
Nusa Tenggara Timur memiliki beberapa cerita rakyat yang indah dan mengandung pesan moral yang baik, salah satunya adalah Watu Maladong. Kalau penasaran seperti apa kisahnya, cek saja ulasan di artikel ini.
Indonesia memiliki keragaman budaya dari barat hingga ke timur, begitu juga dengan dongeng-dongeng daerahnya. Salah satu legenda yang menarik disimak adalah cerita rakyat dari Nusa Tenggara Timur yang berjudul Watu Maladong.
Kisahnya tak hanya menghibur, tapi juga bisa juga diambil pesan moralnya yang baik. Khususnya agar kamu bisa selalu berjuang meraih sesuatu yang kamu inginkan.
Semakin penasaran seperti apa cerita rakyat Watu Maladong ini? Nggak usah kebanyakan basa-basi lagi, langsung saja cek kisahnya di artikel ini, yuk! Setelahnya, jangan lupa cek juga sedikit ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya, ya!
Cerita Rakyat Watu Maladong
Alkisah pada zaman dahulu kala, di Sumba hiduplah seorang petani. Setiap hari pekerjaannya adalah mengerjakan kebun miliknya sendiri. Sesekali, ia juga membantu di kebun milik tetangganya.
Pada suatu pagi, betapa kagetnya ia karena mendapati tanaman-tanaman di kebunnya hancur berantakan. Dengan segera ia pun menelusuri setiap bagian lahannya. Setelah mengecek ke berbagai sisi, ia akhirnya menemukan jejak babi hutan.
Rasa heran pun langsung menyelimuti sang petani. Bagaimana bisa ada babi hutan masuk ke dalam sana, padahal lahannya sudah dikelilingi pagar tinggi. Belum lagi, pintu masuk ke dalam selalu dikunci ketika ia akan pulang ke rumah.
Karena penasaran, sang petani memutuskan untuk menunggu babi hutan itu. Dengan berbekal tombak sakti warisan dari leluhurnya, Numbu Ranggata, sang petani pun menunggu di salah satu pohon di dekat kebunnya ketika malam menjelang.
Penantian Akan Babi Hutan
Ketika hari semakin gelap, benar saja dugaan sang petani, dari kejauhan ia bisa mendengar sekawanan babi hutan yang berlari ke arah kebunnya. Namun, betapa terkejutnya sang petani ketika melihat mereka bisa menembus tembok pembatas dengan mudah.
Saat itu, ada seekor babi hutan yang tengah memakan timun yang terletak persis di bawah pohon tempatnya duduk. Sang petani pun melemparkan tombak Numbu Ranggata miliknya ke arah babi hutan tersebut dan mengenai bagian perutnya.
Sekawanan babi hutan itu terkejut karena ada salah satu anggotanya yang terluka. Dengan tergesa-gesa, mereka pergi meninggalkan tempat. Tombak Nunggu Ranggata milik sang petani pun turut serta terbawa pergi.
Meskipun begitu, sang petani tidak lantas mengikuti jejak kawanan babi hutan. Ia memilih pulang ke rumahnya untuk beristirahat dan kembali mengecek keesokan harinya. Keesokan paginya ketika matahari baru terbit, sang petani kembali ke kebun.
Kali ini tujuannya adalah untuk mengikuti jejak darah yang ditinggalkan oleh babi hutan yang semalam terluka. Selain untuk menemukan tempat tinggal kawanan babi yang telah mengobrak-abrik kebunnya, ia juga harus mendapatkan kembali tombak Numbu Ranggata miliknya. Karena bagaimanapun juga, tombak tersebut merupakan tombak sakti yang diwariskan oleh leluhurnya secara turun temurun.
Di Manakah Tempat Tinggal Babi Hutan?
Sang petani terus saja mengikuti jejak darah dari kebunnya hingga melewati hutan dan menuju ke tepi pantai. Namun, betapa terkejutnya ia ketika sampai ke tepi pantai, mendadak jejak darah itu menghilang begitu saja.
Sang petani sempat menduga kalau mungkin, kawanan babi hutan itu berasal dari pulau seberang. Namun jika benar demikian pun, rasanya masih tak masuk akal membayangkan babi hutan berenang menyeberangi laut. Apalagi, salah satunya telah terluka karena tombak Numbu Ranggata miliknya.
Ketika tengah termenung membayangkan kemungkinan yang terjadi pada sekawanan babi hutan itu, mendadak muncul sebuah suara yang menyapanya. “Apa yang sedang kamu lamunkan, wahai manusia?”
Sang petani menolehkan kepalanya dan mendapati seekor penyu tengah menatapnya. Sekali lagi ia termenung dan terheran-heran. Sekalipun ia belum pernah bertemu dengan hewan, apalagi penyu, yang bisa berbicara layaknya manusia. Jantungnya pun sampai berdebar kencang tak karuan.
Meskipun begitu, sang petani tetap menceritakan pengalaman dan keheranannya pada sang penyu. Ia juga menjelaskan dugaannya bahwa para babi hutan itu berasal dari seberang pulau.
“Apakah kamu berniat untuk menuju ke pantai di pulau seberang? Aku bisa mengantarmu sampai ke pulau seberang kalau kamu berkenan,” ucap sang penyu menawarkan bantuannya, “Siapa tahu kamu bisa menemukan apa yang kamu cari di sana!”
Baca juga: Legenda tentang Dayang Rindu Asal Sumatera Selatan dan Ulasan Menariknya
Menuju Ke Pulau Seberang
Awalnya, sang petani merasa ragu-ragu dengan tawaran itu. Namun, membayangkan kutukan yang mungkin saja ia dapatkan karena menghilangkan tombak sakti warisan dari para leluhurnya membuatnya terpaksa menyetujui tawaran dari penyu.
Ia pun langsung naik ke punggung penyu, kemudian sang penyu bergerak membawa sang petani hingga ke pulau seberang. Setelah perjalanan selama satu hari satu malam, mereka sampai di pulau dengan pantai indah. Sesampainya di sana, sang penyu langsung berpamitan.
“Semoga saja kamu bisa menemukan apa yang kau cari di sini, manusia,” ucap penyu. “Jika kau membutuhkan bantuanku lagi, panjatlah sebuah pohon yang ada di tepi pantai kemudian berteriaklah ke arah laut. Aku pasti akan datang mendatangimu!”
Setelah penyu itu pergi meninggalkannya sendirian, sang petani pun berjalan menyusuri pantai. Ia berharap dapat bertemu dengan seseorang yang bisa memberikan penjelasan atau informasi seputar babi hutan yang telah memporak-porandakan kebunnya.
Tak berapa lama kemudian, akhirnya ia menemukan sebuah rumah sederhana di tepi pantai. Ia segera menghampiri rumah itu dan mengetuk pintu.
“Permisi!” teriaknya memanggil sang penghuni rumah. Tak berapa lama, seorang nenek yang tinggal seorang diri keluar dari dalam. Sang nenek bertanya apa yang membuat petani datang ke rumahnya. Petani pun menceritakan apa maksud dan tujuannya.
Karena merasa kasihan, nenek itu kemudian menawarkan makan siang untuk sang petani. Sambil menunggui petani makan, ia kembali membahas tentang babi hutan yang telah memporak-porandakan kebun tamunya.
“Aku mengerti ceritamu itu, wahai petani,” ucap sang nenek. “Babi-babi hutan yang merusak kebunmu itu merupakan babi jadi-jadian yang memang berasal dari pulau ini. Sebenarnya mereka adalah sekelompok manusia yang memiliki ilmu gaib. Sayangnya, mereka begitu berkuasa di pulau ini, sehingga aku tak bisa banyak membantumu.”
Langkah yang Harus Dilakukan Petani
Akhirnya rasa ingin tahu sang petani pun terjawab sudah. Kini ia harus memikirkan baik-baik cara untuk bisa kembali mendapatkan tombak sakti miliknya. Karena bagaimanapun juga, ia tak akan bisa mengalahkan sekelompok manusia sakti itu begitu saja.
Untungnya, sang nenek menawarkan diri untuk mengajari beberapa jurus sakti kepadanya. Ia pun dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut dengan tekun selama beberapa hari. Setelah berhasil menguasai jurus sakti tersebut dengan baik, ia kemudian pergi ke perkampungan yang ditunjuk oleh si nenek.
Perjalanan sang petani menuju ke perkampungan tempat tinggal babi hutan jadi-jadian itu terhitung lancar. Bahkan, sesampainya di sana, sang petani sangat diterima oleh penduduk setempat. Ia juga ditawari untuk bekerja di kebun milik seorang jutawan di kampung tersebut.
Sambil bekerja, sang petani terus membuka telinganya dan menyimak setiap pembicaraan yang dilakukan oleh orang-orang kampung. Harapannya ia bisa mendapatkan informasi yang ia perlukan seputar babi hutan jadi-jadian.
Kepala Suku yang Sakit
Pada suatu malam, ia mendengar percakapan majikannya tentang kepala suku kampung mereka yang tengah sakit. Kabarnya, tak ada seorang pun tabib yang bisa menyembuhkannya. Bahkan salah satu tabib yang terkenal sakti dari pulau seberang pun sudah didatangkan, tapi tetap saja sang kepala suku tak juga sembuh.
Sang petani langsung curiga kalau kalau kepala suku itu merupakan salah satu anggota dari kawanan babi hutan yang telah merusak kebunnya. Karena ia tahu pasti kalau luka dari tombak sakti warisan dari leluhurnya itu tak akan bisa disembuhkan dengan mudah.
Ia pun menemui majikannya dan menawarkan untuk mengobati sang kepala suku. Meskipun awalnya sang majikan merasa ragu, tapi akhirnya ia mengizinkannya asalkan keluarga kepala suku juga memberikan izinnya. Bahkan, keesokan paginya ia diantarkan oleh majikannya sampai ke rumah kepala suku.
Untungnya, keluarga sang kepala suku yang sudah mulai putus asa memberikan izinnya kepada petani untuk memeriksa dan melakukan pengobatan. Setelah mengecek kondisi kepala suku, kecurigaan sang petani rupanya benar adanya. Khususnya setelah melihat perut sebelah kanan kepala suku yang terus saja meneteskan darah. Ia pun kembali teringat akan tombaknya yang menancap di perut salah satu babi hutan jadi-jadian.
“Bolehkah saya bertanya sesuatu, kepala suku?” tanya sang petani. “Apakah luka di perut bapak ini diakibatkan oleh tikaman sebilah tombak?”
Pertanyaan itu langsung membuat kepala suku dan seluruh anggota keluarganya terkejut. Mereka tidak menyangka kalau sang petani mengetahui penyebab dari sakit itu.
Kepala suku pun menganggukkan kepalanya perlahan seraya berkata, “Benar, perutku tertikam tombak. Apakah kamu bisa menyembuhkan lukaku? Kalau bisa, aku berjanji akan memberikan apa saja yang kamu inginkan!”
“Baiklah,” jawab sang petani, “besok pagi aku akan kembali lagi sambil membawa ramuan yang bisa bapak minum.” Sesudahnya, sang petani dan majikannya pamit pulang.
Ramuan Sakti dari Nenek
Sore harinya, sang petani pergi menuju rumah sang nenek yang menolongnya ketika baru sampai ke pulau. Sesampainya di sana, tanpa banyak berbasa basi ia langsung menceritakan semua yang dialami dan dilihatnya, termasuk tentang luka yang terdapat di perut kepala suku.
Setelah mendengar cerita dari sang petani, nenek itu kemudian menyiapkan ramuan yang bisa digunakan untuk mengobati kepala suku. Tak hanya itu, ia juga memberikan pesan penting untuk sang petani.
“Setelah menyembuhkan kepala suku, tentu kamu akan meminta tombak Numbu Ranggata milikmu, kan? Selain itu, mintalah juga Watu Maladong yang disimpan oleh kepala suku. Dengan batu sakti tersebut, kamu bisa menciptakan sumber air dan menumbuhkan palawija di mana saja yang kamu mau!” pesan sang nenek yang langsung disetujui oleh petani.
Sebelum petani kembali ke kampung, sang nenek sekali lagi mengajarkan beberapa jurus sakti. Karena sang nenek yakin kalau kepala suku tak akan memberikan Watu Maladong yang disembunyikannya itu dengan cuma-cuma. Setidaknya, sang kepala suku pasti akan mengajak sang petani untuk berduel terlebih dahulu.
Mengobati Kepala Suku
Keesokan harinya, setelah kembali ke kampung, sang petani mendatangi rumah kepala suku. Sesuai janjinya, ia memberikan ramuan yang telah dibuatkan nenek. Ajaibnya, setelah sang kepala suku meminum ramuan sakti itu, luka yang ada di perutnya langsung menutup dan sembuh.
Seluruh anggota keluarga kepala suku pun merasa terkejut dan bahagia di waktu yang bersamaan. Sang kepala suku sendiri juga merasa senang karena merasakan kalau tubuhnya kembali pulih seperti sedia kala.
“Terima kasih, petani,” ucap sang kepala suku dengan tulus, “sekarang sebutkan saja apa yang ingin kamu minta sebagai balasan atas jasamu menyembuhkanku!”
“Kalau tak keberatan, aku memiliki dua permintaan, kepala suku,” ucap sang petani. “Aku meminta tombak yang menikam perutmu itu kembali. Karena sesungguhnya, tombak itu merupakan milikku dan warisan dari leluhurku.”
Mendengar permintaan itu, wajah kepala suku langsung merah padam. Ia tidak menyangka kalau orang yang telah menyembuhkan lukanya juga merupakan orang yang melukainya. Ia bahkan berpikir kalau petani tentu sudah mengetahui rahasia keluarganya yang bisa menjadi babi jadi-jadian. Amarahnya pun perlahan memuncak.
Meskipun begitu, ia hanya bisa menjawab singkat dengan suara bergetar, “Baiklah, aku akan mengembalikan tombakmu. Kemudian apakah permintaanmu yang kedua?”
Permintaan Kedua
Awalnya, sang petani ragu untuk menyebutkan permintaannya yang kedua. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan sang kepala suku jika mengetahui permintaan tersebut. Namun, setelah mengingat kampung halamannya yang membutuhkan mata air dan tanaman palawija yang tumbuh dengan subur, ia pun menguatkan hati dan pikirannya.
“Aku menginginkan Watu Maladong milikmu,” ucap sang petani dengan nada sedatar mungkin, “karena kampungku membutuhkannya.”
Sekali lagi, kepala suku merasa seperti tengah disambar petir ketika mendengar permintaan sang petani. Ia tidak menyangka kalau pria itu mengetahui Watu Maladong yang ia sembunyikan baik-baik. Bahkan, ia sampai berpikiran kalau sang petani tentu bukanlah sosok sembarangan.
“Tentu kamu telah mengetahui kesaktian dari Watu Maladong milikku itu, kan?” tanya sang kepala suku. Sang petani menjawab dengan sebuah anggukan kepala singkat. “Baiklah, aku akan memberikan Watu Maladong padamu. Namun, dengan satu syarat! Kamu harus bisa mengalahkan kesaktianku dahulu.”
“Kalau kamu setuju,” lanjut sang kepala suku seraya berdiri, “nanti malam datanglah ke tanah lapang yang ada di belakang rumahku untuk bertanding!” Perintah itu pun disetujui oleh sang petani.
Saran dari Nenek
Malam harinya, sang petani kembali ke rumah si nenek yang ada di tepi pantai seraya membawa Numbu Ranggata yang dikembalikan padanya. Ia pun menceritakan segala hal yang terjadi selama berada di rumah kepala suku.
“Tak perlu khawatir atau gentar,” ucap sang nenek menenangkan sang petani yang terlihat ragu melawan kepala suku. “Bukankah kau sendiri memiliki kesaktian sebagai pemilik Numbu Ranggata?”
Sang nenek kemudian memberitahu kesaktian apa saja yang bisa didapatkan dari tombaknya itu. “Kamu bisa mendatangkan petir jika mengarahkan tombak itu ke langit. Nantinya, petir itu akan menyambar siapa saja yang akan menjadi lawanmu.”
“Kira-kira jurus apa yang kepala suku itu kuasai, nek? Adakah yang harus aku perhatikan?” tanya sang petani sambil menyimak ucapan sang nenek.
“Jurus andalan para babi hutan jadi-jadian itu adalah mengguncang bumi. Oleh karena itu, jika kamu merasa bumi tengah mengguncangmu, jangan panik. Tenangkan dirimu dan menyatulah dengan bumi. Niscaya guncangannya akan berhenti,” ucap nenek membuka rahasia sang kepala suku. Ucapan itu pun membuat petani tenang dan yakin bisa memenangkan pertarungannya dengan kepala suku.
Baca juga: Cerita Nabi Idris dan Malaikat Maut Masuk Surga Beserta Hikmahnya Bagi Hidup Manusia
Pertarungan dengan Kepala Suku
Keesokan harinya, setelah matahari mulai terbenam sang petani mulai berangkat menuju ke rumah kepala suku. Tak lupa ia membawa serta tombak sakti Numbu Ranggata miliknya. Sesampainya di lokasi yang dituju, seluruh anggota keluarga kepala suku sudah berkumpul.
“Bertarunglah melawan putra sulungku,” ucap kepala suku sambil menepuk pundak seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya. “Kalau kau berhasil mengalahkannya, aku akan menganggap kamu telah mengalahkanku.” Sang petani menyetujui permintaan itu kemudian menyiapkan diri.
Pertempuran antara petani dan putra sulung kepala suku pun dimulai. Perkelahian itu bisa dibilang sengit karena keduanya sama-sama memiliki jurus sakti yang tangguh. Waktu sudah berjalan selama dua jam dan pemenangnya masih belum terlihat juga.
Anak kepala suku pun memejamkan mata untuk mengeluarkan jurus andalannya. Kemudian ia menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah. Saat itu juga, seketika bumi tempat sang petani berdiri berguncang hebat.
Awalnya, sang petani terkejut dan merasa khawatir. Namun, setelah teringat akan ucapan nenek, ia langsung menenangkan diri dan berbaring di tanah. Tak lupa ia memegang kuat Numbu Ranggata di tangan kanannya.
Setelah memejamkan mata, ia membiarkan tubuhnya menyatu dengan bumi dan merasa seolah bumi terbelah untuk menelannya. Meskipun kepalanya terasa pusing dan perutnya mual sekalipun, petani tetap berusaha menenangkan diri.
Kekalahan Putra Sulung Kepala Suku
Setelah setengah jam lamanya, guncangan itu semakin berkurang. Ketika membuka mata, sang petani mendapati dirinya tengah terlentang di atas tanah tempatnya berdiri. Dengan penuh rasa syukur, ia mengarahkan tombak saktinya ke arah langit dan membaca mantra.
Tak lama kemudian, muncullah petir yang menyambar dan membelah langit yang gelap. Sinar petir yang menyilaukan mata itu kemudian menyambar tubuh putra sulung kepala suku. Saat itu juga tubuh sang pemuda hangus terbakar hingga ia tewas.
Melihat hal itu, seluruh anggota keluarga kepala suku langsung memekik terkejut dan ketakutan. Mau tak mau, meskipun hatinya terasa berat dan sedih, kepala suku harus berjiwa besar menerima kekalahannya. Ia pun menyerahkan Watu Maladong miliknya kepada sang petani.
“Watu Maladong ada tiga buah, yang dua berjenis kelamin pria dan akan mencurahkan sumber makanan berupa padi dan jagung. Sementara yang satunya berjenis kelamin wanita dan akan mencurahkan sumber makanan berupa jewawut. Ketiganya bisa bergerak sendiri dan akan patuh pada siapa saja yang ia layani. Ia juga bisa menyemburkan air tanah yang tak berkesudahan di tanah Sumba,” ucap kepala suku seraya menyerahkan batu yang terlihat berat itu kepada sang petani.
Ajaibnya, batu tersebut terasa ringan di tangan sang petani. Seolah Watu Maladong tersebut bersedia dengan senang hati melayani kebutuhan majikan barunya.
Kembali ke Kampung Halaman
Setelah mendapatkan Watu Maladong dan tombak saktinya, sang petani pergi ke rumah nenek yang ada di pinggir pantai dan berpamitan. Setelah itu, ia memanjat salah satu pohon kelapa di depan rumah nenek untuk memanggil penyu yang akan membawanya kembali ke pulau seberang.
Ketika penyu datang, barulah petani merasa kebingungan membawa tiga Watu Maladong. Meskipun ia ringan membawanya sendiri, tapi rasanya tak mungkin memeganginya sambil berpegangan erat di punggung sang penyu.
Karena ketiga batu tersebut bisa berjalan sendiri, sang petani kemudian meminta mereka untuk menempuh jalan bawah laut sampai ke pantai Katewel di tanah Sumba. Ketiga batu tersebut secara perlahan terbenam ke dalam bumi kemudian lenyap. Rupanya, ketiganya sampai ke tanah Sumba terlebih dahulu sebelum sang petani.
Sesampainya di pantai, tanpa menunggu lama sang petani langsung meminta tiga batu tersebut untuk mencari sumber mata air. Setelah menjelajah, ketiganya mendapatkan empat sumber, yakni mata air Nyura Lele di Tambolaka, mata air Weetebula di Weetebula, mata air Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur, kemudian mata air Weekello Sawah di Wewewa Timur.
Sesudahnya, ketiga batu tersebut juga menumbuhkan padi, jagung, dan jewawut di beberapa kebun yang ada di tanah Sumba. Setelah sang petani merasa tugas ketiga batu tersebut selesai, ia pun memerintahkan mereka untuk berpencar. Batu yang menumbuhkan jagung memilih untuk menetap di Bondo Kodi, sementara dua batu lainnya tinggal di Samudra Hindia.
Baca juga: Dongeng Anak-Anak, Kancil dan Musang yang Licik Beserta Ulasan Lengkapnya
Unsur Intrinsik Cerita Rakyat Watu Maladong
Setelah membaca cerita rakyat Watu Maladong yang berasal dari Sumba Barat ini, selanjutnya kamu bisa mengetahui sedikit ulasan seputar unsur intrinsiknya. Mulai dari tema, tokoh, latar, alur, dan pesan moral yang bisa didapatkan dari kisahnya.
1. Tema
Inti cerita dari cerita rakyat Watu Maladong ini adalah tentang pantang menyerah. Sama seperti sang petani yang terus berjuang demi mendapatkan tombak sakti miliknya.
2. Tokoh dan Perwatakan
Setidaknya ada enam tokoh yang disebutkan dan memiliki peran penting dalam cerita rakyat Watu Maladong ini. Di antaranya adalah petani, penyu, nenek, majikan sang petani, kepala suku, dan anak sulung.
Tokoh utama ceritanya adalah petani yang juga merupakan tokoh protagonis. Ia digambarkan memiliki sifat pantang menyerah dan tekun. Ia terus saja berjuang demi mendapatkan kembali tombak sakti Numbu Ranggata yang terbawa oleh kepala suku. Selain itu, ia juga merupakan sosok yang tekun khususnya dalam mempelajari ilmu kesaktian baru.
Tokoh utama lain yang merupakan antagonis adalah kepala suku yang bisa berubah menjadi babi hutan jadi-jadian. Meskipun tokoh antagonis, tapi kepala suku memiliki sifat yang positif, yaitu berjiwa besar dan bisa menerima kekalahannya.
Selain kedua tokoh tersebut, tokoh-tokoh lain hanya diceritakan secara sekilas tapi tetap mewarnai jalannya dongeng. Seperti penyu, nenek, dan majikan yang membantu petani dalam perjalanannya mencari tombak sakti, juga anak sulung sang kepala suku yang melawan petani menggantikan ayahnya.
3. Latar
Ada beberapa latar lokasi yang disebutkan dalam cerita rakyat Watu Maladong ini. Seperti rumah petani, kebun milik petani, tepi pantai tempat sang petani bertemu dengan penyu, tepi pantai di seberang pulau tempat tinggal nenek, kampung tempat sang petani bertemu dengan majikan, dan rumah sang kepala suku.
Sementara itu beberapa latar waktu yang disebutkan juga dalam ceritanya adalah pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari.
4. Alur
Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Watu Maladong ini ini adalah maju atau progresif. Kisahnya dimulai dari petani yang merasa kesal karena kebunnya dirusak oleh beberapa babi hutan. Ia pun melemparkan tombak sakti miliknya hingga mengenai salah satu babi hutannya. Sang petani kemudian berusaha mengejar sampai ke pinggir pantai.
Dengan bantuan penyu sakti yang bisa berbicara, ia menyeberang ke pulau seberang dan bertemu dengan nenek yang menjelaskan tentang keberadaan babi hutan jadi-jadian di kampung sebelah. Sang petani lalu mendatangi kampung itu dan menungggu informasi tentang keberadaan babi hutan itu.
Pada akhirnya, ia berhasil mendapatkan informasi kalau babi hutan jadi-jadian itu adalah kepala suku yang tengah terluka. Ia kemudian menawari untuk mengobati sang kepala suku dengan bayaran tombaknya yang masih disimpan sang kepala suku.
Konflik terjadi ketika sang petani juga meminta Watu Maladong yang sakti milik kepala suku. Kepala suku bersedia asalkan sang petani bisa mengalahkan anak sulungnya dalam sebuah pertempuran. Untungnya, petani berhasil memenangkan pertarungan itu dan mendapatkan Watu Maladong untuk membuat tanah Sumba menjadi lebih subur dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
5. Pesan Moral
Amanat atau pesan moral yang bisa didapatkan dari cerita rakyat Watu Maladong ini adalah jangan pernah menyerah ketika berusaha mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan. Selain itu, ada juga pesan moral yang bisa didapatkan dari tokoh kepala suku. Yakni, ketika berhadapan dengan kekalahan, akuilah kekalahanmu itu dengan jiwa besar. Jangan justru berlaku curang demi meraih kemenangan.
Selain intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang terkandung di dalam cerita rakyat Watu Maladong yang berasal dari Sumba Barat ini, yakni hal-hal dari luar kisah yang melengkapi dongengnya. Seperti nilai sosial, budaya, dan moral.
Baca juga: Cerita Rakyat Putri Siluman dari Lampung dan Ulasannya, Pelajaran tentang Kesetiaan dan Kesabaran
Fakta Menarik tentang Cerita Rakyat Watu Maladong
Selain kisah dan ulasan tentang unsur intrinsiknya, di artikel ini kamu juga bisa mendapatkan sedikit fakta menarik seputar cerita rakyat Watu Maladong. Berikut adalah ulasannya:
1. Tempat Wisata di Sumba
Di Sumba sendiri terdapat sebuah tempat wisata yang unik dan cukup terkenal, yakni Pantai Watu Maladong yang terletak di Desa Panenggo Ede, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tempatnya unik karena di sana terdapat deretan gugusan batu karang raksasa dan tebing yang menjulang tinggi di sepanjang pantai.
Menariknya, salah satu karang yang paling besar dan terletak tepat di muara sungai memiliki lubang di bagian bawahnya. Jika melihat dari sudut yang tepat, seolah karang tersebut memiliki empat kaki dan cangkang menyerupai penyu. Beberapa warga lokal percaya bahwa batu tersebut merupakan perwujudan dari penyu ajaib yang bisa berbicara dan telah membantu sang petani menuju ke pulau seberang.
Baca juga: Dongeng 1001 Malam, Kisah Abu Nawas dan Keledai Beserta Ulasan Lengkapnya
Sudah Puas Membaca Cerita Rakyat Watu Maladong yang Berasal dari NTT?
Demikianlah cerita rakyat Watu Maladong yang berasal dari Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Apakah menurutmu kisahnya menarik dan cocok dibacakan untuk buah hati, adik, atau keponakan tersayang?
Kalau masih mencari cerita yang tak kalah menarik lainnya, cek artikel-artikel di PosKata. Selain cerita rakyat yang berasal dari Sumba Barat, kamu juga bisa mendapatkan dongeng dari Sumba Tengah dan Sumba Timur.