Pulau Senua merupakan pulau terluar Indonesia yang berbentuk seperti wanita hamil yang sedang berbaring. Kira-kira, seperti apa kisah asal mula Pulau Senua? Langsung saja simak ulasannya di artikel yang satu ini.
Pulau Senua adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di laut laut Cina Selatan dan berbatasan dengan negara Malaysia timur. Bentuk Pulau Senua yang menyerupai wanita hamil sering membuat orang bertanya-tanya tentang cerita asal-mula kemunculan pulau yang terletak di Natuna tersebut.
Kalau kamu juga penasaran, tak perlu bingung mencari karena di artikel ini kamu bisa mendapatkan cerita sekaligus ulasan seputar unsur intrinsik dan fakta menariknya. Jika mau, kamu bisa menceritakan kisahnya sebagai dongeng sebelum tidur untuk adik, keponakan, atau buah hati tersayang. Tak lupa jelaskan juga sedikit tentang pesan moral yang bisa didapatkan dari kisahnya.
Semakin penasaran dengan legenda yang berasal dari Natuna, Kepulauan Riau ini? Langsung saja simak ulasan yang telah kami siapkan khusus untukmu di bawah ini!
Cerita Rakyat Asal Mula Pulau Senua
Alkisah pada zaman dahulu kala, ada sepasang suami istri yang hidup dalam kemiskinan di Natuna, Kepulauan Riau. Sang istri bernama Mai Lamah, sementara suaminya bernama Baitusen. Meskipun hidup serba berkekurangan, tapi mereka selalu saling menyayangi.
Pada suatu hari, mereka memutuskan untuk merantau ke Pulau Bunguran demi mengadu nasib. Pilihan untuk ke Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal akan kekayaan lautnya, khususnya siput dan karang. Harapannya, hidup mereka akan menjadi lebih baik jika bisa mengumpulkan kemudian menjual hasil laut tersebut.
Seperti rencana awal mereka, setelah pindah ke Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan. Setiap pagi ia pergi ke laut. Biasanya, ia mendapatkan siput lolak (semacam kerang yang kulitnya bisa dijadikan perhiasan), kelekuk kulai atau siput mutiara, dan berbagai macam kerang lokan.
Mai Lamah juga tak tinggal diam menunggu hasil tangkapan suaminya saja. Ia pun membantu mengumpulkan uang dengan cara membuat perhiasan dari kulit kerang yang ditangkap suaminya. Kehidupan sepasang suami istri itu pun secara perlahan menjadi lebih baik dan semakin dilimpahi kebahagiaan. Mereka kini merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran.
Keramahan Warga Pulau Bunguran
Belum lagi, warga pulau tersebut sangat ramah kepada Baitusen dan Mai Lamah. Khususnya Mak Semah, bidan kampung baik hati yang tinggal tepat di sebelah rumah mereka. Ketika mereka baru pindah ke Pulau Bunguran, Mak Semah langsung memberi pesan agar memanggilnya jika merasa tak enak badan.
“Tak perlu malu. Kalau kalian tengah sakit, langsung saja panggil Emak! Mak pasti langsung datang!” pesan Mah Semak kepada Mai Lamah.
“Terima kasih, Mak!” Mai Lamah pun menjawab dengan sopan dan penuh kebahagiaan. Dengan optimis, Mai Lamah yakin kalau hidupnya bersama keluarga kecilnya pasti akan menjadi lebih baik di Pulau Bunguran. Benar saja, setelah berbulan-bulan tinggal di sana, Mai Lamah merasa seolah Pulau Bunguran adalah kampung halamannya.
“Bang, sejak tinggal di sini, aku tidak pernah merasa seperti perantau. Semua penduduk di sini seolah menganggap kita seperti saudara mereka sendiri,” ucap Mai Lamah kepada suaminya pada suatu sore.
“Begitulah, Dik, pentingnya membawa diri ketika tengah tinggal di kampung orang,” jawab Baitusen saat itu.
Sejak saat itu, kebahagiaan mereka semakin berlipat ganda. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang juga siput, dan hasil kerajinan Mai Lamah semakin dikenal oleh warga pulau. Tak jarang, Baitusen pergi melaut sejak sebelum matahari terbit dan baru pulang setelah matahari mulai terbenam. Tempatnya mencari kerang pun semakin jauh hingga ke pesisir timur Pulau Bunguran.
Baca juga: Kisah Asal Mula Tombak Kyai Pleret dan Ulasannya, Peninggalan Kerajaan Mataram yang Legendaris
Hidup yang Jauh Lebih Baik Lagi
Suatu hari ketika melaut, Baitusen menemukan sebuah lubuk yang dipenuhi ribuan ekor teripang. Karena teringat kalau harga teripang kering di Bandar Singapura dan Pasar Kwan Tong di Negeri Cina itu lebih mahal daripada kerang atau siput, ia pun langsung mengumpulkan beberapa teripang di sebuah wadah. Sesampainya di rumah, ia langsung mengeringkan hasil laut tersebut.
Perkiraannya pun benar, ketika menjual teripang kerinya itu ke Negeri Singapura dan Cina, hidupnya bersama Mai Lamah pun berubah. Kini mereka berubah menjadi nelayan yang sukses dan kaya raya. Baitusen bahkan tak perlu datang ke negeri lain untuk menjual teripangnya. Pada pedagang dari Singapura dan Cina yang justru jauh-jauh datang ke Pulau Bunguran untuk membeli teripangnya secara langsung.
Baitusen pun semakin dikenal sebagai seorang bandar teripang. Setiap enam bulan sekali, pelabuhan Bunguran timur dipenuhi dengan kapal tongkang (kapal besar) yang berniat membeli teripang. Tak ayal, dalam kurun waktu dua tahun, sisi timur Pulau Bunguran berubah menjadi bandar yang ramai.
Mai Lamah, istri dari Baitusen kini sering dikenal dengan panggilan Nyonya May Lam. Panggilan tersebut rupanya membuat Mai Lamah menjadi lupa daratan. Ia terbuai dan tak lagi ingat bahwa dahulu ia hanyalah seorang istri nelayan miskin yang mengandalkan hidupnya dari siput dan kerang. Penampilannya pun berubah menjadi sering mengenakan gincu, bedak,dan wangi-wangian.
Tak hanya perbedaan penampilan, sikap dan perilakunya pun kini berubah. Ia tak lagi suka berkumpul dengan tetangganya dan sering kali memandang jijik pada mereka. Baginya, para tetangganya itu hanyalah orang-orang miskin yang berbau amis sepert pedak bilis atau siput busuk. Lebih parahnya lagi, Nyonya May Lam kini menjadi seseorang yang pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).
Kekikiran Mai Lamah
Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumah Nyonya May Lam untuk meminjam beras. Dulu, Nyonya May Lam dengan senang hati akan memberikan sedikit beras pada Mak Semah, yang kemudian dikembalikan dalam waktu dekat. Namun, kali ini kesombongan telah mengisi hati Nyonya May Lam. Bukannya memberikan beras, ia justru mencibir tetangga sebelah rumahnya itu.
“Hai, wanita miskin!” ucapnya dengan angkuh, “Sudah tak punya kebun, masih saja meminjam terus. Memangnya dengan apa kau akan membayarkan hutangmu?”
Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya bisa menunduk lesu. Baitusen yang mendengar hal tersebut berusaha untuk membujuk istrinya.
“Istriku. Lebih baik kau penuhi permintaan dari Mak Semah. Bagaimanapun juga, ia adalah tetangga kita yang baik hatinya. Dahulu kan ia sering membantu kita,” ucap suaminya mengingatkan dengan lembut.
“Memangnya kenapa kalau dahulu sering membantu? Yang dahulu ya dahulu, sekarang ya sekarang!” jawab Mai Lamah dengan ketus. Mak Semah pun akhirnya pulang dengan tangan kosong dan sakit hati.
Rupanya, sikap kasar tersebut tak hanya dilakukan Mai Lamah kepada Mak Semah saja. Siapa pun tetangganya yang datang untuk meminjam beras atau uang, selalu saja diusir dengan ketus dan kasar. Hal tersebut akhirnya membuat warga Pulau Bunguran semakin menjauhi Mai Lamah dan malas bergaul dengannya.
Baca juga: Cerita Nabi Musa As Membelah Laut dalam Sudut Pandang Alquran & Ilmu Pengetahuan
Kehamilan Mai Lamah
Setelah beberapa bulan, Mai Lamah akhirnya mengandung buah hatinya bersama Baitusen. Sialnya, ketika akan melahirkan, Mak Bidan yang ia panggil dari pulau seberang tak juga datang. Baitusen yang merasa tak tega melihat istrinya kesakitan langsung datang ke rumah Mak Semah dan beberapa tetangga lainnya untuk meminta bantuan.
Namun, rasa sakit hati yang selama ini menumpuk di dalam dada para tetangga membuat mereka enggan membantu Nyonya May Lam sama sekali.
“Untuk apa menolong wanita kedekut itu?” ucap Mak Saiyah, salah satu tetangga Mai Lamah, “Biarkan saja dia sadar kalau baik budi dan hidup bertegur sapa dengan tetangga itu jauh lebih penting daripada harta benda.”
Mengetahui bahwa para tetangganya tak ada yang bersedia membantunya, Baitusen kemudian mencoba membujuk istrinya untuk mendatangi bidan yang tinggal di pulau seberang menggunakan perahu dayung milik mereka.
“Mungkin memang lebih baik kita langsung mendatangi bidan yang ada di pulau seberang, istriku,” ucap Baitusen seraya memapah istrinya menuju ke perahu.
“Suamiku, jangan lupa bawa peti perak dan emasnya!” ujar Mai Lamah mendadak sambil menahan sakitnya, “Bawa semuanya naik ke atas kapal!”
Baitusen menuruti perintah istrinya. Setelah Mai Lamah duduk di perahu, ia kembali ke rumah untuk mengambil peti emas dan perak mereka kemudian membawanya ke atas perahu. Sesudahnya, mereka berangkat menuju ke pulau seberang.
Kemunculan Pulau Senua
Dengan penuh susah payah, Baitusen mendayung perahunya melawan gelombang laut sendirian. Semakin ke tengah laut, gelombangnya semakin besar sehingga banyak air yang masuk ke dalam perahu. Lama kelamaan, perahu tersebut semakin berat muatannya dan secara perlahan mulai tenggelam.
Mai Lamah dan Baitusen langsung panik. Perahu mereka akhirnya tenggelam bersama peti emas dan perak yang dibawa. Baitusen berusaha menyelamatkan diri dan istrinya dengan berenang menuju Pantai Bunguran Timur.
Tubuh Mai Lamah yang semakin berat karena kandungannya dan berbagai macam perhiasan yang menghiasi tubuhnya pun timbul tenggelam di permukaan laut. Ia hanya bisa berpegangan pada sabuk suaminya yang masih berusaha mengikuti arus laut menuju Pantai Burungan.
Pada akhirnya, pasangan suami istri itu akhirnya sampai di tepi pantai. Sayang, malang nasib Mai Lamah yang kedekut, bumi Bunguran menolak keberadaannya. Mendadak, angin berhembus kencang diikuti hujan deras dan petir yang menyambar kencang. Tak berapa lama, tubuh Mai Lamah terseret ombak kembali ke lautan.
Mendadak badan Mai Lamah yang masih terombang-ambing di lautan berubah menjadi batu besar. Batu itu lama kelamaan membesar hingga membentuk pulau berbukit-bukit. Oleh warga sekitar, pulau tersebut disebut Sanua yang memiliki arti satu tubuh berbadan dua dalam bahasa setempat. Sementara emas dan perak yang terdapat di dalam peti berubah menjadi burung layang-layang putih yang dikenal juga dengan burung walet. Hingga kini, Pulau Senua terkenal sebagai pulau tempat sarang burung layang-layang putih.
Baca juga: Kisah Sabai Nan Aluih dan Ulasan Menariknya, Sang Perempuan Pemberani dari Padang Tarok
Unsur Intrinsik Asal Mula Pulau Senua
Setelah mengetahui kisah singkat asal-usul pulau yang lokasinya tak jauh dari Pulau Sedanau ini, kini kamu bisa mengecek beberapa unsur intrinsiknya. Berikut ini adalah ulasannya:
1. Tema
Inti cerita atau tema dari asal mula Pulau Senua ini adalah tentang kesombongan yang . Hal tersebut ditunjukkan dari sikap Mai Lamah yang menjadi angkuh setelah hidupnya menjadi lebih kaya raya. Ia bahkan sampai beranggapan kalau tetangganya berbau amis.
2. Tokoh dan Perwatakan
Tokoh utama dalam kisah asal mula Pulau Senua ini ada dua, yaitu Mai Lamah dan Baitusen. Di awal cerita, Mai Lamah memiliki sifat yang lembut dan penyayang. Namun, setelah menjadi kaya raya, kesombongan mulai singgah di hatinya. Ia berubah lebih kasar dan tak mau lagi membantu tetangganya yang membutuhkan.
Sementara itu, Baitusen merupakan suami yang pekerja keras dan berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan keluarganya. Sisi positifnya, ia tetap berusaha mengingatkan istrinya untuk tetap santun kepada tetangganya yang baik hati. Selain itu, ia juga sangat menyayangi istrinya. Bahkan setelah sang istri tetap berlaku angkuh sekalipun, ia tetap dengan sabar mencari solusi agar istrinya bisa melahirkan bayi yang sehat.
Selain kedua tokoh utama tersebut, ada beberapa tokoh yang turut serta mewarnai kisah asal-usul Pulau Senua. Di antaranya adalah Mak Semah, Mak Saiyah, dan para tetangga sekitar yang awalnya sering membantu Mai Lamah dan Baitusen, tapi pada akhirnya jadi kesal akan kesombongan Mai Lamah.
3. Latar
Ada beberapa latar lokasi yang disebutkan dalam cerita asal mula Pulau Senua ini. Di antaranya adalah Pulau Bunguran, sisi timur Pulau Bunguran tempat Baitusen mencari hasil laut, juga Negeri Singapura dan Cina tempat Baitusen menjual hasil teripang keringnya.
4. Alur
Alur cerita yang digunakan dalam kisah asal mula Pulau Senua ini adalah progresif atau alur maju. Kisahnya dimulai dari berpindahnya sepasang suami istri bernama Baitusen dan Mai Lamah ke Pulau Bunguran demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Perjuangan mereka di pulau tersebut pun akhirnya membuahkan hasil. Sepasang suami istri itu akhirnya menjadi nelayan dan saudagar paling kaya di Pulau Bunguran.
Konflik mulai terjadi ketika sang istri berubah menjadi seseorang yang angkuh. Ia tak lagi santun dan sopan pada tetangga-tetangganya. Oleh karena itu, ketika ia membutuhkan bantuan saat melahirkan, tak ada seorang pun tetangga yang bersedia membantunya. Ketika sepasang suami istri itu berusaha menyeberangi lautan menuju ke pulau sebelah, mereka tergulung ombak dan kembali ke Pulau Bunguran.
Namun, Mai Lamah yang congkak ditolak oleh Pulau Banguran sehingga kembali terombang-ambing di lautan. Pada akhirnya, tubuhnya berubah menjadi batu yang berkembang besar hingga menjadi pulau. Oleh warga sekitar, pulau tersebut dikenal dengan nama Senua.
5. Pesan Moral
Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita asal mula Pulau Senua di atas. Yaitu tentang dampak buruk dari sifat pelit dan tentang seseorang yang tidak pandai bersyukur. Kedua hal tersebut bisa dilihat dari sikap Mai Lamah yang tidak mau membantu tetangganya yang membutuhkan pertolongan.
Pada akhirnya ketika ia membutuhkan bantuan, para tetangganya pun enggan membantu. Sehingga bisa dibilang, budi dan perilaku baik jauh lebih dipandang dibandingkan emas permata dan harta kekayaan.
Selain intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang terkandung kisahnya. Yakni nilai-nilai yang berasal dari luar cerita, seperti moral, sosial, dan budaya.
Baca juga: Kisah Asal Mula Kota Banjarmasin dan Ulasannya, Bukti Ketulusan akan Mengalahkan Kebatilan
Fakta Menarik tentang Asal Mula Pulau Senua
Kalau sudah selesai membaca cerita dan sedikit unsur intrinsiknya, kini kamu perlu mengetahui sedikit fakta menarik seputar asal mula Pulau Senua. Berikut adalah ulasannya.
1. Tempat Wisata Tak Berpenghuni
Pulau yang terletak di Laut Cina Selatan itu rupanya tak ada penghuninya. Meskipun begitu, jika mau kamu tetap bisa mengunjungi pulau yang bersebelahan dengan Pulau Natuna itu, caranya adalah dengan menyeberang menggunakan perahu nelayan dari Desa Teluk Baru.
Pulau Senua sendiri termasuk pulau yang indah dilihat baik dari jauh ataupun dekat. Pasirnya putih dan halus, kemudian dipenuhi dengan pemandangan terumbu karang yang terhampar indah. Belum lagi, pulaunya terlihat rimbun karena banyaknya pepohonan.
Di pulau tersebut, kamu bisa bermain di pinggir pantai atau snorkeling di perairan dangkal. Kalau kamu berniat berlibur di pulau tersebut sambil snorkeling, pastikan untuk membawa perlengkapannya sendiri. Karena pulau tersebut tidak menyediakan tempat penyewaan peralatannya.
Pastikan juga untuk mengunjunginya di pagi atau sore hari, karena saat itu air sedang pasang sehinga akan lebih mudah merapat ke tepi pulau. Atau kalau mau, tunggu saja sampai pemerintah setempat mengadakan sebuah festival di pulau tersebut.
Menariknya, pulau tersebut masih kental dengan beberapa pamali. Di antaranya adalah dilarang berkata-kata kotor atau kasar dan tak boleh berperilaku kurang pantas. Berdasarkan kepercayaan warga sekitar, jika melakukan pamali tersebut, nantinya sang pengunjung akan mendapatkan kesialan ketika kembali ke kota asalnya.
2. Ada Versi Cerita yang Berbeda
Sebagai sebuah legenda, ada beberapa versi cerita seputar asal mula Pulau Senua. Pada versi yang berbeda, ada yang menyebutkan tentang kisah seorang anak dari Raja Senubing yang bernama Engku Patimah. Meskipun putri raja yang cantik, ia memiliki sifat kikir. Ia selalu melarang semua orang meminjam barangnya.
Suatu hari setelah menikah dan hamil besar, ia mendengar suara suaminya yang baru pulang dari berlayar. Namun, siapa sangka rupanya bukan suaminya yang ada di depan pintu, melainkan monster besar yang menyeramkan. Makhluk tersebut langsung mencakar perut Engku Patimah. Setelah dicakar, wanita pelit itu langsung berubah menjadi pulau yang dikenal dengan nama Pulau Senua.
Sudah Paham dengan Asal Mula Pulau Senua?
Itulah tadi sedikit kisah tentang asal mula Pulau Senua. Apakah setelah membacanya, kamu jadi tertarik untuk mengunjungi pulau yang merupakan bagian dari Kepulauan Riau itu?
Kalau masih ingin membaca kisah lain yang berasal dari Riau, cek artikel-artikel di PosKata. Di sini kamu bisa mendapatkan legenda Putra Lokan, kisah Putri Tujuh Dumai, dan dongeng Putri Pandan Berduri.