Ada berbagai macam cerita rakyat yang menarik dari Bengkulu, salah satunya adalah legenda Ular Kepala Tujuh yang akan mengajarkan tentang keberanian dan kerendahan hati. Kalau penasaran dengan kisahnya, coba simak ulasannya di artikel ini!
Setiap daerah di Indonesia memiliki cerita rakyat yang mengandung pesan moral yang baik, salah satunya yang berasal dari Bengkulu. Dari provinsi yang berlokasi di Pulau Sumatera tersebut, terdapat cerita legenda Ular Kepala Tujuh.
Kisahnya menceritakan keberanian seorang anak berusia tiga belas tahun dalam menyelematkan kakaknya dari sekapan Raja Ular. Akankah sekiranya anak tersebut berhasil?
Kalau penasaran, langsung saja simak kisah legenda Ular Kepala Tujuh yang telah kami siapkan berikut. Selain itu, dapatkan juga ulasan seputar unsur intrinsik, fakta menarik, dan pesan moral yang bisa didapatkan dari kisahnya. Selamat membaca!
Cerita Rakyat Legenda Ular Kepala Tujuh
Alkisah pada zaman dahulu kala, berdirilah sebuah kerajaan bernama Kuteik Rukam di daerah Bengkulu. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Sang raja memiliki delapan anak laki-laki.
Pada suatu hari, sang raja melangsungkan pernikahan salah satu putranya yang bernama Gajah Meram. Putranya itu akan dinikahkan dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai.
Awalnya, upacara pernikahan tersebut berjalan dengan lancar dan penuh kebahagiaan. Namun, ketika Gajah Meram dan Putri Jinggai tengah melakukan prosesi upacara mandi bersama di tempat pemandian Aket di tepi Danau Tes, mendadak keduanya menghilang begitu saja. Tak ada seorang pun yang mengetahui ke mana perginya Gajah Meram dan Putri Jinggai.
Di tempat lain, Raja Bikau Bermano dan sang permaisuri menunggu prosesi upacara mandi bersama itu selesai dari istana. Ketika hari semakin sore dan tak juga ada kabar tentang keberadaan Gajah Meram bersama istrinya, sang raja pun mulai merasa khawatir. Ia langsung mengutus beberapa hulubalang untuk mendatangi tempat pemandian Aket di tepi Danau Tes untuk mengecek keberadaan putra dan menantunya itu.
Betapa terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau tersebut dan tak mendapatkan jejak Gajah Meram dan istrinya. Bahkan setelah mereka mencari hingga ke sekitar danau sekalipun, tetap saja tak bisa menemukan putra Raja Bikau Bermano dan istrinya. Setelah beberapa lama mencari, para hulubalang akhirnya kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tak bisa menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor salah seorang hulubalang.
“Apa katamu?” tanya Raja Bikau Bermano panik dan penuh amarah.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar Batu Bandung dan Batu Kuning, tapi tetap saja kami tak bisa menemukan mereka,” hulubalang lainnya menimpali.
“Pergi ke mana mereka?” tanya Raja menanyakan pendapat para hulubalangnya.
“Ampuni kami, Baginda! Kami juga tak mengetahuinya,” jawab para hulubalang serentak.
Rencana Raja Bikau Bermano
Raja Bikau Bermano hanya bisa terdiam. Ia begitu mengkhawatirkan kondisi putra dan menantunya yang mendadak hilang begitu saja. Nyaris setiap hari dan setiap waktu ia berjalan mondar-mandir di sekeliling istana seraya mengelus jenggotnya yang memutih.
Suatu hari, sang raja meminta bendahara istana untuk mengumpulkan seluruh hulubalang dan kerabat istana. Meskipun tak mengetahui apa rencana sang raja, sang bendahara melakukannya dengan penuh hormat dan tanggung jawab.
Tak berapa lama kemudian, seluruh hulubalang dan kerabat istana berkumpul di ruang sidang istana. Tanpa menunggu lebih lama, sang raja langsung memberikan pertanyaan.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan tersebut. Suasana di ruang sidang tersebut terasa begitu hening. Di tengah keheningan, mendadak seorang Tun Tuai atau orang tua kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang hadir mulai angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin menyampaikan sesuatu.”
“Apakah yang ingin kau sampaikan, Tun Tuai? Apa kau mengetahui keberadaan Gajah Meram dan Putri Jinggai?” tanya Raja Bikau Bermano penasaran.
“Ampun, Baginda. Menurut dugaan hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai telah diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab Tun Tuai masih dengan penuh rasa hormat. “Raja Ular tersebut dikenal sangat sakti, tapi licik, kejam, dan suka mengganggu siapa pun yang sedang mandi di Danau Tes.”
“Apakah itu benar, Tun Tuai?” tanya sang Raja. “Benar, Baginda!” jawab Tun Tuai dengan sangat yakin.
“Kalau begitu, kita tak boleh larut dalam kesedihan ini. Kita harus segera menyelamatkan putra dan menantuku saat ini juga!” ujar sang raja.
“Namun, apa yang harus kita lakukan untuk bisa menyelamatkan mereka, Baginda?” tanya salah satu hulubalang.
Kesaktian Gajah Merik
Pertanyaan itu langsung membuat sang raja kembali terdiam. Tentunya ia ingin segera menyelamatkan putra dan menantunya. Namun, sayangnya ia tak mengetahui apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan mereka dari Raja Ular yang berada di Batu Kuning.
“Ampun, Ayahanda!” ucap Gajah Merik, putra bungsu sang raja. “Ada apa, putraku?” tanya sang raja.
“Izinkanlah hamba pergi ke Batu Kuning untuk membebaskan abang dan istrinya!” ucap Gajah Merik kepada ayahandanya. Permintaan itu tentu saja membuat sang raja dan siapa pun yang hadir di ruang sidang tersebut terkejut. Khususnya karena sang putra mahkota bungsu masih berusia 13 tahun. Siapa sangka rupanya di balik sosok yang masih muda itu, tersimpan keberanian yang sangat besar.
“Apakah kau yakin bisa melawan sang Raja Ular?” tanya sang raja. “Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik dengan penuh keyakinan.
“Kira-kira apa rencanamu, Putraku? Apa yang akan kau lakukan untuk bisa melawan sang Raja Ular?” Raja Bikau Bermano masih meragukan kemampuan putra bungsunya itu.
“Ampun, Ayahanda! Sebenarnya sejak berusia sepuluh tahun, hampir setiap malam Ananda selalu bermimpi didatangi seorang kakek yang mengajarkan ilmu kesaktian pada Ananda!” ucap Gajah Merik.
Mendengar cerita itu, Raja Bikau Bermano langsung tersenyum. Ia tak menduga kalau putra bungsunya memiliki sifat yang rendah hati. Meskipun Gajah Merik memiliki ilmu yang tinggi, tapi tak sekalipun ia memamerkannya pada orang lain, bahkan keluarganya sekalipun.
“Benarkah yang kamu ceritakan itu, Putraku?” tanya Raja Bikau Bermano sekali lagi untuk memastikan.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik masih dengan penuh keyakinan.
“Baiklah. Kalau begitu, kau kuizinkan untuk pergi ke Danau Tes demi membebaskan abangmu dan istrinya. Namun, sebelum berangkat ke sana, pastikan kau bertapa di Bandar Agung terlebih dahulu untuk mendapatkan senjata pusaka yang bisa membantumu!” perintah sang raja yang langsung disetujui oleh Gajah Merik.
Pertapaan Gajah Merik
Sesuai janjinya kepada sang ayahanda, keesokan harinya Gajah Merik berangkat ke Bandar Agung yang terletak di antara Desa Merambung dan Batu Kuning untuk bertapa. Selama tujuh hari dan tujuh malam, Gajah Merik berkonsentrasi penuh untuk bertapa. Ia bahkan tak makan dan tak minum.
Setelah proses pertapaan itu selesai, Gajah Merik menemukan pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang di dekatnya. Keris pusaka itu bisa membuatnya berjalan di dalam air tanpa harus menyelam apalagi sampai tenggelam. Sementara selendangnya bisa berubah wujud menjadi pedang sakti.
Ia pun membawa kedua pusaka tersebut kembali ke istana. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat beberapa prajurit istana tengah menjaga perbatasan antara Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Saat itu, Gajah Merik sedang tak ingin terlihat oleh para prajurit itu.
Oleh karenanya, ia langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sembari berpegangan erat pada pusakanya. Benar saja, ia bisa berjalan normal seperti di daratan dan tubuhnya sedikit pun tak tersentuh air.
Sesampainya di Danau Tes, Gajah Merik sempat berniat untuk kembali ke istana dahulu. Namun, tak lama kemudian ia berubah pikiran dan memilih untuk langsung mencari sang Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam ke dasar Danau Tes.
Di dalam danau tersebut, Gajah Merik berhasil menemukan gua tempat persembunyian sang Raja Ular. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mendekati gapura yang ada di depan gua yang paling besar kemudian masuk ke dalam guanya. Ketika baru saja akan masuk ke dalam gua, tiba-tiba dua ekor ular yang berukuran sangat besar menghadangnya.
Baca juga: Legenda Putri Aji Bidara Putih, Asal Usul Terbentuknya Danau Lipan Beserta Ulasan Lengkapnya
Upaya Penyelamatan Gajah Meram dan Putri Jinggai
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, manusia? Berani sekali kamu berusaha masuk ke sini!” ancam salah satu ularnya.
“Aku adalah Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kuteik Rukam. Kedatanganku kemari adalah untuk membebaskan abangku!” ucap sang putra maskota dengan nada menantang.
“Kau tak diizinkan masuk!” cegat salah satu ular.
Meskipun begitu, Gajah Merik tak mau kalah. Setelahnya terjadilah perkelahian sengit yang tak bisa dihindari. Awalnya, kedua ular tersebut bisa melakukan perlawanan pada Gajah Merik. Namun, berkat bantuan pusaka sakti, akhirnya kedua ular tersebut bisa dikalahkan dengan mudah.
Setelah berhasil mengalahkan dua ular penjaga itu, Gajah Merik melanjutkan penelusurannya ke dalam lorong gua. Setelah melewati sebuah pintu, sekali lagi ia dihadang dua ekor ular yang berukuran sangat besar. Untungnya, sama seperti sebelumnya, ia berhasil memenangkan perkelahian itu.
Proses tersebut terjadi berulang kali. Pada setiap pintu yang dilewati, ia harus mengalahkan dua ekor ular penjaga yang berukuran besar. Hingga akhirnya ia sampai ke pintu ketujuh.
Pertemuan dengan Raja Ular
Mendadak, Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak yang menggema di seluruh penjuru gua. “Hahaha… Dasar anak manusia!”
“Keluarlah kalau kau berani, Raja Ular!” teriak Gajah Merik tak kalah kencang.
Tak lama kemudian, dari dalam ruangan terakhir, keluarlah kepulan asap yang diikuti dengan suara desisan panjang. Kepulan asap tersebut lama kelamaan berubah menjadi seekor ular raksasa yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan lawan-lawan Gajah Merik sebelumnya. Tak hanya itu, ularnya juga terlihat memiliki tujuh kepala.
“Hebat sekali kau, manusia! Tak ada seorang pun yang berhasil memasuki istanaku sebelumnya. Apalagi kau masih begitu muda! Sekarang sebutkan siapa kau dan apa maksud dari kedatanganmu?” tanya salah satu kepala sang raja.
“Aku adalah Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano yang berasal dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik masih tegas. “Lepaskan abangku dan istrinya! Jika tidak, aku akan memusnahkan istanamu ini!”
“Dasar anak kecil! Baiklah kalau begitu. Aku akan melepaskan abangmu beserta istrinya asalkan kau memenuhi syaratku!” ucap kepala yang lain berusaha menjebak Gajah Merik.
“Syarat apa pun itu pasti akan bisa kupenuhi!” jawab Gajah Merik yakin.
“Syarat pertama adalah, kau harus menghidupkan kembali semua pengawalku yang telah kau bunuh! Kemudian, syarat kedua adalah kau harus bisa mengalahkanku! Sesudahnya, kau bisa mendapatkan kembali abang dan istrinya!” jawab salah satu kepala yang diikuti tawa terbahak-bahak ketujuh kepala sang raja.
“Baiklah, kalau memang itu maumu!” ucap Gajah Merik tanpa keraguan sedikitpun di dalam hatinya. Dengan bantuan kesaktian sang kakek yang ada di dalam mimpinya, Gajah Merik mengusap mata setiap pengawal yang telah ia kalahkan satu persatu. Tak lupa, ia juga membaca sebuah mantra yang diajarkan padanya. Dalam sekejap, seluruh ular pengawal tersebut kembali hidup. Hal itu langsung membuat Raja Ular takjub.
Baca juga: Cerita Rakyat Nenek Luhu dan Ulasan Lengkapnya, Dongeng Terjadinya Laguna Air Putri di Maluku
Pelaksanaan Syarat Kedua
“Luar biasa, anak manusia! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” ucap salah satu kepala diikuti dengan tawa puas. “Namun, kau tak akan pernah bisa memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkanku!”
“Tunjukkanlah kesaktianmu!” teriak Gajah Merik menantang penuh keberanian.
Saat itu juga, sang raja mengibaskan ekor ke arah Gajah Merik. Dengan lincah, bocah berusia 13 tahun itu berkilat dan menghindari kibasan ekor Raja Ular. Perkelahian sengit kemudian terjadi. Serangan demi serangan dilakukan oleh Gajah Merik kepada sang Raja Ular, begitu pula sebaliknya.
Perkelahian itu berjalan begitu seimbang hingga lima hari lima malam. Tak ada salah satu pun yang terkalahkan atau terlihat menyerah. Namun, ketika memasuki hari keenam, sang Raja Ular mulai kehabisan tenaga dan kelelahan. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Gajah Merik sama sekali. Ia semakin menguatkan serangannya hingga membuat lawannya terdesak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gajah Merak mengubah selendangnya menjadi pedang kemudian ia tusukkan ke perut lawannya. Sang raja langsung berteriak kesakitan.
“Ampun! Kau memang hebat, anak kecil! Aku mengaku kalah!” ucap salah satu kepala sang raja. Keenam kepala lainnya juga mengakui kekalahan dan menyerah. Gajah Merik kemudian mundur beberapa langkah masih dengan berjaga-jaga siapa tahu lawannya mendadak kembali menyerangnya.
Sesudahnya, Gajah Merik masuk ke sebuah ruangan tempat tempat abangnya beserta istrinya dikurung. Dengan segera ia membebaskan mereka dan merencanakan kembali ke istana.
Apa yang Terjadi di Istana?
Sementara itu, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga besar istana tengah merasa cemas dan khawatir. Karena sudah dua minggu putra mahkota bungsu tak juga kembali dari pertapaannya.
Sang raja pun memerintahkan beberapa hulubalang untuk pergi ke tempat pertapaan Gajah Merik. Tujuannya adalah untuk mengecek kondisi sang putra mahkota apakah masih baik-baik saja. Namun, belum sempat para hulubalang itu berangkat, mendadak seorang hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang tergesa-gesa.
“Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai!” lapor sang hulubalang.
“Bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik tengah bertapa di Bandar Agung?” tanya sang raja keheranan.
“Ampun, Baginda! Kami yang tengah berjaga-jaga di danau tersebut juga terkejut. Mendadak Gajah Merik muncul begitu saja dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Menurut penjelasan putra mahkota, setelah bertapa tujuh hari dan tujuh malam, ia langsung pergi ke istana Raja Ular hingga berhasil membebaskan abang beserta istrinya.” ucap hulubalang menjelaskan.
Tak berapa lama kemudian, Gajah Merik kembali ke istana beserta Gajah Meram, Putri Jingga, dan para pengawal yang bertugas menjaga tempat pemandian. Kedatangan mereka langsung disambut dengan penuh kegembiraan oleh seisi istana.
Pesta Penyambutan
Sebagai tanda syukur dan kebahagiaan, Raja Bikau Bermano membuat pesta besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Kabar kembalinya Gajah Meram pun langsung tersebar ke seluruh penjuru negeri dengan cepat. Banyak orang yang datang ke pesta tersebut untuk turut serta merayakannya.
Setelah pesta berakhir, sang raja mengumumkan bahwa ia berencana untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, siapa sangka kalau sang putra mahkota sulung secara terang-terangan menolak kursi kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang lebih berhak atas tahta kerajaan ini adalah adik bungsuku, Gajah Merik. Ialah yang paling berjasa besar atas negeri ini. Belum lagi ia juga yang telah menyelamatkanku dan Putri Jinggai!” ucap Gajah Meram.
“Kau yakin tidak keberatan dengan hal itu, putraku?” tanya sang raja memastikan. Gajah Meram pun menjawab dengan penuh keyakinan. “Baiklah kalau begitu! Bersediakah kau menjadi raja, Putraku? Sang raja kemudian bertanya pada putra bungsunya.
“Ananda bersedia menjadi raja, Ayahanda! Namun, Ananda memiliki sebuah permintaan,” jawab Gajah Merik. “Ketika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan para pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan?”
Awalnya, Gajah Merik khawatir ayahnya akan menolak permintaan itu. Khususnya karena Gajah Meram dan Putri Jinggai pernah diculik dan disekap olehnya. Namun, siapa sangka kalau rupanya permintaan itu dikabulkan oleh Raja Bikau Bermano. Raja Ular dan para pengikutnya pun dijadikan hulubalang yang bertugas untuk menjaga Danau Tes.
Unsur Intrinsik Legenda Ular Kepala Tujuh
Demikianlah cerita rakyat Bengkulu tentang Legenda Ular Kepala Tujuh. Setelah mengetahui kisahnya, jangan lupa ketahui juga sedikit ulasan seputar unsur intrinsiknya. Berikut ulasannya:
1. Tema
Gagasan utama dari Legenda Ular Kepala Tujuh ini adalah tentang keberanian. Sama seperti yang ditunjukkan oleh Gajah Merik yang tak ragu berusaha menyelamatkan abangnya sendiri meskipun usianya masih sangat muda.
2. Tokoh dan Perwatakan
Tokoh utama dari cerita rakyat atau legenda ini adalah Raja Bikau Bermano, Gajah Merik, dan Raja Ular yang memiliki tujuh kepala. Sang raja yang memimpin Kerajaan Kuteik Rukam digambarkan sebagai pemimpin yang adil, bijaksana, dan sangat menyayangi keluarganya. Keadilan dan kebijaksanaannya dapat terlihat ketika ia bersedia menyerahkan kekuasaannya kepada putra bungsunya karena merasa kalau sudah sepatutnya hal itu dilakukan.
Gajah Merik sendiri merupakan putra bungsu yang memiliki sifat pemberani dan rendah hati. Meskipun ia menguasai kemampuan luar biasa, tapi tak pernah sekalipun ia berusaha memamerkannya pada orang lain. Sementara keberaniannya terlihat ketika ia tak ragu melawan penjaga dan Raja Ular demi bisa menyelematkan Gajah Meram dan Putri Jinggai.
Raja Ular yang memiliki tujuh kepala merupakan tokoh antagonis dalam kisah ini. Ia digambarkan memiliki sifat keji dan suka menculik manusia yang dari tempat pemandian di tepi Danau Tes.
Selain tiga tokoh utama tersebut, ada juga beberapa tokoh yang melengkapi cerita legenda Ular Kepala Tujuh yang satu ini. Di antaranya adalah Gajah Meram, putra sulung Raja Bikau Bermano yang juga cukup bijaksana untuk menyerahkan posisi pemimpin kerajaan kepada adiknya. Kemudian ada juga Putri Jinggai, istri dari Gajah Meram, beserta beberapa hulubalang yang disebutkan di dalam kisahnya.
3. Latar
Ada beberapa latar lokasi yang disebutkan dalam cerita legenda Ular Kepala Tujuh yang satu ini. Di antaranya adalah Kerajaan Kuteik Rukam, Bandar Agung tempat Gajah Merik bertapa, tempat pemandian di tepi Danau Tes di mana Gajah Meram dan Putri Jinggai diculik, kemudian gua di dalam Danau Tes tempat Raja Ular tinggal.
4. Alur
Alur yang digunakan dalam cerita legenda Ular Kepala Tujuh ini adalah maju. Kisahnya dimulai ketika Gajah Meram dan Putri Jinggai yang baru saja menikah mendadak menghilang di tempat pemandian di tepi Danau Tes. Para hulubalang pun akhirnya menemukan kalau keduanya diculik oleh Raja Ular yang tinggal di dasar Danau Tes.
Ketika Raja Bikau Bermano tengah memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan sang putra mahkota, Gajah Merik dengan percaya diri menawarkan untuk menyelamatkan abangnya. Sang raja mengizinkan asalkan Gajah Merik bertapa dahulu di Bandar Agung agar mendapatkan bantuan pusaka sakti.
Setelah bertapa tujuh hari tujuh malam dan mendapatkan pusaka yang dimaksud, Gajah Merik langsung menuju ke dasar Danau Tes untuk mencari gua tempat Raja Ularnya tinggal. Setelah melewati beberapa penjaga yang berhasil ia kalahkan, akhirnya Gajah Merik bertemu dengan sang Raja Ular yang memiliki tujuh kepala.
Perkelahian antara mereka pun terjadi dan akhirnya dimenangkan oleh Gajah Merik. Tak lama kemudian, ia kembali ke Kerajaan Kuteik Rukam bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Gajah Merik kemudian diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya. Setelah menjadi raja, Gajah Merik mengangkat Raja Ular sebagai hulubalang yang melindungi Danau Tes.
5. Pesan Moral
Ada beberapa pesan moral yang bisa didapatkan dari cerita legenda Ular Kepala Tujuh di atas dan bisa diajarkan kepada keponakan atau buah hati tercinta. Di antaranya adalah tetaplah menjadi seseorang yang rendah hati seperti halnya Gajah Merik yang tak menyombongkan kemampuannya yang luar biasa. Kemudian, jadilah seseorang yang pemberani seperti Gajah Merik yang tak takut menghadapi Raja Ular yang dikenal keji dan mengerikan.
Selain itu, kamu juga bisa belajar dari Gajah Meram yang tak serakah ingin mendapatkan jabatan tinggi. Ketika ia menyadari ada orang lain yang lebih mampu, bahkan ketika orang itu lebih muda darinya sekalipun, ia tetap saja melepaskan jabatan itu.
Selain unsur intrinsik, dalam cerita legenda Ular Kepala Tujuh ini juga dapat ditemukan beberapa unsur ekstrinsiknya. Yakni hal-hal di luar cerita seperti nilai sosial, budaya, dan moral yang melengkapi kisahnya.
Fakta Menarik tentang Legenda Ular Kepala Tujuh
Setelah mengetahui beberapa unsur intrinsiknya, jangan lupa dapatkan juga sedikit ulasan tentang fakta menarik seputar legenda Ular Kepala Tujuh. Di antaranya adalah:
1. Ada Kisah Lainnya
Cerita rakyat legenda Ular Kepala Tujuh yang berasal dari Lebong, Bengkulu ini rupanya memiliki beberapa versi. Salah satunya adalah tentang keberadaan seorang anak yang diculik oleh sang Raja Ular dan tak bisa diselamatkan oleh orang tuanya.
Agar bisa kembali mendapatkan buah hatinya, mereka berdua harus berusaha menyenangkan sang raja. Untungnya, dengan kecerdikan sang ayah, sang anak bisa kembali pulang dengan selamat. Sungguh sebuah cerita yang sangat jauh berbeda dibandingkan kisah keberanian Gajah Merik.
2. Tentang Danau Tes
Latar lokasi utama dalam cerita legenda Ular Kepala Tujuh ini adalah Danau Tes. Danau yang terletak di Kabupaten Lebong itu merupakan danau terbesar di Provinsi Bengkulu. Secara geografis, letaknya berada di antara lereng pegunungan Bukit Barisan.
Menurut kepercayaan para leluhur warga Lebong, danau tersebut memang dianggap sebagai daerah yang angker dan menjadi tempat berdiamnya setan. Selain ular berkepala tujuh, kabarnya ada berbagai macam makhluk halus dan siluman yang mendiami tempat tersebut.
Meskipun begitu, danau yang dikelilingi kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat itu memiliki pesona alam yang sangat indah. Danau tersebut juga menjadi pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu.
Baca juga: Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua
Sudah Puas Membaca Cerita Legenda Ular Kepala Tujuh?
Demikianlah cerita rakyat pendek tentang legenda Ular Kepala Tujuh. Menarik bukan, ceritanya? Cocok sekali dibacakan sebagai dongeng sebelum tidur kepada buah hati atau keponakan tercinta.
Setelah membacakan ceritanya, jangan lupa ajarkan juga tentang pesan moral yang bisa didapatkan dari kisahnya. Kalau masih ingin mencari kisah lain yang berasal dari Bengkulu, cek artikel-artikel di kanal Ruang Pena di PosKata. Di sini kamu bisa mendapatkan kisah tentang Ular Ndaung si Penjaga Bara Gaib dan Putri Serindang Bulan.