai Garung juga menjadi perdebatan, lho. Menurut De Casparis mengatakan kalau sang raja adalah orang yang sama dengan Dang karayan Partapan Pu Palar. Sosok tersebut dapat ditemukan pada prasasti Gandasuli.
Sementara itu, Slamet Muljana memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, Rakai Garung itu sama dengan Samaratungga.
Pada masa pemerintahannya, Samaratungga lebih berfokus untuk mengembangkan budaya dan agama. Salah satu wujudnya adalah dengan membangun Candi Borobudur.
Sayangnya, bangunan tersebut belum selesai saat dirinya meninggal dunia. Namun kemudian, pembangunan dilanjutkan oleh penerusnya.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
6. Rakai Pikatan
Setelah Rakai Garung turun takhta, silsilah raja Kerajaan Mataram Kuno diteruskan oleh Rakai Pikatan. Dalam prasasti Argapura, ia disebutkan sebagai Mpu Manuku. Gelarnya Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku yang mulai memerintah sekitar tahun 840 Masehi.
Sebelum menjadi seorang raja, diketahui ia pernah menjabat sebagai Rakai Patapan. Fakta tersebut tertulis dalam prasasti Munduan yang diterbitkan pada tahun 807 Masehi.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Pikatan memindahkan ibu kota kerajaan ke Mamrati dan membangun istana baru bernama Mamratipura. Karena hal inilah, ia kemudian dikenal sebagai Rakai Mamrati.
Selain sepak terjang dalan memimpin, rupanya kisah cinta dari sang raja juga menarik banyak perhatian. Ia menikah dengan putri dari Samaratungga yang bernama Pramodawardhani.
Hubungan kedua sejoli tersebut pada awalnya tidak mendapatkan restu. Seperti diketahui, Rakai Pikatan memeluk agama Hindu Siwa, sedangkan Pramodawardani beragama Buddha.
Namun setelah dipertimbangkan dengan baik, pernikahan keduanya lalu direstui oleh keluarga masing-masing. Peristiwa ini kemudian menjadi jalan untuk Dinasti Sanjaya dan Syailendra menjadi lebih damai dan akur.
Tak hanya berakibat baik untuk keluarga, tetapi juga untuk kehidupan beragama pada saat itu. Para pemeluk agama Hindu dan Buddha menjadi semakin toleran.
Di era kepemimpinannya ini juga banyak sekali candi yang dibangun. Selain menyelesaikan Candi Borobudur, ia juga mulai membangun Candi Prambanan. Tak hanya itu saja, ia juga mempersembahkan sebuah bangunan yang kemudian diketahui bernama Candi Plaosan untuk mengenang kisah cintanya dengan sang istri.
Sang raja mungkin terlihat begitu mencintai istrinya. Tapi beberapa sumber mengatakan kalau Rakai Pikatan memiliki agenda tersendiri dengan pernikahan tersebut. Konon, ia bermaksud untuk menguasai dan menghapus kekuasaan Dinasti Syailendra.
Raja keenam Mataram Kuno ini turun takhta sekitar tahun 854 Masehi. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang brahmana yang bernama Jatiningrat.
Baca juga: Mengenal Sosok Kundungga, Sang Pendiri Kerajaan Kutai
7. Rakai Kayuwangi
Sumber: Wikimedia Commons
Setelah Rakai Panangkaran memutuskan untuk menjadi seorang Brahmana, takhta Kerajaan Mataram Kuno kemudian jatuh ke tangan anak bungsunya yang bernama Dyah Lokapala. Ia resmi menjadi raja pada tahun 856 Masehi dan bergelar Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri Sayyawasanottunggadewa.
Kamu mungkin bertanya-tanya mengapa seorang anak bungsu bisa naik takhta? Karena biasanya yang menggantikan kedudukan raja adalah anak sulung.
Hal tersebut dikarenakan pada akhir masa pemerintahan Rakai Pikatan terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Beruntungnya, Dyah Lokapala berhasil menumpas orang-orang itu. Oleh karena keberhasilannya, ia memperoleh dukungan dari rakyat untuk menjadi raja.
Di masa kepemimpinannya, Rakai Kayuwangi pernah menerbitkan sebuah prasasti pada tahun 880 Masehi. Isinya adalah tentang pemberian hadiah kepada beberapa pemuka desa Wuatan Tija karena sudah menolong anak laki-lakinya, Dyah Bhumijaya, yang diculik.
Penculikan tersebut sejatinya dilakukan oleh Rakryan Landhayan. Ia adalah saudara dari istri Rakai Kayuwangi yang bernama Rakryan Manak. Ia tak hanya menculik keponakannya, tetapi juga saudaranya.
Ibu dan anak itu akhirnya bisa meloloskan diri setibanya di Desa Tangar. Akan tetapi entah apa alasannya, Rakryan Manak memilih untuk mengakhiri hidupnya. Sementara itu, anak lelakinya kemudian ditemukan oleh beberapa pemimpin Desa Wuatan Tija.
Mengenai kapan masa pemerintahan Rakai Kayuwangi berakhir tidak ada catatan pastinya. Namun ia diperkirakan turun takhta sekitar tahun 880 Masehi.
Baca juga: Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat
8. Rakai Watuhumalang
Silsilah raja yang menjadi pemimpin Kerajaan Mataram Kuno kemudian berlanjut ke Rakai Watuhumalang. Ia mulai menjadi raja kira-kira tahun 890 Masehi.
Jika diperhatikan dengan seksama, jarak Rakai Kayuwangi turun takhta dengan Rakai Watuhumalang menjadi raja bisa dibilang cukup lama. Menurut para ahli, dalam rentang waktu beberapa tahun itu sebenarnya ada beberapa raja yang memimpin.
Mereka adalah Dyah Tuguras, Dyah Darendra, dan Rakai Gurunwangi. Hanya saja, masa pemerintahan mereka cukup singkat sehingga tidak dicantumkan dalam prasasti Mantyasih.
Sayangnya, tidak banyak pula informasi yang dapat dikulik semasa pemerintahan Rakai Watuhumalang karena sedikitnya bukti peninggalan. Namun di era kekuasaannya, sering terjadi perang untuk merebutkan takhta kerajaan.
9. Dyah Balitung
Sumber: Wikimedia Commons
Raja kesembilan dari Kerajaan Mataram Kuno ini bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu. Ia mulai memimpin kerajaan sekitar tahun 899 Masehi.
Prasasti Mantyasih yang memuat nama-nama raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram Kuno diterbitkan pada masa pemerintahannya. Salah satu alasan ia menerbitkan prasasti tersebut supaya ada bukti yang sah kalau ia merupakan pewaris kerajaan.
Namun menurut beberapa sejarawan, sebenarnya Rakai Watukura Dyah Balitung bukanlah keturunan langsung yang dapat mewarisi takhta. Ia dapat naik menjadi raja karena menikah dengan anak perempuan Rakai Watuhumalang.
Pada era pemerintahannya, Dyah Balitung mengembalikan kejayaan Kerajaan Mataram Kuno. Pada era kepemimpinan raja sebelumnya, banyak wilayah yang melepaskan diri. Namun, ia mampu untuk menyatukannya kembali. Bahkan, ia bisa memperluas wilayah kerajaaannya mulai dari Jawa Tengah sampai ke Pulau Bali.
Di bawah kepemimpinannya, rakyat hidup dengan makmur karena ia sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Selain itu, di beberapa bidang seperti agama, kebudayaan, dan politik juga mengalami perkembangan positif.
Selain itu, dirinya juga memindahkan ibu kota dan pusat pemerintahan. Yang sebelumnya berada di Mamrati kemudian berpindah ke Poh Pitu.
Baca juga: Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang Sarat Akan Nilai Sejarah
10. Raja-Raja yang Lain
Setelah turun takhta, Dyah Balitung digantikan oleh saudara iparnya yang bernama Raja Daksa. Ia mulai memimpin sekitar tahun 915 Masehi. Namun, masa pemerintahannya bisa dibilang cukup singkat. Empat tahun kemudian, ia kemudian digantikan oleh Dyah Tulodong.
Menantu dari Raja Daksa tersebut bergelar Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa. Ia menggantikan mertuanya memimpin kerajaan mulai tahun 919 Masehi.
Enam tahun berselang, Dyah Tulodong lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Dyah Wawa. Sebenarnya bukan digantikan, melainkan Dyah Wawa melakukan kudeta untuk merebut kekuasaan dari Dyah Tulodong.
Dalam melakukan pemberontakan tersebut, ia tidak sendirian karena dibantu oleh Mpu Sendok. Setelah sukses, ia kemudian resmi menjadi raja dan memiliki gelar Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga.
Menurut anilisis ahli sejarah, Dyah Wawa ini merupakan raja terakhir dari Kerajaan Mataram Kuno. Karena satu hal dan yang lain, pemerintahan diambil alih oleh Mpu Sendok dan dipindahkan ke Jawa Timur.
Baca juga: Faktor-Faktor yang Menjadi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
Sudah Puas Menyimak Silsilah Raja-Raja yang Menjadi Pemimpin Kerajaan Mataram Kuno di Atas?
Itulah tadi ulasan lengkap tentang silsilah para raja yang pernah memimpin Kerajaan Mataram Kuno. Gimana? Tentunya kamu sudah puas membacanya, kan? Semoga saja apa yang disimak dapat menambah pengetahuanmu.
Kalau misalnya mencari informasi serupa tentang kerajaan-kerajaan lain di Indonesia seperti Samudra Pasai, Tarumanegara, atau Demak, kamu bisa langsung cek artikelnya di sini. Kepoin terus, ya!