Dongeng Abu Nawas mungkin menjadi salah satu cerita populer dari kisah 1001 malam. Salah satu yang sering dituturkan adalah kisah Abu Nawas merayu Tuhan. Kamu belum familier dengan ceritanya? Simak dongengnya dalam artikel ini, yuk!
Dongeng-dongeng Abu Nawas atau Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami kebanyakan berisi cerita-cerita humoris yang mengandung pesan inspiratif. Salah satunya adalah kisah Abu Nawas merayu Tuhan yang banyak dicari oleh orang-orang.
Nah, dalam artikel ini kamu akan menjumpai cerita pujangga yang terkenal dalam agama Islam tersebut. Bukan hanya kisahnya, ada juga pembahasan mengenai unsur intrinsik, fakta menarik, serta pesan moral yang bisa diambil.
Bagaimana? Sudah penasaran dengan kisah Abu Nawas merayu Tuhan? Kalau iya, tak perlu banyak basa-basi lagi, mari simak informasi lengkapnya dalam penjelasan berikut!
Kisah Abu Nawas Merayu Tuhan
Pada zaman dahulu, Abu Nawas atau Abu Nuwas dikenal sebagai sosok yang bijaksana sehingga sering didatangi oleh banyak orang untuk menyelesaikan suatu masalah. Tak hanya rakyat biasa, ia juga dipercaya pejabat istana.
Meskipun begitu, tak jarang pula Abu Nuwas menunjukkan sisi kekonyolannya. Bahkan, ia juga pernah dipanggil sebagai orang gila oleh orang-orang yang belum kenal dengan kepribadiannya.
Namun, sisi bijaksana sang sufi akan terlihat ketika ia dimintai tolong ataupun saat mengajar murid-muridnya. Jawaban yang ia berikan dibungkus dengan humor lucu tapi mengandung pesan yang bermakna.
Diceritakan dalam kisah Abu Nawas merayu Tuhan, ada seorang murid yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya kepada laki-laki ini. Tak jarang, murid ini juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas.
Pada suatu hari, Abu Nuwas bersama muridnya menerima kedatangan tiga orang tamu. Ketiga tamu tersebut berniat menanyakan beberapa pertanyaan kepada sang pujangga ini.
“Hei, Abu Nawas. Manakah yang lebih utama? Orang yang melakukan dosa-dosa kecil atau orang yang mengerjakan dosa-dosa besar?” tanya tamu pertama kepada pujangga ini.
Abu Nuwas tanpa berpikir panjang menjawab, “Orang-orang yang mengerjakan dosa kecil”. Tamu pertama itu kemudian menanyakan alasan sang pujangga memilih orang yang berdosa kecil.
“Karena dosa kecil lebih mudah dimaafkan oleh Allah Swt,” jawab Abu Nawas. Tamu pertama itu hanya mengangguk-anggukkan kepala dan merasa puas dengan jawaban Abu Nuwas. Ia pun pamit pulang kepada sang pujangga.
Pertanyaan yang Sama, Jawaban yang Berbeda
Selanjutnya, tibalah giliran tamu kedua yang melontarkan pertanyaan kepada Abu Nuwas. “Wahai Abu Nawas, antara orang yang berdosa besar dan orang yang berdosa kecil, manakah yang lebih utama?” tanya tamu kedua itu. Ternyata, ia menanyakan pertanyaan yang sama dengan tamu pertama.
Abu Nawas kemudian menjawab, “Yang utama adalah orang yang tidak melakukan perbuatan dosa besar ataupun dosa kecil”. Tamu kedua tak puas dengan jawaban sang pujangga dan ingin mengetahui alasan di balik jawaban itu.
“Jika kamu tidak melakukan dosa apa pun, maka pengampunan Allah Swt sudah tidak diperlukan lagi”, jelas sang pujangga dengan santai. Tamu kedua itu cukup puas dengan alasan yang diberikan oleh Abu Nawas. Ia pun kemudian berpamitan untuk pergi karena urusannya dengan sang pujangga telah selesai.
Lalu, tamu ketiga pun mengajukan pertanyaannya kepada Abu Nuwas. “Hei, Abu Nawas, manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar atau orang yang melakukan dosa kecil?” tanya tamu ketiga ini.
Abu Nawas tidak menyangka bahwa ketiga tamunya menanyakan pertanyaan yang sama padanya. Laki-laki ini pun memberikan jawabannya, “Orang yang melakukan perbuatan besar yang lebih utama.”
“Kenapa bisa begitu? Beri tahu alasanmu kepadaku,” tanya tamu ketiga itu dengan penuh rasa penasaran. Abu Nuwas yang mendengar pemintaan tamunya itu menjawabnya tanpa ragu-ragu.
“Alasannya, pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besar dosa yang hamba-Nya lakukan”, jelas sang sufi. Merasa puas dengan jawaban sang pujangga, tamu ketiga itupun pamit untuk pulang.
Baca juga: Kisah Pangeran Sarif dari Betawi yang Sakti dan Bijaksana Beserta Ulasan Lengkapnya
Keingintahuan Sang Murid
Murid Abu Nawas yang sedari tadi melihat interaksi gurunya dengan ketiga tamu itu tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia kemudian bertanya kepada sang pujangga kenapa laki-laki ini memberikan tiga jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama.
Mendengar pertanyaan muridnya, dalam kisah Abu Nawas merayu Tuhan, ia diceritakan hanya tersenyum simpul. Laki-laki ini lalu menjelaskan, “Manusia itu terbagi dari tiga angkatan, yaitu tingkatan mata, otak, dan hati.”
“Apakah maksud dari tingkata mata itu, Guru?” tanya muridnya dengan polos.
“Contoh untuk tingkatan mata adalah seorang anak kecil yang menatap bintang di langit. Ia akan mengatakan bahwa bintang itu kecil karena itulah yang kelihatan di matanya,” jelas Abu Nawa dengan memberikan perumpamaan.
“Lalu, untuk tingkatan otak, bagaimana, Guru?” tanya si murid lagi.
“Jika orang itu memiliki kepandaian , ia akan berkata bahwa bintang itu sebenarnya berukuran besar karena ia mempunyai pengetahuan,” ujar Abu Nawas.
“Bagaimana dengan tingkatan hati, wahai guruku?” tanya sang murid lagi.
“Seseorang yang pintar dan paham ketika melihat bintang di langit akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil walaupun ia tahu kalau ukurannya memang besar. Ia percaya karena tidak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah Swt”, terang sang pujangga.
Pertanyaan Unik Sang Murid
Murid Abu Nuwas mulai memahami pesan bijak apa yang ingin disampaikan oleh gurunya. Ia sekarang tahu kalau satu pertanyaan bisa menghasilkan jawaban yang berbeda-beda. Namun, ia masih memiliki pertanyaan untuk gurunya itu.
“Guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?” tanya murid Abu Nawas dengan lugu.
Meskipun terdengar aneh, tapi Abu Nuwas tetap menjawab pertanyaan unik dari muridnya itu. “Mungkin saja,” jawab sang pujangga ini dengan santai.
Sang murid tidak menyangka kalau pertanyaannya dijawab oleh gurunya. Karena penasaran, ia pun bertanya kembali pada sang pujangga. “Bagaimana caranya manusia menipu Tuhan, Guru?” tanyanya.
“Manusia dapat menipu Tuhan dengan cara merayu-Nya melalui pujian dan doa,” terang Abu Nawas.
“Jika boleh, tolong ajari saya doa dan pujian itu, Guru,” pinta sang murid dengan nada antusias.
Abu Nawas tanpa keberatan memberi tahu doa itu. Ia berkata,”Ialahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa alannaril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.”
Doa untuk merayu Tuhan itu memiliki arti “Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku. Sesungguhnya Kaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.”
Sejak saat itu, banyak orang yang mempraktikkan doa untuk merayu Tuhan yang disampaikan oleh Abu Nuwas. Akhir dialog antara sang murid dan si pujangga menjadi penutup kisah Abu Nawas merayu Tuhan.
Baca juga: Dongeng Mentiko Betuah dari Aceh, Mustika Berharga Berkat Kebaikan Hati beserta Ulasan Menariknya
Unsur Intrinsik Dongeng Abu Nawas Merayu Tuhan
Kamu sudah menyimak tentang kisah Abu Nawas merayu Tuhan dalam informasi di atas. Sebenarnya, masih ada juga pembahasan unsur-unsur intrinsik yang sayang bila kamu lewatkan. Simak ulasannya dalam penjelasan berikut, yuk!
1. Tema
Tema atau gagasan utama dari cerita di atas adalah bersikap bijak dalam menghadapi suatu permasalahan. Abu Nawas menjelaskan bahwa satu pertanyaan bisa saja menghasilkan jawaban yang berbeda tergantung kepada siapa kamu akan menanyakannya.
2. Tokoh dan Perwatakan
Tokoh-tokoh dalam kisah sufi Abu Nawas merayu Tuhan adalah Abu Nuwas, seorang murid, dan tiga tamu. Abu Nawas digambarkan sebagai sosok yang bijaksana, sabar, dan humoris. Walaupun disegani oleh banyak orang, ia tetap rendah hati.
Selanjutnya, karakter murid Abu Nawas dijelaskan sebagai seseorang yang haus akan ilmu pengetahuan baru dan setia kepada gurunya. Selain itu, sang murid juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki pemikiran unik karena pertanyaan-pertanyaannya yang tidak umum.
Sementara itu, ketiga tamu yang mengunjungi Abu Nuwas dijelaskan sebagai karakter yang mempercayai sang pujangga. Mereka menerima penjelasan sang sufi tanpa mempertanyakan lebih jauh tentang pendapat sang pujangga lagi.
3. Latar
Latar atau tempat kejadian di mana dongeng di atas terjadi tidak disebutkan secara spesifik. Namun, bisa diperkirakan kalau dialog-dialog antara Abu Nawas dengan ketiga tamunya terjadi di sebuah ruangan yang bisa disaksikan oleh muridnya.
4. Alur
Alur atau jalan cerita Abu Nawas di atas termasuk dalam alur maju atau progresif. Awalnya, kisah dibuka dengan perkenalan karakter Abu Nawas yang telah populer sebagai sosok pujangga yang bijaksana. Selain sebagai pujangga, ia juga menjadi guru untuk murid-murid yang ingin menimba ilmu padanya.
Selanjutnya, dialog antara ketiga tamu sang pujangga mengembangkan jalan cerita supaya lebih menarik. Puncak konflik terjadi ketika sang murid menanyakan kepada sufi dari Iran itu kenapa sang pujangga memberikan jawaban yang berbeda-beda untuk pertanyaan yang sama.
Abu Nawas kemudian dengan santai menjelaskan alasannya dengan santai dan bahasa yang mudah dipahami. Akhir cerita ditutup dengan sang pujangga memberi tahu doa apa yang bisa dipanjatkan oleh sang murid untuk bisa merayu Tuhan.
5. Pesan Moral
Pesan moral dari kisah nasehat Abu Nawas merayu Tuhan di atas adalah kamu tidak bisa menghakimi seseorang jika tak mengetahui alasan di balik melakukan suatu perbuatan. Bersikap bijak menjadi solusi terbaik supaya tidak membuat orang lain marah dan tersinggung.
Selain unsur-unsur intrinsik, ada juga unsur ektrinsik yang bisa kamu simpulkan dari cerita yang masuk dalam dongeng 1001 malam di atas. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sekitar pada saat itu, termasuk nilai budaya, sosial, dan moral.
Fakta Menarik
Setelah mengetahui kisah Abu Nawas merayu Tuhan beserta unsur-unsur intrinsiknya, kini saatnya kamu menyimak tentang fakta menarik dari cerita tersebut. Ulasannya bisa kamu cek dalam pembahasan berikut:
1. Petikan Ayat Alquran untuk Meminta Pengampunan Allah Swt
Selain doa yang disampaikan Abu Nawas dalam kisahnya di atas, ada juga doa untuk meminta pengampunan Allah Swt yang bisa kamu jumpai dalam Alquran. Barangkali kamu bisa memanjatkannya dengan hikmat setelah selesai beribadah sholat.
Pertama adalah potongan dari Q. S. Al-Imran ayat ke-6 yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, kami benar-benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari azab neraka.'”
Selanjutnya ada juga petikan dari Q. S. Al-Mukminun ayat ke-109, yang terjemahannya adalah “Sesungguhnya ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa, ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, Engkau adalah pemberi rahmat yang terbaik.'”
Terakhir adalah Q. S Hud ayat ke-17 yang mengandung arti, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi”.
Kisah Abu Nawas Merayu Tuhan sebagai Cerita Tauladan Menumbuhkan Kebijaksanaan
Demikian ringkasan salah satu cerita Abu Nawas yang paling terkenal yang bisa kami rangkum. Kamu bisa membagikan kisah di atas untuk menumbuhkan sikap bijaksana sejak dini untuk buah hati tercinta. Atau, kamu juga bisa mencerikan dongeng yang bagus itu kepada keponakan-keponakan saat kumpul keluarga.
Selain cerita ini, kamu bisa menjumpai dongeng-dongeng inspiratif lainnya di PosKata. Beberapa di antaranya adalah kisah Ali Baba dan 40 Pencuri, legenda asal mula Bukit Kelam, serta fabel Si Kancil dan si Gajah. Selamat membaca!