
Ingin membaca keseruan petualangan seru seorang gadis mencari tujuh kakaknya yang berubah menjadi burung gagak? Tak perlu ke mana-mana lagi, langsung saja simak kisah serunya di artikel ini. Selamat membaca!
Cerita rakyat Nusantara punya Malin Kundang yang mengisahkan seorang anak laki-laki dikutuk menjadi batu. Dari luar negeri, ada pula dongeng yang mengisahkan tujuh orang anak laki-laki yang dikutuk menjadi burung gagak oleh ibunya.
Apa penyebabnya? Jadi, ketujuh anak laki-laki itu memiliki tugas penting untuk mengambil air suci di sebuah sumur. Namun, mereka tanpa sengaja menjatuhkan air tersebut. Alhasil, ibu mereka murka dan mengutuk mereka menjadi tujuh ekor gagak.
Lantas, apakah mereka bisa kembali menjadi manusia seutuhnya? Nah, kalau penasaran langsung saja simak dongeng Tujuh Burung Gagak dan ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya di artikel ini!
Cerita Dongeng Tujuh Burung Gagak
Alkisah, pada zaman dahulu, hiduplah sepasang ayah dan ibu yang memiliki 7 orang anak laki-laki. Meski hidup sederhana, mereka saling menyayangi satu sama lain.
Namun, sang Ayah tetap mendambakan kehadiran seorang anak perempuan. “Istriku, aku bersyukur karena telah memiliki 7 anak laki-laki yang baik dan pengertian. Hanya saja, aku tetap saja menginginkan seorang anak perempuan,” ujarnya pada sang istri.
“Aku juga sebenarnya inginkan seorang putri. Tapi, kita tak bisa berbuat apa-apa, kan? Semua adalah kehendak Tuhan,” ujar sang istri pasrah. Mereka terus berdoa sepanjang hari agar Tuhan memberikan anak perempuan.
Tak lama kemudian, sang istri mengandung. Betapa bahagianya hati mereka. Kehamilan itu pun disambut dengan hangat oleh para anak laki-laki. “Ibu, semoga adik kita nanti perempuan. Aku ingin sekali punya adik perempuan,” ucap anak sulung.
“Semoga, ya, Sayangku. Ibu juga berharap memiliki seorang putri cantik,” ucap sang ibu sambil mengelus perutnya.
“Jika yang lahir perempuan, aku berjanji akan selalu menjaganya, Bu,” ujar anak kedua dengan lantang. Pokoknya, 7 anak laki-laki itu sudah tak sabar menantikan kehadiran adik mereka. Begitu pula dengan sang ayah.
Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik dan mungil. Mereka sangat bahagia menyambut kedatangannya.
Namun, bayi perempuan itu ternyata sakit-sakitan. Badannya lemah dan tak berdaya. Wajar saja, sang ibu mengandungnya di usia yang tak muda lagi.
Obat untuk Sang Adik
Tak tega melihat putrinya sakit, sang Ayah pun pergi ke sebuah negeri yang jauh untuk menemui seorang tabib yang terkenal bisa menyembuhkan penyakit apa pun. Ia berjalan cukup jauh, tapi tak pernah mengeluh.
Sesampainya di sana, ia menceritakan kondisi anaknya yang memilukan. Tabib itu pun berkata, “Kamu harus memandikan anakmu dengan air yang berasa dari sumur ajaib. Letaknya ada di sebuah hutan dekat rumahmu. Dengan cara itulah anak perempuanmu bisa sembuh.”
Sang ayah pulang dengan harapan anaknya segera sembuh dari penyakitnya. Ketika sampai rumah, sang Ayah merasa sangat lelah. Ia tak bisa pergi ke hutan untuk mencari air sumur.
“Ayah, kau tampak lelah. Bagaimana kalau aku dan adik-adik saja yang pergi ke hutan itu untuk mencari sumur ajaib?” ujar anak sulung.
“Benar ayah, kami bisa saling membantu bila ada kesulitan dalam mencari air itu. Kami ingin sekali melihat adik sembuh dan tumbuh sehat,” imbuh adiknya.
Sang Ayah awalnya ragu. Ia khawatir bila ketujuh anaknya tak bisa menemukan sumur itu. Tapi, mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan lain.
“Baiklah anakku. Ayah meminta tolong agar kalian benar-benar mengambil air dalam sumur itu, lalu masukanlah dalam kendi ini,” ujarnya sambil menyerahkan kendi pada anak pertama.
“Jika sudah berhasil mendapatkan airnya, segeralah pulang dan jangan ke mana-mana. Kita harus segera menyembuhkan adik kalian. Apa kalian mengerti?” imbuhnya lagi.
“Baik, Ayah. Usai mendapatkan air dari sumur ajaib, kami akan langsung pulang,” ujar anak pertama mewakili adik-adiknya. Mereka lalu pergi ke hutan untuk mencari sumur ajaib.
Terjadi Masalah
Ketujuh anak laki-laki itu berjalan mengelilingi hutan untuk menemukan sumur ajaib. Tanpa henti mereka mencarinya, tapi tak kunjung menemukannya. Ketika sore tiba, mereka akhirnya berhasil menemukan sumur ajaib yang berada di dekat sungai.
Mereka semua merasa sangat bahagia. “Akhirnya kita menemukan sumur ajaib. Hore! Kita bisa menyembuhkan adik,” ucap mereka serempak.
Lalu, kakak pertama bergegas menimba air dari sumur itu. Saat hendak mengambil air, tiba-tiba saja kendi yang dipegang oleh kakak kedua jatuh dan pecah.
Mereka merasa bingung karena tak ada tempat lain yang mereka bisa pakai untuk mengisi air. “Kakak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Maafkan aku telah menjatuhkan kendinya,” ucap kakak kedua sambil menangis karena merasa bersalah.
“Tenanglah, Adikku. Semua bukan salahmu. Kau tak sengaja melakukannya. Ayo kita mencari tempat yang bisa kita untuk membawa air,” ucap kakak pertama.
Mereka lalu mencoba mencari wadah air di sekitar sumur. Namun, mereka tak kunjung mendapatkannya. Langit mulai gelap dan mereka semua pun panik. “Kak, bagaimana ini? Ayah pasti marah besar bila kita tak membawa pulang air sumur ini,” ucap sang adik panik.
“Tenang dulu, ayo, terus mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tempat air,” ucap kakak sulung.
Di sisi lain, sang Ayah di rumah merasa panik karena anak-anaknya tak kunjung pulang. “Apa yang mereka lakukan? Kenapa tak kunjung pulang?” ucap sang Ayah.
“Bersabarlah sebentar, Suamiku. Mungkin mereka akan pulang sebentar lagi,” ucap sang ibu sambil menenangkan suaminya.
Mengutuk Ketujuh Anaknya
Karena menunggu terlalu lama, sang ayah kehilangan kesabaran. Ditambah lagi, langit semakin gelap. “Dasar anak nakal! Tidakkah mereka menyayangi adiknya yang sedang sakit ini? Aku berharap mereka berubah menjadi gagak!” ucapnya tak kuasa menahan amarah.
Saat ucapan itu keluar dari mulutnya, tiba-tiba saja langit menjadi sangat mendung dan petir menyambar-nyambar. Tiba-tiba saja, ada tujuh ekor gagak yang terbang di atas rumahnya.
Betapa terkejutnya sang ayah, karena ketujuh gagak itu adalah anaknya. Ia menyesal telah mengucapkan kalimat yang seharusnya tak keluar dari mulutnya.
“Tuhan, kenapa kau mengabulkan ucapanku? Maafkan aku Tuhan, maafkan aku anak-anakku, tak seharusnya ayahmu mengucapkan hal itu,” ucapnya sambil menangis. Sang ibu pun turut menangis karena tak menyangka kejadian ini menimpa keluarganya.
Seiring berjalannya waktu, anak putri mereka mulai membaik. Ketujuh anak laki-laki yang menjadi gagak itu tinggal di sebuah gunung dekat hutan. Mereka tak berani menampakkan diri di hadapan sang adik karena khawatir akan menakutinya.
Sang adik tumbuh dengan sangat baik. Ia menjadi gadis cantik yang baik dan ramah. Namun, ia tak mengetahui bila dirinya memiliki tujuh kakak laki-laki yang berubah menjadi gagak. Sebab, ayah dan ibu tak memberitahunya.
Sang Adik Mengetahui Fakta Sesungguhnya
Pada suatu pagi, sang adik pergi berjalan-jalan di sekitar rumahnya. Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan beberapa orang yang membicarakan tentang keluarganya.
“Lihatlah gadis itu. Ia memang sangat cantik. Tapi, ia bisa tumbuh setelah membuat ketujuh kakaknya bernasib buruk. Bukankah ia patut disalahkan” ucap salah satu orang.
Mendengar hal tersebut, si gadis cantik itu pun berlari ke rumah. Ia bingung dengan perkataan orang-orang. Kemudian, ia menanyakan maksud dari perkataan orang-orang itu pada sang ibu.
“Mereka memang benar bahwa kamu memiliki tujuh orang kakak. Tapi, mereka salah karena menyalahkanmu,” ucap sang Ibu.
“Apa maksudnya, Bu? Lantas, ke mana perginya kakak-kakakku?” tanya si adik penasaran.
“Ibu juga tak tahu ke mana perginya mereka. Ayah dan ibumu tak pernah berhasil menemukan mereka meski telah mencari bertahun-tahun,” ucapnya. Lalu, ia juga menjelaskan kronologi yang membuat tujuh anak laki-lakinya berubah menjadi burung gagak.
Gadis cantik itu menangis mendengar cerita sang ibu. Tekad untuk mencari kakaknya pun tak terbendung. “Aku harus mencari ketujuh kakakku dan membawanya pulang,” ujar si gadis itu.
Keesokan harinya, ia berpamitan pada ayah dan ibunya. Meski kedua orang tua itu sempat melarang, sang adik tetap ingin mencari kakak-kakaknya. Kedua orang tua itu pun tak bisa berbuat apa-apa.
“Ayah, Ibu, aku harus menemukan ketujuh kakakku. Aku akan membawa mereka pulang ke rumah,” ujarnya.
Perjalanan Mencari Sang Kakak
Dengan sedikit bekal, pisau untuk melindungi diri, dan cincin kecil milik kedua orang tuanya, gadis berani ini memulai perjalanan mencari kakaknya. Ia terus berjalan melewati hutan dan sungai.
Lalu, ia bertemu dengan seorang kakek-kakek di tengah hutan. “Hai, Gadis kecil, apa yang membuatmu datang ke hutan belantara ini?” tanyanya.
“Aku sedang mencari tujuh ekor gagak, Kek. Mereka adalah kakak-kakakku. Apakah kau pernah melihatnya?” tanya si gadis itu.
“Hmm, sepertinya aku tahu keberadaan mereka. Coba datanglah ke gunung itu. Di sana ada sebuah rumah terbuat dari kaca. Bawalah tulang ini untuk membuka rumah itu. Kamu akan menemukan mereka,” ucap kakek itu.
“Benarkah aku bisa menemukan mereka di sana, Kek? Wah, terima kasih banyak karena telah memberitahuku keberadaan mereka,” ucapnya kegirangan.
Ia lalu menyimpan tulang itu dan bergegas pergi ke gunung. Selama perjalanan, ia sering berhenti untuk beristirahat karena letak gunung itu sangat jauh dan jalannya sangat terjal.
Setelah berhari-hari melakukan perjalanan, akhirnya ia sampai juga di gunung itu. Benar saja, ia melihat sebuah rumah kaca. Ketika merogoh kantongnya untuk mengambil kunci, ia merasa terkejut. “Ke mana perginya tulang itu?” ucapnya panik.
Ia mencari diseluruh kantong dan tasnya, tapi tak menemukan tulang yang merupakan kunci dari rumah kaca itu. Lalu, ia mengetuk pintu berulang kali, tapi tak ada yang membukanya.
Si adik hanya bisa menangis karena tak bisa membuka rumah. Ditambah lagi cuaca di sana sangat dingin. Meski begitu, ia tak berputus asa. Ia terus mencari benda yang bisa ia jadikan sebagai kunci.
Berkorban Demi Kakak-Kakaknya
Di sekeliling rumah kaca, ia mencari benda yang bisa digunakan untuk membuka rumah. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Lalu, ia mendapatkan sebuah ide.
“Bukankah kunci yang kakek itu berikan adalah sebuah tulang? Apakah aku bisa membukanya jika aku berhasil menemukan sebuah tulang?” tanyanya dalam hati.
“Tapi, dari mana aku bisa menemukan tulang sekecil lubang kunci ini?” tanyanya lagi. Ia berpikir dengan keras. “Aku bisa memakai tulang kelingkingku yang kecil ini. Iya, benar. Aku bisa memakai tulang kelingkingku,” ucapnya.
Ia sangat berharap bisa bertemu ketujuh saudaranya. Dengan segala keberaniannya, ia memotong jari kelingkingnya. Meski rasanya sangat sakit, ia menahannya. Setelah berhasil memotongnya, ia lalu memahat tulangnya agar menyerupai kunci.
Tak berselang lama, Gadis itu berhasil membuka pintu. Betapa bahagianya dia. Namun, saat masuk ke sana, ia malah bertemu dengan seorang kerdil, bukan gagak.
“Hai, Gadis kecil. Apa yang kau cari di rumah ini?” tanya orang kerdil itu.
“Emm, sebenarnya aku sedang mencari tujuh ekor burung gagak yang sebenarnya adalah kakakku. Ketika di hutan, aku bertemu dengan seorang kakek, dan dia bilang mereka ada di rumah ini,” jelasnya.
“Begitu rupanya. Tuan-tuanku belum pulang. Masuklah dulu. Kau boleh menunggu mereka di sini,” ucap si Kerdil.
Sebuah Penantian
Setelah mempersilakan gadis itu masuk, si Kerdil menyiapkan makanan untuk ketujuh tuannya. Ia menyiapkan tujuh piring kecil yang berisi makanan dan sedikit air.
“Tuan, kenapa kau tak membukakan pintu untukku?” tanya Gadis pada si Kerdil.
“Owh, maafkan aku. Aku tak diizinkan menerima tamu selama tuan-tuanku pergi. Tapi, karena kau terlanjur masuk, aku tak akan mengusirmu,” ucapnya.
Usai menyiapkan makanan, si Kerdil pamit pergi. “Gadis cantik, kau boleh menunggu mereka di sini. Tapi, jangan menyentuh makanan mereka. Aku memperingatkanmu,” ucap si Kerdil.
“Baiklah,” jawab si Gadis itu.
Ia menunggu kakak-kakaknya dengan sabar. Namun, mereka tak kunjung pulang. Perutnya lapar sekali dan bekalnya telah habis. “Mungkin, kalau aku memakan sedikit makanan ini, mereka tak akan menyadarinya,” ucapnya kelaparan.
Dengan lahap, ia mengambil sedikit makanan dari ketujuh piring itu. Saat minum, tanpa sengaja ia menjatuhkan cincin milik ayah dan ibunya.
Setelah merasa kenyang, Gadis itu pun merasa ngantuk. Ia lalu masuk ke kamar kakak-kakaknya untuk beristirahat sejenak. “Aku akan tidur sambil menunggu kedatangan mereka,” ucapnya sambil menguap.
Perjuangan yang Tak Sia-Sia
Saat si Gadis tidur, tujuh burung gagak itu pun tiba di rumah. Ketika hendak makan, mereka terkejut dan marah. “Siapa yang berani-beraninya memakan makanan kita?” ucapnya geram.
Mendengar suara penuh amarah itu, si Gadis pun terbangun dari tidurnya. Ia mengintip dari balik pintu kamar dan merasa ketakutan. “Aku seharusnya tak menyulut kemarahan mereka,” ucapnya ketakutan.
Lalu, kakak kedua tiba-tiba menemukan sebuah cincin. “Kakak, lihatlah, ada cincin di gelas ini,” ucapnya. Ia lalu mengambil cincin itu dengan paruhnya. “Bukankah ini cincin ayah dan ibu kita?” ujarnya terkejut.
“Apakah mereka ada di sini? Ayah! Ibu!” panggil si Kakak kedua. Mereka rupanya sangat merindukan ayah dan ibu. Lalu, dengan perlahan, si adik membuka pintu dari kamar. Tujuh burung gagak itu terkejut melihat seorang gadis kecil muncul dari kamar mereka.
“Apakah kau adik kami?” tanya Kakak pertama.
“Benar. Aku kemari untuk bertemu kalian. Aku ingin kalian kembali ke rumah. Bahkan, aku sampai memotong kelingkingku agar bisa masuk ke rumah ini,” ujarnya.
Para gagak itu menangis. “Kau tak takut pada kami yang berwujud menyeramkan ini?” ucap Kakak pertama.
“Kenapa harus takut? Aku menyayangi kalian. Cinta tak kenal rasa takut. Seperti saat kalian melawan takut ketika mencari air di sumur ajaib untuk menolongku,” jelas sang adik sambil menangis.
Tujuh burung gagak itu turut menangis dan seketika mereka berubah menjadi manusia. Mereka lalu memeluk sang adik dengan erat. Pada akhirnya, mereka kembali pulang dan hidup bahagia.
Unsur Intrinsik
Setelah membaca kisah Tujuh Burung Gagak di atas, kamu jadi penasaran dengan unsur intrinsiknya, kan? Yuk, hilangin rasa penasaranmu dengan membaca ulasan berikut;
1. Tema
Tema atau inti cerita dari dongeng ini adalah tentang kasih sayang keluarga. Mereka berani berkorban untuk saling menyelamatkan satu sama lain. Dongeng ini juga menceritakan tentang ucapan seorang ayah yang berubah menjadi kenyataan. Secara tidak sengaja, ia mengutuk anak-anaknya menjadi burung gagak.
2. Tokoh dan Perwatakan
Sesuai judulnya, tokoh utama dalam dongeng ini adalah tujuh anak laki-laki yang berubah menjadi burung gagak. Namun, cerita dongeng ini tak menyebutkan secara spesifik karakter dari masing-masing anak. Mereka hanya digambarkan sebagai anak laki-laki yang menyayangi kedua orang tua dan adiknya.
Tokoh utama berikutnya adalah ayah dan ibu. Sang ayah adalah sosok yang sebenarnya baik hati dan mau berkorban demi anaknya. Sayangnya, ia adalah ayah yang tak sabaran. Sedangkan sang ibu adalah sosok penyayang dan penyabar.
Cerita ini tak akan lengkap tanpa adanya tokoh utama si Adik. Ia adalah gadis pemberani. Meski masih kecil, ia berani menyusuri sungai dan hutan, bahkan gunung, demi bertemu dengan kakak-kakaknya.
Selain tokoh utama, dongeng ini juga memiliki tokoh pendukung yang turut mewarnai kisahnya. Mereka adalah seorang kakek dan orang kerdil yang menjaga tujuh burung gagak di hutan. Sang Kakek adalah penolong yang membantu si adik menemukan kakak-kakaknya.
3. Latar
Ada beberapa latar tempat yang diceritakan dalam dongeng ini. Awal cerita terjadi di rumah sederhana dan rumah seorang tabib yang berada di negeri nan jauh. Lalu, saat sang adik mulai mengembara untuk mencari kakak-kakaknya, latar tempat yang digunakan adalah hutan, sungai, gunung, dan rumah kaca.
4. Alur Cerita Dongeng Tujuh Burung Gagak
Cerita dongeng anak-anak ini menggunakan alur maju. Cerita bermula dari keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu, dan 7 anak laki-laki yang menginginkan kehadiran adik atau anak perempuan.
Tak lama kemudian, doa mereka terkabul. Sang ibu mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Sayangnya, anak itu lemah dan sakit-sakitan. Sang ayah kemudian pergi menemui seorang tabib yang berada di negeri nan jauh untuk mencari obat.
Tabib itu mengatakan bahwa air sumur ajaib yang ada di hutan belantara bisa menyembuhkan anaknya. Lalu, ketujuh anak laki-lakinya pergi ke hutan untuk mencari sumur ajaib dan mengambil airnya.
Sayangnya, saat hendak mengambil air, kendi yang berfungsi untuk menyimpan air terjatuh dan pecah. Mereka tak bisa membawa air. Hingga larut malam mereka masih mencari tempat yang bisa digunakan untuk menyimpan ini.
Karena mereka tak kunjung pulang, sang Ayah pun mengira kala mereka sedang asyik bermain. Terlampau emosi, sang Ayah tanpa sengaja mengatakan kalau anak-anak lelakinya lebih baik berubah menjadi gagak.
Rupanya, perkataan itu berubah menjadi kenyataan. Tujuh anak laki-lakinya berubah menjadi burung gagak. Tak ingin menakuti adiknya, mereka pun pergi menjauh dari rumah.
Ajaibnya, si adik lalu sembuh dari penyakitnya. Ia tumbuh dengan sangat cantik. Akan tetapi, ia tak tahu bila memiliki tujuh kakak yang berubah jadi burung gagak.
Pada saat tumbuh besar, barulah ia mengetahui kalau dirinya memiliki tujuh kakak laki-laki yang telah berubah menjadi burung gagak. Ia lalu melakukan perjalanan untuk mencari sang kakak dan membawa mereka pulang.
Setelah berhari-hari mencari, ia akhirnya menemukan tempat tinggal kakak-kakaknya. Sang Adik mengatakan bahwa ia sangat mencintai kakak-kakaknya dan ingin mereka pulang. Seketika itu pula, ketujuh kakaknya kembali menjadi manusia dan mereka pun hidup bahagia.
5. Pesan Moral
Dongeng Tujuh Burung Gagak mengandung beberapa pesan moral. Amanat utama adalah jangan mengucapkan hal buruk. Sebab, perkataan adalah doa dan kita tak akan pernah tahu doa mana yang diijabah oleh Tuhan.
Berikutnya, apabila kamu punya keinginan, jangan pernah berhenti berdoa dan meminta pada Tuhan. Seperti yang dilakukan oleh sang Ayah dan Ibu dalam dongeng ini. Mereka tak pernah berhenti dan berharap mendapatkan anak perempuan.
Dongeng ini juga mengajarkan bahwa sesama keluarga harus saling menyayangi. Tujuh kakak laki-laki dalam dongeng ini rela pergi ke hutan untuk mencari sumur ajaib yang entah ada di mana. Sang Adik pun rela melakukan perjalanan jauh demi bertemu dengan kakak-kakaknya. Ia bahkan rela memotong jarinya sendiri.
Selain unsur intrinsik, cerita dongeng Tujuh Burung Gagak ini juga ada unsur ekstrinsiknya. Di antaranya adalah nilai-nilai dari luar kisahnya yang mempengaruhi berlangsungnya jalannya cerita. Seperti, nilai sosial, budaya, dan moral.
Fakta Menarik
Sebelum mengakhiri artikel ini, yuk, simak dulu fakta menarik dari Tujuh Burung Gagak. Apasajakah itu? Berikut ulasan singkatnya;
1. Adaptasi Dari Dongeng Milik Brothers Grimm
Brothers Grimm adalah pasangan kakak beradik berkebangsaan Jerman yang menerbitkan dan mempopulerkan cerita rakyat dan dongeng klasik Eropa. Mereka adalah Jacob Ludwig Karl Grimm dan Wilhelm Carl Grimm.
Tujuh Burung Gagak alias Die sieben Raben (Jerman) atau The Seven Ravens (Inggris) jugalah salah satu dongeng yang Brothers Grimm terbitkan. Namun, dongeng ini tak sepopuler kisah milik Brothers Grimm lainnya, seperti Hansel dan Gretel, Gadis Berkerudung Merah, dan Cinderella.
2. Diangkat Menjadi Film
Pada tahun 1937, Tujuh Burung Gagak terbitan Brothers Grimm diangkat menjadi film animasi stop-motion. Film Jerman berjudul Die Sieben Raben ini disutradarai oleh Diehl Brothers. Kisahnya sama persis dengan dongeng yang diterbitkan Brothers Grimm.
Di tahun 2015, dongeng ini diadaptasi menjadi film live action di Ceko. Dengan judul Sedmero krkavců, dongeng ini disutradarai oleh Alice Nellis dan berhasil memenangkan penghargaan best cinematography dalam 3rd Indian Cine Film Festival-2015.
3. Versi Lain
Dongeng pada umumnya memang memiliki sejumlah versi cerita yang berbeda. Tak terkecuali dengan Tujuh Burung Gagak. Ada versi yang mengisahkan tentang tujuh orang anak laki-laki yang sangat nakal.
Mereka tak pernah mendengarkan perkataan sang ayah dan ibu. Tak ayal jika sang ibu kerap marah-marah. Untung saja, kedua orang tua itu masih memiliki anak perempuan bungsu yang bisa sedikit menghibur mereka.
Pada suatu hari, ada kejadian buruk besar akibat perbuatan dari ketujuh anak laki-laki itu. Mereka memberi racun pada makanan hewan-hewan ternak milik sang ibu dan ayah.
Alhasil, hewan-hewan itu lemah dan akhirnya mati. Kesabaran sang Ibu telah habis. Ia tak sanggup lagi menghadapi tujuh anak laki-laki yang teramat nakal itu. Lalu, ia pun mengucapkan kalimat, “Lebih baik kalian menjadi burung gagak saja daripada terus berbuat nakal.”
Dalam sekejap, doanya dikabulkan oleh Tuhan. Ketujuh anak laki-laki itu tiba-tiba berubah menjadi burung gagak hitam. Mereka lalu pergi ke sebuah gunung karena merasa malu. Sang Ibu menyesali perbuatannya. Tak seharusnya ia mengucapkan kalimat kutukan.
Waktu terus berlalu, sang Adik perempuan pun telah tumbuh menjadi gadis cantik. Ia lalu pergi ke gunung untuk mencari ketujuh kakaknya dan ingin membawa mereka pulang.
Tibalah ia di sebuah rumah yang menjadi tempat tinggal kakak-kakaknya. Namun, rumah itu kosong. Tampaknya, kakak-kakaknya sedang mencari makanan. Karena mengantuk, sang Adik pun tidur di kamar kakak-kakaknya.
Tak lama kemudian, tujuh burung gagak pulang ke rumah. Mereka kaget melihat adiknya tidur di kamar. Terbangun saat mendengar kepakan sayap burung, adik perempuan menangis dan memohon agar mereka pulang. Lalu, tujuh burung gagak itu kembali menjadi manusia. Mereka berjanji tak akan berbuat nakal lagi.
Sudah Puas dengan Dongeng Tujuh Burung Gagak?
Demikianlah artikel yang mengulik dongeng Tujuh Burung Gagak beserta ulasan lengkapnya. Sudah puas dan suka dongeng seru ini? Kalau suka, yuk, ceritakan pada adik atau teman-temanmu.
Buat yang ingin membaca cerita atau dongeng lainnya, langsung saja kepoin Poskata.com kanal Ruang Pena, ya. Ada banyak cerita yang bisa yang kamu pilih. Beberapa di antaranya adalah dongeng Singa dan Kelinci, Beruang dan Lebah, Amira Si Peri Penjaga Hutan, dan masih banyak lagi. Selamat membaca!