Ayah Nabi Ibrahim tak bergeming, apalagi berpaling dari berhala meski sudah mendengar peringatan dari anaknya. Seperti apa kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya tersebut? Intip cerita lengkap keduanya yang kami rangkum di artikel ini!
Walau Nabi Ibrahim beriman kepada Allah SWT, sang ayah tidak demikian. Menurut kisah, Nabi Ibrahim dan ayahnya pernah berdebat mengenai keesaan Tuhan, tetapi berujung pada memburuknya hubungan mereka sebagai ayah-anak.
Konon, sang ayah tetap menjadi penyembah berhala sampai akhir hayatnya. Kamu bisa membaca riwayatnya dalam artikel yang memuat cerita tentang Nabi Ibrahim dan ayahnya ini. Dijamin, banyak pelajaran yang akan kamu peroleh setelah menyimaknya.
Penasaran seperti apa? Langsung saja baca sampai selesai keterangan seputar identitas ayah Nabi Ibrahim, pekerjaan, serta cerita penolakannya terhadap agama yang dikenalkan oleh putranya di bawah ini! Selamat membaca.
Siapakah Ayah Nabi Ibrahim?
Ayah Nabi Ibrahim bisa dibilang merupakan salah satu tokoh yang namanya cukup terkenal di agama-agama samawi. Bahkan, kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya juga tertulis dalam kitab suci dari agama-agama tersebut, di antaranya Alquran (Islam), Tanakh (Yahudi), dan Alkitab (Nasrani).
Lantas, siapakah nama dari bapak Nabi Ibrahim dan seperti apa sosoknya? Di dalam Alquran, disebutkan bahwa nama ayah Nabi Ibrahim adalah Azar. Hal ini berbeda dengan yang diterangkan di Tanakh dan Alkitab, di mana keduanya menyebut bahwa namanya ialah Terah atau Terach.
Menurut Ibnu ‘Abbas, nama ayah Sang Nabi adalah Tarikh. Ada pendapat yang menjelaskan kalau Azar bukanlah nama ayah Ibrahim, tetapi berhala yang disembahnya. Namun, pendapat lain menyebut bahwa Azar dan Terah (Tarikh), masing-masing ialah panggilan dan julukan untuk ayah Sang Nabi.
Ayah Nabi Ibrahim sendiri bekerja sebagai seorang pemahat dan pematung yang membuat berhala dalam berbagai ukuran untuk dijual. Bisa dibilang, ia orang yang lumayan terkenal di negerinya karena banyak kaum yang memesan berhala kepadanya.
Baca juga: Cerita Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis yang Dipenuhi dengan Keajaiban
Kisah Nabi Ibrahim dan Pertanyaan tentang Tuhan untuk Ayahnya
Berikutnya yang perlu kamu ketahui dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya adalah tentang dakwah Sang Nabi. Bahwasanya, dikatakan Ibrahim telah mempertanyakan tentang berhala-berhala yang dibuat Azar dan mengapa mereka dianggap sebagai tuhan, bahkan sejak usianya masih belia.
Suatu ketika, ia bertanya kepada sang ayah tentang siapa yang menciptakan manusia. “Ayah, siapakah yang menciptakan manusia?” Tanyanya. “Yang menciptakan manusia adalah manusia, karena aku yang membuatmu dan ayahku yang membuatku,” jawab Azar.
Jawaban ayah Nabi Ibrahim tersebut dirasa tidak masuk akal. Ibrahim pun melanjutkan pertanyaannya, “Tapi ayah, bukan itu yang aku maksudkan, karena aku pernah mendengar seorang kakek menangis sambil berkata: ‘Oh Tuhanku, mengapa Engkau tidak memberikan seorang putra kepadaku?'”
Azar kemudian menjawab, “Benar, Anakku. Tuhan membantu manusia untuk membuat manusia. Tapi, dia tidak melibatkan dirinya dalam proses pembuatan manusia. Yang diperlukan hanyalah seorang manusia yang memohon kepada tuhannya.”
“Ada berapa banyak tuhan, Ayah?” Tanya Ibrahim lagi karena merasa belum puas. “Tuhan-tuhan itu tak terhitung jumlahnya, anakku,” jawab ayahnya. “Ayah, apa yang harus kulakukan jika aku akan mengabdi pada satu tuhan, sedangkan tuhan lain akan membenciku karena aku tak mengabdi padanya?” katanya lagi.
Perkataan Ibrahim membuat ayahnya ragu. Ia kemudian menghela nafas dan menjelaskan tentang tuhan-tuhan berhala yang dibuatnya. “Ini adalah tuhan yang aku buat dari kayu palma, sedangkan yang itu dari kayu ivory. Yang di sana terbuat dari kayu zaitun. Bagus, bukan, tuhan yang ayah buat?”
“Ayah, jika tuhan itu terbuat dari kayu, kenapa ayah menebangi pohon? Artinya ayah sudah menebang tuhan. Bagaimana cara tuhan kayu itu membantu manusia menciptakan manusia lainnya? Lalu, siapakah tuhan pertama dan bagaimana ia ada?” pertanyaan Ibrahim semakin kritis dan tak bisa lagi dijawab oleh sang ayah.
Baca juga: Legenda Asal Usul Munculnya Selat Bali Beserta Ulasan Menariknya
Dakwah Nabi Ibrahim kepada Sang Ayah yang Menolak Beriman
Singkat cerita, dengan kecerdasan yang dimilikinya, Nabi Ibrahim as akhirnya menemukan siapa sebenarnya Tuhan Semesta Alam Yang Maha Esa. Ia beriman kepada Allah dan meyakini keberadaan-Nya, serta tahu fakta bahwa dunia seisinya merupakan ciptaan-Nya.
Suatu ketika, Ibrahim menemui ayahnya dan menanyakan pertanyaan yang hampir mirip dengan kata-katanya sewaktu kecil. Percakapan antara ayah dan anak ini diabadikan kisahnya dalam Alquran Surah Maryam ayat 42–48, yang apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
“Wahai Ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus,” ujar Ibrahim.
“Janganlah engkau menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan.”
Mendengar perkataan seperti itu, sang ayah tersinggung hingga ia mengatakan akan merajam putranya. “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.”
Segera setelah itu, Sang Nabi pamit pergi dan mendoakan ampunan bagi ayahnya. “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.”
Baca juga: Cerita tentang Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha yang Dijamin Bikin Siapa Saja Terharu
Hikmah Apa yang Bisa Diambil dari Cerita di Atas?
Dari kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya di atas, ada hikmah dan pelajaran yang dapat kamu ambil. Salah satunya adalah supaya kita sebagai manusia senantiasa berbakti kepada orang tua, dan mengingatkannya pada kebaikan.
Kalaupun nasihat kebaikan dari kita tidak diterima, tidak perlu memaksakan kehendak, apalagi sampai menggunakan kekerasan. Dan lagi, alangkah lebih baik kalau kita mendoakan agar kelak Allah memberikan hidayah kepada orang tua seandainya belum beriman.