
Rawa Pening merupakan salah satu objek wisata populer di Jawa Tengah. Tak hanya keindahannya, cerita legenda mengenai Rawa Pening ini juga menarik untuk disimak, lho. Penasaran seperti apa? Langsung saja simak sinopsis cerita dan ulasannya berikut ini!
Sama seperti Telaga Warna, Rawa Pening yang merupakan salah satu ikon tempat wisata asal Jawa Tengah ini juga memiliki legenda mengenai asal mula terjadinya. Untuk yang mungkin lupa kisahnya atau belum pernah membaca sama sekali, tidak perlu khawatir karena kamu bisa menyimak ringkasan cerita legenda Rawa Pening berikut ini.
Dikarenakan dulunya diceritakan secara lisan, dongeng yang juga dikenal sebagai legenda Baru Klinting tersebut memiliki beberapa versi. Bahkan, beberapa nama tokohnya ada yang berbeda. Tapi tak mengapa, dalam legenda atau cerita rakyat, hal tersebut memang biasa terjadi dan tak mempengaruhi esensi dari ceritanya, kok.
Selain sinopsis cerita asal usul Rawa Pening, kamu juga bisa menyimak ulasan singkat mengenai unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita tersebut dan juga beberapa fakta menariknya. Daripada kelamaan, langsung saja simak kisah selengkapnya berikut ini, ya! Selamat membaca!
Cerita Legenda Rawa Pening
Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di Jawa Tengah. Desa tersebut dipimpin oleh seorang tetua yang bijaksana bernama Ki Sela Gondang. Sang kepala desa memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Endang Sawitri.
Hingga pada suatu hari, hampir tiba waktunya bagi desa tersebut untuk melakukan acara sedekah bumi dan merti desa. Acara tersebut biasanya dilakukan selama tujuh hari tujuh malam. Maka dari itu, beberapa hari sebelum acara, para penduduk sudah mulai mempersiapkannya.
Untuk melakukan kegiatan tersebut, biasanya dibutuhkan tolak bala supaya acara merti desa bisa berjalan dengan lancar. Tolak bala tersebut berupa sesaji dan juga pusaka sakti milik seorang resi yang sakti bernama Ki Hajar Salokantara.
Sayangnya, Ki Sela Gondang tidak dapat pergi. Ia pun menyuruh anak perempuannya untuk meminjam pusaka tersebut. Lokasi tempat tinggal resi tersebut lumayan jauh, tepatnya di lereng bukit Telomoyo.
Berawal dari Keteledoran
Menuruti perintah sang ayah, Endang Sawitri pergi dengan menggunakan kuda. Jalan yang harus ditempuhnya cukup terjal. Saat merasa lelah, ia sesekali beristirahat sebentar di pinggir sungai sambil melepas dahaga.
Beberapa waktu kemudian, tibalah ia di tempat Ki Salokantara. Ia pun memperkenalkan diri dan memberitahukan maksud kedatangannya.
“Sampurasun Ki, perkenalkan saya Endang Sawitri, putri dari kepala Desa Ngasem,” kata Endang Sawitri dengan penuh hormat.
“Rampes, Putri Ayu. Rupanya putri Kakang Sela Gondang ini telah menjadi gadis yang cantik. Ada apa Kakang Sela Gondang mengutusmu kemari, cah ayu?” tanya Ki Salokantara.
“Begini, Ki. Seperti biasa, Desa Ngasem akan mengadakan merti desa. Oleh karena itu, ayahanda mengutus saya kemari untuk meminjam pusaka sakti milik resi sebagai salah satu syarat tolak bala,” jawabnya sopan.
Mendengar alasan tersebut, sang resi kemudian bergegas mengambil pusaka yang ternyata berwujud sebuah keris. Sebelum memberikannya, ia memberikan petuah yang tidak boleh dilanggar.
Katanya,”Bawalah pusaka ini dengan hati-hati. Ingatlah satu hal. Jangan sekali-kali meletakkan pusaka sakti ini di atas pangkuanmu.”
“Baik Ki, amanat Ki Hajar akan saya ingat dengan baik,” jawabnya kemudian berpamitan. Ia pun kembali ke desanya dengan menunggang kuda.
Karena perjalanan cukup jauh, Endang Sawitri kemudian memutuskan beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Ia tidak sadar kalau telah melarang pantangan dari Ki Hajar untuk tidak meletakkan pusaka keris di pangkuannya.
Ketika bangun dari tidurnya, ia terkejut karena keris pusaka tersebut menghilang. Ia mencarinya di sekitar tempat tersebut, tapi hasilnya nihil. Dengan keadaan bingung dan takut, ia pun bergegas pulang.
Mencari Jalan Keluar
Sesampainya di rumah, perempuan itu menceritakan semuanya kepada ayahnya sambil menangis sesenggukan. Meskipun merasa kecewa, ia mencoba untuk menenangkan hati putrinya dan mencari jalan keluar.
Sela Gondang kemudian pergi menemui Ki Salokantara dan menceritakan kejadian tersebut. Ia juga mewakili putrinya untuk meminta maaf karena telah menghilangkan benda pusaka miliknya.
Sang resi pun berkata, “Aku sudah memaafkan putrimu, tapi sebenarnya… pusaka itu tidak hilang, tetapi masuk ke dalam rahim putrimu. Sebentar lagi putrimu akan mengandung.”
Mendengar penuturan tersebut, tentu saja Ki Sela Gondang terkejut bukan main. Bagaimana anaknya yang belum menikah akan mengandung, hal tersebut akan menjadi sebuah aib.
Setelah terdiam cukup lama, Kepada Desa Ngasem kemudian meminta sang resi untuk menikahi anaknya. Awalnya, ia menolak permintaan tersebut. Akan tetapi karena kasihan melihat sahabatnya, ia pun menyetujuinya.
“Aku akan menikahi putrimu, tetapi hanyalah untuk menutupi aib saja. Setelah janin di dalam kandungan putrimu lahir, pernikahan ini berakhir,” jawabnya.
Pernikahan antara Endang Sawitri dan Ki Hajar dilangsungkan secara diam-diam supaya tidak ada warga yang tahu. Setelah itu, wanita tersebut diboyong untuk tinggal di sebuah tempat khusus yang sudah disiapkan.
Di tempat tersebut, wanita itu tinggal sendirian. Hal itu dikarenakan Ki Salokantara pergi bertapa untuk membantu istrinya terlepas dari kutukan pusaka sakti.
Sebelum pergi, ia pun berpesan, “Jagalah dirimu dan kandunganmu. Apabila kelak kau melahirkan, kalungkanlah klinthingan ini sebagai bukti bahwa anak itu adalah anakmu. Suruhlah ia mencariku untuk melepaskan kutukannya.”
Lahirnya Baru Klinting
Setelah sembilan bulan mengandung, tiba waktunya bagi Endang Sawitri untuk melahirkan. Ia melahirkan seorang diri tanpa pertolongan siapa pun.
Namun, ketika bayinya lahir, ia terkejut bukan main. Pasalnya, yang ia lahirkan adalah seekor ular naga, bukan manusia. Ajaibnya, ular tersebut bisa berbicara seperti manusia.
Pada awalnya, wanita tersebut tentu saja takut. Namun, lama kelamaan, rasa takut itu hilang. Ia sangat menyayangi anak tersebut dan memberinya nama Baru Klinting.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun, Baru Klinting pun beranjak dewasa. Hingga pada suatu hari, ia bertanya pada sang ibu apakah ia memiliki seorang ayah.
Wanita tersebut menceritakan semuanya yang terjadi. Kemudian, sang anak pun meminta izin kepada ibunya untuk bertemu dengan ayahnya.
Endang Sawitri pun mengizinkannya pergi. Ia juga membekalinya dengan klintingan sebagai tanda kalau ia adalah benar-benar anaknya.
Bertemu dengan Sang Ayah
Baru Klinting kemudian berangkat untuk menemui sang ayah. Perjalanannya pun bisa dibilang tidak mulus karena ada banyak sekali halangan dari makhluk halus yang ingin merebut kalungnya.
Beberapa waktu kemudian, tibalah ia di sebuah goa tempat di mana ayahnya bertapa. Ia lalu bergegas menemuinya.
Ketika melihat sosok Baru Klinting, Ki Hajar Salokantara terkejut. Ia juga awalnya tidak percaya mendengar penuturan ular naga tersebut kalau ia adalah anaknya. Tetapi setelah melihat kalung yang berada di lehernya, ia pun mulai percaya.
“Aku mengenali klintingan yang ada di lehermu itu, mungkin benar kau adalah anak Endang Sawitri, namun aku butuh satu bukti lagi bahwa kau tidak sedang berbohong,” ujar Ki Hajar.
Sang resi kemudian menyuruh ular naga tersebut untuk melingkari Gunung Telomoyo, apabila berhasil berarti ia memang benar anaknya. Baru Klinting pun menyanggupinya. Benar saja, ia berhasil melakukan syarat yang diminta itu.
Setelah melihat hal tersebut, Ki Salokantara percaya dan mengakuinya sebagai anak. Kemudian, sang resi menyuruh anaknya tersebut untuk bertapa dengan melingkari Gunung Telomoyo supaya terbebas dari kutukan.
Menjadi Manusia Seutuhnya
Sementara itu di bagian lereng Gunung Telomoyo yang lain, ada sebuah desa bernama Pathok. Desa tersebut kebetulan akan melaksanakan acara sedekah bumi. Para pemudanya pun berbondong-bondong untuk berburu hewan guna keperluan pesta.
Sayangnya, setelah mencari ke sana ke mari, tak ada hewan buruan yang mereka dapat. Mereka kemudian kesal lalu menancapkan golok ke tanah. Betapa terkejutnya mereka ketika tanah tersebut mengeluarkan darah.
Awalnya mereka begitu ketakutan. Namun, setelah mengetahui kalau itu adalah seorang naga, mereka kemudian beramai-ramai memotong daging tersebut dan membawanya pulang. Mereka begitu bahagia karena bisa mendapatkan daging untuk pesta rakyat.
Tak berapa lama kemudian pesta pun digelar. Semua penduduk berkumpul dan merayakannya dengan sukacita. Hingga kemudian, datangnya seorang anak laki-laki yang memiliki luka di sekujur tubuh dan berpakaian kumal. Ia meminta makanan, tapi tak seorang pun memberi dan malah mengusirnya.
Ternyata, anak laki-laki tersebut adalah jelmaan dari Baru Klinting. Ia pun kemudian bertemu dengan seorang nenek baik hati yang mau memberinya makan. Nenek itu bernama Nyai Latung.
Di rumah nenek tersebut, ia dijamu makanan. Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih dan berpesan pada nenek tersebut untuk menaiki lesungnya ketika mendengar bunyi kenthongan.
Kemarahan Baru Klinting dan Terjadinya Rawa Pening
Baru Klinting kemudian memutuskan untuk kembali ke pesta. Di sana, ia mencoba lagi untuk meminta makanan, tetapi tetap tidak dihiraukan.
Ia merasa kesal dan marah. Ia lalu mencari lidi dan menancapkannya ke tanah. Dirinya pun mengadakan sayembara dan menantang orang-orang di sana untuk mencabut lidi tersebut.
Awalnya, orang-orang desa itu meremehkannya. Lagi pula itu hanya sebatang lidi, pasti tidak akan sulit untuk mencabutnya. Banyak orang dewasa kemudian mencobanya, tapi tak ada satu orang pun yang berhasil.
“Mencabut lidi ini aja kalian tidak bisa. Kesombongan kalian tidak sebanding dengan kemampuan kalian,” ujar Baru Klinting. Lalu dengan gampangnya, ia mencabut lidi tersebut.
Awalnya orang-orang keheranan, bagaimana bisa anak sekecil dia mencabutnya, padahal sudah banyak orang dewasa tak sanggup. Keterkejutan tersebut kemudian berubah menjadi ketakutan ketika air mencul dari bekas tancapan lidi yang semakin lama semakin membesar.
Orang-orang pun lari pontang-panting untuk menyelamatkan diri. Bunyi kentongan pun terdengar di mana-mana sebagai tanda bahaya.
Di tempat lain, Nyi Latung yang mendengar bunyi kentongan kemudian menaiki lesungnya seperti apa yang diperintahkan Baru Klinting. Semburan air semakin lama semakin besar dan menenggelamkan desa. Semua penduduk ikut tenggelam, kecuali nenek tersebut.
Setelah semuanya selesai, Nyi Latung yang menaiki lesungnya menepi di sebuah tempat dan memutuskan untuk tinggal di sana. Ia juga menamai desa yang tenggelam itu menjadi Rawa Pening.
Unsur Intrinsik Cerita Legenda Rawa Pening
Walaupun cukup panjang, kisahnya tetap seru untuk dibaca, kan? Nah selanjutnya, di sini kamu bisa menyimak mengenai unsur intrinsik yang membangun cerita rakyat Rawa Pening. Berikut ini penjabarannya:
1. Tema
Inti cerita atau tema dari cerita legenda Rawa Pening ini adalah tentang jangan merendahkan penampilan orang lain. Hanya karena memiliki penampilan yang berbeda, bukan berarti layak untuk diolok-olok dan diperlakukan semena-mena.
2. Tokoh dan Perwatakan
Dari cerita rakyat Rawa Pening ini, ada beberapa tokoh utama yang diulik. Beberapa di antaranya, yaitu Endang Sawitri, Ki Selo, Ki Salokantara, Baru Klinting, dan Nyai Latung.
Yang pertama adalah Ki Sela Gondang. Ia merupakan orang yang bijaksana dan disegani. Ia adalah sosok ayah yang begitu mencintai putrinya. Dirinya juga merupakan orang yang bertanggung jawab dan mau meminta maaf atas keteledoran putrinya.
Selanjutnya, ada Endang Sawitri. Ia adalah seorang anak perempuan yang cantik dan patuh. Sayangnya, ia cukup teledor dengan amanah yang diberikan. Meskipun begitu, ia mau menerima konsekuensinya dan tetap menerima buah hatinya apa adanya.
Ki Hajar Salokantara merupakan seorang resi yang bijak. Ia adalah seseorang yang baik hati dan mau memaafkan. Dirinya juga sosok yang bertanggung jawab, tak hanya menikahi Endang Sawitri, tetapi juga bertapa untuk menghilangkan kutukan yang disebabkan oleh kerisnya.
Lalu, ada Baru Klinting yang memiliki sifat gigih. Buktinya, ia mau menuruti semua kemauan sang ayah untuk membuktikan bahwa dirinya adalah anak kandungnya.
Yang terakhir adalah Nyi Latung. Ia dengan ikhlas memberi makan Baru Klinting tanpa memandang fisiknya yang berbeda seperti warga desa yang lain.
3. Latar
Dikarenakan kisah ini merupakan legenda dari sebuah tempat, maka latar tempat terjadinya cukup jelas. Latar cerita legenda Rawa Pening ini berasal dari daerah Jawa Tengah, tepatnya di desa Ngasem.
Sementara itu kalau ditelisik lebih lanjut, di dalam cerita juga ada beberapa setting tempat. Contohnya adalah Desa Ngasem, hutan, dan Desa Pathok.
4. Alur Cerita
Sementara itu, cerita rakyat legenda Rawa Pening ini menggunakan alur maju. Kisahnya dimulai dari Desa Ngasem yang akan mengadakan merti desa. Kemudian musibah terjadi, Endang Sawitri menikah dan menjalani kehidupan di goa.
Beberapa bulan kemudian Baru Klinting lahir. Setelah dewasa, ia mencari ayahnya. Hingga kemudian bertemu dengan warga desa Pathok yang sombong. Dan terakhir, terjadilah Rawa Pening.
5. Pesan Moral
Ada beberapa pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda Rawa Pening. Salah satunya adalah jangan teledor seperti Endang Sawitri. Karena dari keteledoran tersebut, kamu harus menerima konsekuensi dan bisa saja membuat hidupmu kacau.
Selanjutnya dari Ki Sela Gondang kamu diajarkan untuk memaafkan. Meskipun kecewa karena sang putri lalai, ia tetap memaafkan dan berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Selain itu, kamu juga diingatkan untuk tidak melihat orang lain hanya karena fisiknya saja. Semua makhluk itu diciptakan oleh Tuhan baik adanya. Hanya karena ada yang berbeda, bukan berarti kamu bebas untuk menjelek-jelekkannya.
Dan yang terakhir, jadilah orang yang rendah hati dan tidak sombong. Ingatlah selalu bahwa di atas langit masih ada langit. Kalau dibiarkan, kesombonganmu itu bisa membawa petaka untuk dirimu sendiri.
Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupa juga perhatikan unsur ekstrinsik yang membangun cerita legenda Rawa Pening tersebut. Unsur ekstrinsik tersebut berkaitan dengan latar belakang penulis, masyarakat, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Fakta Menarik Mengenai Rawa Pening
Kamu tentunya sudah puas membaca cerita beserta penjelasan mengenai unsur intrinsik dari legenda Rawa Pening ini, kan? Nah selanjutnya, ada fakta menari tentang tempat ini yang perlu kamu simak.
1. Versi Lain
Kisah ini rupanya memiliki versi yang lain, lho. Di versi ini, ada sepasangan suami istri yang sudah lama menikah, tapi tidak kunjung diberi keturunan. Pasangan tersebut bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta.
Nyai Selakanta merasa kesepian akan hal itu. Namun, karena tidak ada yang bisa diperbuat, suaminya pun hanya bisa membesarkan hatinya dengan berkata kalau memang belum waktunya mereka diberi keturunan.
Hingga suatu hari, Ki Hajar memutuskan bertapa di Gunung Telomoyo untuk memohon keturunan. Ketika ditinggal pergi, ternyata Nyai Selakanta sudah mengandung. Setelah beberapa bulan pergi, suaminya juga tak kunjung pulang.
Kemudian, tibalah saatnya Nyai Selakanta melahirkan. Ia begitu terkejut melihat yang dilahirkannya adalah seekor naga. Ia pun merasa malu dan mencoba menutupinya dengan pergi ke sebuah tempat dan membesarkannya seorang diri.
Ketika dewasa Baru Klinting bertanya mengenai ayahnya. Setelah mendengar cerita ibunya, ia pun ingin menemui sang ayahnya yang sedang bertapa. Kemudian, inti cerita selanjutnya hampir sama seperti pada versi yang pertama.
2. Dijadikan Tempat Wisata
Rawa yang memiliki luas 2.670 hektar ini membentang di empat kecamatan dari Tuntang, Bawen, Ambarawa, hingga Banyubiru. Saking luasnya, tempat tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai tempat wisata.
Nantinya tak hanya melihat air, kamu juga akan dimanjakan dengan pemandangan tiga gunung sekaligus, yaitu Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Hal itu dikarenakan tempat yang diwacanakan menjadi objek wisata kelas dunia ini terletak di cekungan terendah ketiga gunung tersebut.
Di desa Banyubiru sendiri, ada sebuah tempat wisata bernama Bukit Cinta yang menawarkan keindahan Rawa Pening. Di sini, kamu tidak hanya bisa berfoto-foto saja, tetapi juga naik perahu, lho.
Selanjutnya kalau di Ambarawa, ada sebuah tempat makan bernama Wisata Apung Kampoeng Rawa. Tak hanya makanan, kamu juga bisa menikmati keindahan Rawa Pening. Di sini, tersedia juga beberapa wahana permainan air.
Nah, buat yang suka makan ikan, kamu bisa datang ke Tuntang. Sebagian warga yang rumahnya dekat dengan Rawa Pening bekerja sebagai nelayan sehingga kamu bisa membeli ikan segar langsung di sana.
Sudah Puas Menyimak Cerita Legenda Rawa Pening dan Ulasannya?
Itulah tadi ringkasan cerita rakyat Rawa Pening atau Baru Klinting serta beserta penjelasannya yang bisa disimak di sini. Bagaimana? Kamu tentunya sudah puas membacanya, kan?
Nah tak hanya cerita legenda Rawa Pening, di PosKata kamu juga bisa membaca kisah lain yang tak kalah menarik, lho. Beberapa contohnya adalah Malin Kundang, Keong Mas, Roro Jonggrang, dan masih banyak lagi.
Dilanjutkan terus membacanya, ya! Jangan sampai kamu menyesal karena telah melewatkannya.