
Pernahkah kamu mendengar cerita dongeng tentang Kelinci dan Beruang yang bisa mengajarkan tentang kesabaran? Kalau belum, langsung saja cek kisahnya di bawah ini dan dapatkan juga ulasan menariknya!
Ada beragam kisah fabel yang menarik dan mengandung pesan moral baik untuk diajarkan pada buah hati tersayang. Salah satunya adalah kisah dongeng Beruang dan Kelinci yang telah kami siapkan di artikel berikut ini.
Melalui kisah ini, kamu bisa mengajarkan pada buah hati atau keponakan tersayang tentang pentingnya menjadi seseorang yang sabar dalam menghadapi banyak hal di dunia ini. Kemudian, bisa juga mengajarkan tentang bagaimana cara menghadapi hal-hal tidak terduga yang tidak mereka suka.
Semakin penasaran dengan ceritanya, kan? Langsung saja simak kisah dongeng Beruang dan Kelinci di bawah ini dan dapatkan juga sedikit ulasan seputar unsur intrinsik dan fakta menariknya. Selamat membaca!
Cerita Dongeng Kelinci dan Beruang
Alkisah pada suatu masa hiduplah seekor kelinci yang bersahabat dengan seekor beruang. Karena persahabatan mereka begitu dekat, si Kelinci pun sering menghabiskan waktu bersama-sama. Bahkan, terkadang Kelinci akan tidur di gua si Beruang, khususnya selama musim dingin yang membekukan liang tempatnya tinggal.
Pada suatu malam, Kelinci yang sedang tertidur pulas di gua sahabatnya itu, mendadak terbangun ketika mendengar suara berisik yang mengerikan.
“Oh, tidak!” pekik si Kelinci ketika baru saja membuka matanya, “Itu pasti petir!”
Ia benar-benar merasa seolah seisi gua itu dipenuhi dengan petir. Kemudian ketika ia melihat ada cahaya yang masuk ke gua, ia mengira itu adalah kilat.
Padahal, sebenarnya cahaya yang masuk ke dalam gua itu adalah sinar matahari. Sementara suara berisik yang mengerikan dan membangunkannya itu berasal dari dengkur Beruang yang terdengar sangat kencang.
Kelinci berusaha menutupi telinganya menggunakan kedua tangannya. Namun, karena kedua telinganya sangat panjang sementara kedua tangannya kecil, suara dengkur itu tetap saja masuk ke dalam telinganya.
“Ini benar-benar tak bisa ditoleransi!” ujar si Kelinci seraya melompat keluar dari gua.
Ketika berada di luar gua, ia baru menyadari kalau dua manusia salju yang ia buat bersama sahabatnya beberapa hari yang lalu kini sudah mencair. Yang tersisa hanyalah dua tumpukan kecil salju yang terlihat lesu. Di atas setiap tumpukan salju itu terbaring dua bunga pinus, sepotong ranting yang melengkung, dan juga sebatang wortel.
“Kenapa kedua manusia salju ini sudah mencair?” tanya si Kelinci penasaran. Mendadak, sebuah pemikiran besar masuk ke dalam otaknya. Ia pun langsung berjinjit dan membusungkan dadanya. “Akhirnya musim semi sudah tiba!” pekik si Kelinci dengan penuh semangat.
Kedatangan Kura-Kura Ke Liang Kelinci
Si Kelinci pun berpikiran bahwa ini adalah saatnya ia kembali ke liangnya sendiri. Meskipun ia menikmati musim dingin yang nyaman bersama temannya si Beruang. Sayangnya, suara dengkur sahabatnya itu begitu keras dan mengganggu sehingga rasanya bisa membuatnya nyaris gila.
Secara perlahan, Kelinci melompat-lompat menuruni bukit besar tempat gua Beruang berada, kemudian naik ke bukit kecil tempat liangnya. Karena selama musim dingin ia sering tinggal di gua milik sahabatnya itu, Kelinci mendapati kalau liangnya kini terlihat sedikit berantakan. Ada banyak sekali dedaunan yang mengotori pintu masuk liang.
“Sepertinya akan lebih baik kalau aku melakukan bersih-bersih di awal musim semi ini,” ucapnya pada dirinya sendiri, diikuti dengan lompatan tinggi masuk ke dalam liangnya.
Dan benar saja seperti dugaannya, liangnya benar-benar berantakan. Ada banyak sekali ranting dan dedaunan layu yang menutupi lantai liangnya. Kelinci pun kemudian meraup sebagian dari kekacauan itu menggunakan kedua tangannya dan menemukan sesuatu yang keras di bawahnya.
“Apa ini?” pikirnya penasaran, “Apakah ini sebuah batu besar atau akar pohon? Tapi, tunggu sebentar, kenapa batu itu memiliki sepasang mata?”
“Aaaaaaa! Ulaaaaaar!!” Kelinci pun langsung berteriak senyaring mungkin hingga membuat telinganya sendiri kesakitan.
Kedua mata kecil yang disangka batu itu pun terbuka dan menatap lurus ke arah si Kelinci. “Haaallloooo Kkkeliiiinciiii,” ucap hewan itu dengan luar biasa perlahan, dan diikuti dengan sebuah dengusan. Rupanya, pemilik dari mata kecil itu bukanlah seekor ular.
“Astaga! Rupanya itu adalah kau, Kura-kura!” ucap si Kelinci masih berdebar-debar, “Segeralah keluar dari sini, ini adalah liangku! Sekarang aku sedang ingin sendiri!”
Suara Ketukan Apa Itu?
“Apakaaaah ttaaahhuuuunn kinnniiii teelaaaah bbbergaaanti?” tanya Kura-kura lagi masih dengan nada perlahan.
“Ya!” jawab Kelinci segera,” Dan segala sesuatunya kini telah menjadi jauh lebih berisik. Padahal yang kuinginkan hanyalah damai dan tenang!” Karena ucapannya kembali berubah menjadi teriakan, kini ia telah menyakiti telinganya sendiri.
“Bbbbaaaaiklaaaaah Kkkeeellinciii,” ucap Kura-kura seraya berjalan keluar dari liang itu dengan perlahan. Rasanya, Kelinci nyaris bisa menjadi gila menunggu sampai tamu tak diundang itu keluar dari kediamannya.
Sesampainya di luar, Kura-kura langsung tertidur seketika saat tubuhnya tertimpa sinar matahari yang hangat. Sementara Kelinci melanjutkan kegiatan membersihkan liang kediamannya. Setelah selesai, ia pun berjalan keluar dan langsung duduk di atas Kura-kura yang sedang tertidur.
Kelinci pun meregangkan tubuhnya dan merasakan cahaya matahari menghangatkan tubuhnya. Betapa indahnya hidup ini jika dunia dipenuhi dengan kedamaian dan ketenangan.
Hingga mtiba-tiba, Tuk! Tuk! Tuk! Terdengar suara ketukan yang begitu kencang. Kelinci langsung terkejut dan tubuhnya melonjak begitu tinggi hingga ia sendiri ketakutan. Karena bagaimanapun juga, meskipun ia suka melompat, tapi si Kelinci ini takut ketinggian.
“Ah, tidak! Saraf tubuhku!” keluhnya ketika akhirnya mendarat kembali di tanah. Seraya memegang dadanya yang berdegup kencang, ia berusaha melihat ke sekelilingnya. Namun, ia tak melihat ada apa pun yang aneh di sekitarnya.
Namun, sekali lagi ia bisa mendengar suara ketukan yang kencang itu. Si Kelinci berusaha melihat ke bawahnya tapi tetap saja ia tak melihat apa-apa. Ketika akhirnya ia mendongakkan kepalanya, barulah ia melihat ada sesuatu yang aneh di atas pohon. Hanya saja, ia tidak terlalu yakin apa itu karena jaraknya terlalu jauh darinya.
Sesuatu yang Buram di Atas Pohon
Karena kebingungan, si Kelinci pun pergi ke gua Beruang dan membangunkan sahabatnya. Pikirnya, karena sahabatnya itu setidaknya jauh lebih tinggi darinya, setidaknya pasti si Beruang bisa melihat apa yang menimbulkan keributan di atas pohon.
“Beruang!” teriak si Kelinci sejak dari depan pintu gua. “Beruang, kemarilah! Ada sesuatu yang harus kamu lakukan!”
Si Beruang yang baru saja bangun itu berjalan terhuyung-huyung keluar dari guanya. Kemudian, seraya mengusap kedua matanya menggunakan mata besarnya, dia mengikuti si Kelinci menuruni bukit besar itu.
“Coba lihat itu!” seru Kelinci seraya menunjuk lurus ke atas pohon. Meskipun begitu, rupanya pohon itu jauh lebih tinggi dibandingkan si Beruang. Meskipun ia telah mendongakkan kepalanya sekalipun, tetap saja ia tak bisa melihat apa yang ada di atas sana.
“Maafkan aku, Kelinci,” ucap Beruang masih mendongakkan kepalanya. “Aku sama sekali tak bisa melihatnya dengan jelas. Yang terlihat bagiku hanyalah sesuatu yang buram saja.”
“Dia sepertinya memang buram,” ucap Kelinci dengan kepala yang mendongak juga.
Jauh di dekat puncak pohon itu terlihat sosok buram berwarna hijau yang sedang melakukan sesuatu. Mendadak, mengikuti suara ketukan yang tanpa henti itu, ada potongan besar kulit kayu yang terjatuh dan mendarat tepat di tubuh Beruang dan Kelinci.
“Oh, tidak! Buluku!” pekik Kelinci berusaha menyingkirkan potongan kulit kayu itu dari tubuhnya. “Ini benar-benar tak bisa diterima!”
Sesudahnya, sosok buram yang berada jauh di atas mereka itu berhenti mematuk. Barulah saat itu dia tak lagi terlihat buram.
“Rupanya itu seekor burung,” ucap Beruang.
“Bukan! Itu adalah seekor pengganggu!” ujar Kelinci kesal.
Burung Pelatuk si Pendatang Baru
“Hei! Hei hei hei!” teriak sang burung yang ada di atas pohon, “Aku adalah Burung Pepepelatuk! Aku bukanlah pengganggu. Justru aku sedang memakan pengganggu!” Burung Pelatuk itu kemudian menggunakan lidah runcingnya yang lengkat untuk menjilat tempayak kumbang yang sedang menggeliat-geliat di dalam sebuah lubang di pohon tersebut.
“Wow! Wow! Wow! Ini benar-benar lezat! Hahaha!” ucap sosok burung yang kini tak lagi buram seraya tertawa.
“Hei!” teriak Kelinci dari bawah pohon, “Kenapa kau tertawa?”
“Tentu saja karena aku merasa senang! Benar-benar senang! Sangat senang!” ujar Pelatuk kemudian kembali mematuk pohon itu lagi. Tuk! Tuk! Tuk!
“Betapa indahnya!” ucap si Beruang, “Aku belum pernah melihat ada seekor burung Pelatuk di lembah ini sebelumnya.”
“Apa katamu? Indah?” tanya Kelinci kembali penuh kekesalan, “Tidakkah kau mendengar dia begitu berisik! Apalagi dia terlihat begitu senang! Hal itu membuatku sangat kesal!”
Bahkan, karena suara yang dikeluarkan si pendatang baru itu begitu berisik, Kura-kura pun sampai terbangun juga. Ketika ia mendadak berdiri, Kelinci yang berdiri di atas punggungnya sampai terjungkal.
“Hei!” protes Kelinci ketus.
“Haaalllloooo lagi Kkeelliiiiinciii,” ucap Kura-Kura dengan suara lambatnya, “Suuuddaaahkaaaah taahuuuun bbbeeerrrggaanttiiii llaaaaaggi?”
“Belum!” jawab Kelinci dengan suara seru. “Sekarang baru saja lewat lima menit sejak kau tertidur!”
“Bbeeeggitukkaaaah?” ucap Kura-Kura seraya mendengus. “Sayang sekkaaalliii. Tahukah kaaau, usiaku sudah seratuuuuus tahhhuuuun. Atau mungkin, seraatus satuuu…” Belum sempat sang Kura-kura menyelesaikan ucapannya, mendadak ia kembali tertidur.
Kelinci Membuat Kesal Dirinya Sendiri
“Hah! Dia juga selalu saja membuatku kesal!” ucap Kelinci dengan berkacak pinggang.
“Kenapa kau merasa kesal, sahabatku? Tidakkah Kura-kura justru terlihat sedang sedih dan juga tenang?” tanya Beruang penasaran.
“Benar sekali! Justru itulah yang membuatku merasa kesal!” jawab Kelinci semakin menunjukkan kekesalannya. Jawaban itu membuat Beruang menjadi berpikir.
“Jadi, hal-hal yang berisik dan menyenangkan akan membuatmu kesal?” tanyanya pada si Kelinci.
“Ya!”
“Lalu hal-hal yang tenang dan menyedihkan juga membuatmu kesal?”
“Benar sekali!”
Beruang kemudian kembali berpikir. “Namun, tidakkah menurutmu hal yang sama dari kedua hal itu adalah,” ucap Beruang seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “kamu.”
“Lalu memangnya kenapa?” tanya Kelinci ketus seraya menatap sahabatnya itu denten pandangan tajam.
“Kurasa, sesuatu yang membuatmu merasa kesal itu bukanlah Pelatuk ataupun Kura-kura. Sebenarnya, yang paling membuatmu kesal adalah…” ucap Beruang dengan ragu-ragu. Bagaimanapun juga ia sama sekali tak ingin mengatakannya karena ia mengetahui kalau sahabatnya itu galak.
“Pasti maksudmu yang membuatku kesal adalah kau kan, Beruang?” tanya Kelinci yang langsung mengangkat kaki kanannya berniat untuk memarahi sahabatnya.
“Bukan!” ujar Beruang dengan segera, “Yang membuatmu kesal adalah dirimu sendiri.”
“Bagaimana mungkin aku membuat diriku sendiri kesal?” tanya Kelinci terkejut. Sehingga ia langsung mengangkat kaki kirinya sebagai bentuk teguran pada dirinya sendiri. Sayangnya, karena ia lupa menurunkan kaki kanannya terlebih dahulu, pada akhirnya dia pun terjatuh.
“Tidakkah kau lihat kalau pikiranmu bertentangan dengan berjalannya alam?” tanya Beruang.
Amarah Kelinci yang Semakin Besar
“Apa maksudmu aku bertentangan dengan berjalannya alam?” tanya Kelinci seraya bangkit berdiri dan kembali kesal. “Tidak mungkin!” Sekali lagi, Kelinci berniat mengangkat kakinya untuk menendang sahabatnya. Namun, karena tubuh sahabatnya itu cukup besar, si Kelinci kemudian membatalkan niatannya itu.
Ia justru berbalik dan sebagai gantinya memilih untuk menendang Kura-kura. Namun, karena cangkang Kura-kura yang keras, Kelinci pun merasa kakinya sangat kesakitan karena rasanya seperti menendang batu besar.
“Aaaaak!” pekik Kelinci kesakitan.
Sementara itu si Kura-kura bergeming dan membuka matanya sebentar sebelum kembali tertidur. Di atas pohon, Pelatuk kembali melanjutkan kegiatan mematuknya.
“Arrrgh!” seru Kelinci lagi. “Kalian semua benar-benar membuatku kesal! Khususnya kau!” ujarnya seraya menunjuk ke atas pohon.
Masih dengan penuh kekesalan, ia mengambil sebuah bunga pinus lalu melemparkannya ke atas pohon, berusaha mengincar sang burung Pelatuk. Sayangnya, karena ia tidak terlalu hebat dalam melemparkan benda, bunga pinus itu pun sama sekali tak mengenai Pelatuk. Yang ada, bunga pinusnya justru kembali jatuh lurus ke bawah hingga mengenai mata Kelinci.
“Beruang! Tidakkah kau lihat itu? Lihat apa yang telah dilakukan burung yang menyebalkan itu padaku!” teriak Kelinci penuh emosi.
Melihat sang Kelinci yang semakin marah, Beruang pun berusaha memikirkan sesuatu yang lebih baik. Bagaimanapun, ia tak ingin sahabatnya itu semakin marah besar dan akhirnya melakukan hal-hal yang akan mereka sesali.
“Hei, Pelatuk!” teriak Beruang ke atas pohon. “Bisakah kau mematuk pohon dengan lebih perlahan?”
Sebenarnya Sahabat Macam Apa
“Bagaimana mungkin aku mematuk lebih perlahan? Kalau begitu, nantinya akan memakan waktu yang terlalu lama. Sangat lama. Sangat lebih lama. Sangat, sangat, sangat lama!” seru Pelatuk. Lagipula, ia selalu merasa kesulitan untuk berhenti melakukan sesuatu yang sudah ia lakukan.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Beruang kemudian, “Aku sudah mengerti, Pelatuk. Kalau begitu, kau bisa mematuk lebih cepat, dan mungkin, kau akan bisa menyelesaikannya dengan…”
“JANGAN BERTERIAK!” seru Kelinci tiba-tiba, memutus pembicaraan sahabatnya.
“Namun, aku tak bisa mematuk jauh lebih cepat dari ini!” jawab sang Burung Pelatuk seraya kembali mematuk untuk menunjukkan contohnya. Dengan kecepatan mematuknya, kepala sang Pelatuk kembali terlihat seperti hijau buram dari bawah pohon.
“Baiklah, aku mengerti, Pelatuk!” ujar Beruang.
Sesaat, sang Pelatuk berhenti mematuk untuk melihat ke pemandangan yang ada di sekelilingnya. “Wah, benar-benar pemandangan yang sangat indah!” serunya dengan penuh kekaguman. “Sudah bisa dipastikan aku pasti akan sangat sangat sangat suka tinggal di sini!”
Namun, rupanya ucapan itu tidak mendapatkan sambutan baik dari si Kelinci. Wajah hewan bertelinga panjang itu tampak sangat kesal dan bersungut-sungut.
“Aku pasti bisa menemukan satu di suatu tempat di sini,” ujar si Kelinci seraya mencari-cari sesuatu di tanah.
“Apa yang sedah kau cari, Kelinci?” tanya Beruang penasaran.
“Sebuah batu yang sangat besar. Agar bisa kulemparkan pada Pelatuk yang berbahaya itu!” jawab Kelinci menggerutu.
“Kenapa kau mau melemparnya? Tidakkah lebih baik kalau kita berusaha membantunya saja?” usul sang Beruang.
“Membantunya?”
“Benar, membantunya!”
“Membantunya melakukan apa? Membantunya membuatku kesal?” tanya Kelinci semakin menaikkan nada suaranya. “Sebenarnya kau ini sahabat macam apa, sih?”
Apakah Burung Pelatuk adalah Musuh?
“Bukan begitu, Kelinci,” jawab Beruang dengan bijaksana, “Akan lebih baik kalau kita membantu Pelatuk menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat. Dengan begitu dia tak akan lagi membuatmu kesal.”
“Tak sudi!” hardik Kelinci, “Untuk apa aku membantunya?”
“Baiklah, kalau begitu. Biar aku saja yang membantunya,” ucap Beruang dengan ringan, tanpa menunggu lama, ia langsung memanjat pohon itu.
“Dasar kau pengkhianat!” ujar Kelinci menuduh sahabatnya. Ucapan itu membuat Beruang berhenti memanjat pohon kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Apa itu pengkhianat?” tanya Beruang penasaran.
Si Kelinci pun mendongakkan kepalanya ke arah sahabatnya dan mulai menjelaskan, “Pengkhianat adalah seseorang yang meninggalkan sahabatnya sendiri demi membantu musuhnya!”
Jawaban itu membuat Beruang menghela napas panjang. “Tapi aku tak pernah menganggap Pelatuk sebagai musuh, Kelinci. Jadi biarkan aku naik ke puncak pohon untuk memeriksanya dan jangan menyebutku sebagai pengkhianat!”
Si Beruang sendiri merupakan hewan yang cukup lihai memanjat pohon. Hal itu dikarenakan ia terlatih melakukan itu untuk bisa mendapatkan madu. Ketika semakin tinggi ia memanjat, ia pun merasakan kalau alam sekitarnya dengan cepat terasa lebih besar, lebih cerah, lebih terang, dan tentunya lebih berangin. Hingga mendadak, segala masalah yang ada di dalam hidup Beruang terlihat lebih kecil, lebih jauh, dan lebih tidak penting.
Tanpa terasa, Beruang sudah sampai di puncak pohon. Ia pun menyapa Burung Pelatuk dengan pelan dan santun. “Halo, Pelatuk. Apakah kau adalah musuh?”
“Tentu saja tidak! Tidak tidak tidak tidak tidak tidak!” jawab Pelatuk berulang kali seraya menggelengkan kepala. “Aku hanya sedang membuat lubang di pohon ini untuk dijadikan sebagai sarangku. Untuk apa aku menjadi musuhmu?”
Menikmati Pemandangan dari Atas Pohon
“Baguslah kalau begitu,” ujar Beruang merasa senang, “Kurasa satu patuk dalam sekali waktu akan membuatmu terlalu lama mengerjakannya. Izinkanlah aku membantumu, Pelatuk.”
Untungnya, Pelatuk mengizinkan permintaan Beruang. “Tentu saja boleh!” serunya seraya menggeser tubuhnya ke cabang pohon dengan sopan.
Beruang kemudian mengeluarkan cakar di tangannya sepanjang mungkin. Lalu menggunakan cakar itu, ia mengeruk lubang itu dengan sekuat mungkin. Sayangnya, karena pohon itu sangat keras, Beruang sama sekali tak bisa menggoresnya sedikitpun.
“Rupanya menggores pohon ini sama sekali tak mudah dilakukan,” ucap Beruang, “Sepertinya kau akan lebih baik dalam melakukan ini dibandingkan aku.”
“Itu karena aku selalu berlatih berlatih berlatih!” ujar Pelatuk, “Kau akan menjadi lebih mahir dalam melakukan sesuatu kalau terus berusaha melakukannya!”
“Kau benar,” ucap Beruang, kemudian menatap ke pemandangan indah yang ada di sekitarnya.
Sementara itu, Pelatuk kembali melanjutkan pekerjaannya mematuk batang pohon menggunakan paruhnya yang tajam. Karena tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan, Beruang pun menghela napas panjang dan mulai turun secara perlahan dari pohon tersebut.
“Tunggulah sebentar di sini,” ucap Pelatuk dengan sopan menawarkan agar Beruang bisa menikmati pemandangan indahnya jauh lebih lama.
“Namun aku tak ingin menghalangi pekerjaanmu, Pelatuk,” ujar Beruang. “Lagipula, rasanya sangat berisik kalau duduk tepat di sampingmu begini.”
“Tenang saja,” ucap Pelatuk menanggapi, “Sekarang aku sedang beristirahat untuk meregangkan leherku. Karena terlalu banyak mematuk rasanya leherku mulai kaku.”
“Baguslah kalau begitu. Mungkin akan lebih baik kalau aku mengajak Kelinci untuk menikmati pemandangan ini,” ucap Beruang kemudian langsung menundukkan kepalanya dan berteriak memanggil sahabatnya. “Hei, Kelinci! Naiklah kemari! Kau pasti akan menyukainya! Lagipula akan sangat baik untukmu kalau kau mau naik kemari!”
Kelinci Tak Bahagia Sendirian di Bawah Pohon
“Sekarang kau benar-benar ikut-ikutan menjadi gila!” teriak Kelinci dari bawah pohon. “Tidakkah kau tahu kalau Kelinci tidak akan memanjat pohon? Kalau kau mengira aku akan memanjat pohon itu hingga ke puncaknya, itu artinya kau benar-benar lebih gila dibandingkan jutaan biji pohon ek!”
“Apakah kau merasa bahagia sendirian di bawah sana?” tanya Beruang tanpa mempedulikan ucapan sahabatnya sama sekali.
Sebenarnya, Kelinci berniat menjawab ‘Iya’ hanya untuk membuat sahabatnya itu merasa kesal. Namun, jauh di dalam hatinya, ia adalah seekor kelinci yang jujur dan tak bisa berbohong. Oleh karena itu, ia pun menjawab dengan sangat pelan, “Tidak.”
Akhirnya, si Beruang menuruni pohon untuk memastikan jawaban sahabatnya yang tidak terdengar dari puncak pohon. “Bagaimana?” tanyanya setelah sampai di bawah pohon dengan nada mendesak.
“Tidak,” ucap Kelinci dengan suara sedikit lebih kencang, “Aku sama sekali tidak bahagia di bawah sendirian.”
“Sudah kuduga. Tak perlu khawatir karena aku akan memberimu tumpangan,” ujar Beruang seraya menunjuk ke arah punggungnya. “Naiklah ke punggungku kemudian peganganlah yang erat.”
Seperti yang diminta, Kelinci pun naik ke punggung Beruang dan mencengkeram bulu tebal sahabatnya itu untuk berpegangan erat. Sesudahnya, Beruang langsung memanjat pohon yang tinggi itu. Secara perlahan, akhirnya mereka sampai di puncak.
“Apakah kau takut?” tanya Beruang khawatir pada sahabatnya.
“Tidak,” ucap Kelinci, “Apakah kita tak lagi menginjak tanah?”
Beruang pun langsung menolehkan kepalanya ke arah sahabatnya ketika mendengar pertanyaan itu. Betapa gelinya ia ketika menemukan Kelinci rupanya tengah memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Beruang pun terkekeh.
Ilmu Baru yang Didapatkan Kelinci dari Pemandangan
“Coba bukalah kedua matamu dan lihatlah itu,” seru Beruang pada sahabatnya. Secara perlahan, Kelinci pun membuka matanya dan menyaksikan keindahan pemandangan yang terhampar di hadapannya.
“Wow,” ujarnya terkagum-kagum.
“Itulah yang selalu kukatakan setiap kali melihat pemandangan ini,” ujar Pelatuk menanggapi, “Wow wow wow wow wow wow!”
“Hei, lihat itu,” ujar Kelinci lagi. “Ada pegunungan! Dan, tunggu! Ada pegunungan lagi di balik pegunungan! Dan…” Mata kecil kelinci merasa kesulitan untuk fokus pada pemandangan yang jauh di hadapannya. “Terdapat pegunungan lain di balik pegunungan, yang ada di balik pegunungan lainnya!”
Tiba-tiba, pohon itu berayun ketika angin berhembus meniup. Hal itu membuat Kelinci juga ikut berayun dan membuatnya merasa seolah ia adalah bagian dari pohon itu. Sementara pohon itu merupakan bagian dari hutan, dan hutan merupakan bagian dari alam semesta.
“Ini menyenangkan menyenangkan menyenangkan, kan?” tanya Pelatuk penuh semangat.
“Wow,” ucap Kelinci pelan masih dengan kekagumannya, “Selama ini aku mengira kalau dunia begitu kecil dan dipenuhi oleh diriku sendiri. Namun, rupanya dunia ini sangat besar dan sama sekali tak bisa dipenuhi olehku.”
“Benar sekali,” ujar Beruang.
“Benar benar benar,” ulang sang Pelatuk.
“Kalau begitu, sebenarnya masalah-masalahku tidaklah begitu besar,” ujar Kelinci kemudian.
“Sepertinya kau benar,” jawab Beruang seraya tersenyum karena bahagia sahabatnya kini telah menyadari suatu ilmu baru. Setelah puas menikmati pemandangan, mereka berdua pun memutuskan untuk menuruni pohon itu.
“Aku benar-benar bingung,” ujar Kelinci setelah mereka kembali ke bawah pohon, “Sekarang aku merasa tenang dan bahagia.”
“Begitu juga denganku,” lanjut Beruang, “Meskipun sebenarnya selama ini aku memang selalu bahagia.
Menjadi Kelinci yang Bijaksana Selamanya
Sekali lagi, Kelinci menatap ke atas pohon. “Aku benar-benar tak percaya kalau aku telah mempelajari kebijaksanaan dari seekor burung yang memiliki otak berukuran tak lebih besar dari kacang walnut,” ujarnya terheran-heran, “Padahal otaknya itu dia hentak-hentakkan sepanjang hari.”
“Kurasa kau menemukan kebijaksanaan bukan dari dalam diri si Pelatuk,” ujar Beruang.
“Ah! Benar juga! Aku menemukan kebijaksanaan itu dari dalam dirimu, sahabatku!” ucap Kelinci seraya memeluk Beruang penuh kasih sayang.
“Tidak tepat juga,” ujar Beruang, “Karena sebenarnya kau menemukan kebijaksanaan itu dari dalam dirimu sendiri.”
“Luar biasa sekali!” pekik Kelinci kegirangan, “Kini aku akan menjadi seekor kelinci yang tenang, bahagia, dan bijaksana selamanya!” Ia pun kemudian berbaring dengan benar-benar rileks dan bermandikan cahaya matahari yang hangat. Lalu ia mengangkat kedua kakinya dan menempatkannya di atas cangkang kura-kura yang masih terlelap.
“Mungkin tak akan sampai selamanya,” ujar Beruang yang sudah sangat mengenal baik sahabatnya itu. “Terkecuali kau mau melatihnya.”
“Itu adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah kudengar,” elak Kelinci. “Akan kupastikan kalau aku sudah berubah selamanya!”
Dan benar saja ucapan dari Beruang. Tak berapa lama kemudian, Pelatuk yang ada di puncak pohon itu sudah menyelesaikan waktu istirahatnya. Ia pun kemudian meregangkan bulu-bulunya dan mulai kembali menggali lubang yang ingin ia jadikan sebagai sarangnya. Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Setelah terdengar suara itu, Kelinci langsung melonjak dua kali lebih tinggi dari ukuran tubuhnya seraya berteriak dengan kencang.
Berusaha Mengubah Dunia
“Ada apa, sahabatku?” tanya Beruang setelah membuka matanya yang terpejam.
“Aku benar-benar marah!” jawab Kelinci seraya menghentakkan kakinya. “Aku hanya ingin menjadi tenang! Tapi aku merasa marah karena aku marah!” Kemudian ia menendang tubuhnya sendiri hingga terjerembap.
“Kenapa kau justru menendang dirimu sendiri?” tanya Beruang.
“Karena aku merasa kesal pada diriku sendiri,” jawab Kelinci, “Aku kesal karena tak bisa mengubah diriku sendiri!”
“Bagaimana kalau kau mencoba untuk mengubah pemikiranmu?” ujar Beruang menyarankan.
“Mengubah pemikiranku?” tanya Kelinci semakin heran, “Memangnya apa yang salah dengan pemikiranku? Pemikiranku ini sudah cukup sempurna!”
“Bukankah pemikiranmu itulah yang membuatmu tidak merasa bahagia?” tanya Beruang.
“Itu tidak benar!” sanggah Kelinci berpegang pada pendiriannya sendiri. “Dunialah yang membuatku merasa tidak bahagia! Oleh karena itu, aku harus mengubah dunia ini!”
Di waktu yang bersamaan, awan kecil melintas tepat di depan matahari. Dengan penuh kekesalan, si Kelinci langsung mengambil sebuah batu di dekatnya lalu melemparkan batu itu ke arah awan. “Cepatlah berubah, dunia!” teriaknya.
Namun, sama sekali tidak ada perubahan di dunia.
“Mungkin seharusnya kau mengubah caramu memandang dunia menggunakan cara yang berbeda,” saran Beruang. “Mungkin seharusnya kau menjadi seseorang yang lebih menerima.”
“Menerima! Menerima?” ulang Kelinci bertanya-tanya, “Apa maksud dari menerima itu?”
“Maksudnya adalah menerima duni ini sebagaimana adanya,” jawab Beruang dengan penuh kesabaran. “Tak perlu berusaha mengubah apa pun.”
“Tidak bisa!” sentak Kelinci tidak menerima.
Kelinci Mulai Menerima Dunia
Kelinci merasa sangat yakin kalau sahabatnya itu salah. Ia merasa kalau Beruang bertingkah sangat bodoh, cukup berbeda dari dirinya.
Beruang sendiri rupanya merasa sedikit malu dan menatap ke arah kakinya sendiri. Tak lama kemudian, ia menyadari kalau kakinya melakukan sesuatu yang aneh, begitu pula dengan kaki Kelinci. Kaki mereka berdua terlihat tengah mengentak-entah tanah, mengikuti irama patukan dari Burung Pelatuk.
“Tidakkah kau melihat kalau kakimu sudah bisa menerima?” ujar Beruang.
“Tidak!” teriak Kelinci berusaha mengingkari kemudian berteriak ke arah kakinya sendiri, “Dasar kau kaki pengkhianat!” Meskipun begitu, tetap saja kaki itu terus mengentak seirama dengan patukan Pelatuk.
“Sepertinya pikiran dan tubuhmu sedang berlawanan,” ujar Beruang lagi.
“Tentu saja berlawanan!” seru Kelinci menggerutu. “Pikiranku yang cerdas berada di atas sini. Sementara tubuhku yang di bawah sana benar-benar bodoh. Aku sama sekali tidak menginginkan pikiranku yang menawan ini terhubung dengan tubuhku yang bodoh!”
“Tidakkah menurutmu di sanalah letak kesalahanmu?” tanya Beruang dengan penuh kesabaran.
“Salah? Salah? Menurutmu aku salah?” teriak Kelinci semakin kencang seiring dengan emosinya yang semakin meningkat.
“Tidakkah kau ingat apa yang telah kau pelajari di atas pohon tadi?”
“Tentu saja!” jawab Kelinci melipat kedua tangannya di depan dada. Pikirannya kembali ke momen saat ia berayun di salah satu cabang puncak pohon bersama Beruang. Sebagai seorang kelinci yang berukuran sangat kecil di dunia yang sangat besar.
“Wow!” serunya ketika kembali teringat akan momen itu. Di saat yang bersamaan, ia berhenti melawan dunia dan melawan dirinya sendiri. Kelinci pun akhirnya menerima segalanya.
Kelinci pun kemudian berseru dengan penuh kegembiraan, “Wow wow wow!” Bersamaan dengan itu, terdengar suara burung Pelatuk yang seirama, “Tuk! Tuk! tuk!”
Lagu Musim Semi
Dalam irama yang sama, Kelinci menghentakkan kakinya, buk buk buk! Sementara itu, terdengar juga suara dengkur kura-kura yang masih tidur terlelap. Secara bersamaan, mereka menciptakan musik yang terdengar indah dan merdu.
Beruang sendiri merasa sangat senang ketika melihat temannya bahagia. Ia pun mulai bernyanyi dengan lirik yang baru saja ia buat seraya berjalan.
“Musim semi!” ia mulai bernyanyi, “Musim semi adalah musim yang menggembirakan. Menyenangkan!”
Tak lama kemudian, terdengar gemuruh kecil dari awan kecil di atas mereka. Hujan mulai turun perlahan untuk membawa air yang akan menumbuhkan tanaman dan pada akhirnya akan mendatangkan musim semi.
Meskipun begitu, tetap saja Beruang melanjutkan nyanyiannya dan mereka terus melanjutkan tarian mereka. Seolah pikiran dan tubuh mereka semua menyatu. “Musim semi! Musim semi adalah musim yang menyenangkan dan menggembirakan!”
Kemudian beberapa hewan yang ada di sekitar mereka pun keluar dari sarang masing-masing dan berkumpul untuk menari bersama-sama. Yang pertama keluar adalah tikus mondok, kemudian tikus, tak lupa tikus padang rumput juga. Satu per satu, semua hewan di hutan keluar untuk menari bersama dengan musik yang mengagumkan.
Matahari kemudian muncul dari balik awan dan membuat Beruang semakin bersemangat menyanyi, “Musim semi adalah musim yang menyenangkan dan menyilaukan!” Seiring dengan nyanyian itu, para hewan yang telah berkumpul mengetukkan kaki mereka seirama dengan suara ketukan dari burung pelatuk.
Kemudian Beruang membagikan makanan yang ia simpan di dalam guanya pada hewan-hewan yang lain. Ia bahkan tak lupa berbagi juga kepada Serigala agar hewan buas itu tak kelaparan dan akhirnya justru memangsa para penari lain.
Mereka terus saja menari, menyanyi, dan berpesta sepanjang hari hingga tanpa sadar malam telah tiba. Burung pelatuk sendiri sudah selesai mematuk lubang di pohon berkayu keras itu.
“Wah, itu benar-benar pesta terbaik yang pernah ada di dunia,” ucap Kelinci seraya menguap.
“Aku juga merasakan hal yang sama,” ujar Beruang yang juga ikut menguap.
Melihat dengan Perspektif yang Berbeda
“Dan kini aku tak menginginkan pestanya berakhir!” ujar Kelinci kemudian, “Aku benar-benar tidak menyukai ketenangan. Aku ingin agar Pelatuk bisa terus mematuk sepanjang malam! Dan juga sepanjang hari esok! Hingga sepanjang minggu! Dan kalau bisa selamanya!”
“Yah,” ucap Beruang menanggapi dengan mata mengantuk, “Karena sekarang lubangnya sudah selesai, tak lama lagi pasti sarang itu akan dipenuhi oleh pelatuk-pelatuk kecil yang akan tumbuh dengan cepat. Kemudian mereka akan membutuhkan tempat tinggal baru dan akan ada lebih banyak kayu yang dipatuk. Dan tentunya akan ada jauh lebih banyak pesta.”
“Benar juga,” ucap Kelinci juga semakin mengantuk. “Selamat malam, Beruang.”
“Apakaaaahhh sekaraaaang sudah waktuuuunyaaaa tiduuuurrr?” tanya Kura-kura yang mendadak terbangun, “Aku akan membutuhkaaaaaan waktu bertaaaaaahun-tahuuuuuun untuk sampaaaaai di rumaaaaaah…”
“Tak perlu bingung, Kura-kura,” jawab Kelinci seraya menguap, “Kau bisa tidur di liangku kalau kau mau.” Kemudian mereka berjalan bersama-sama menuju liang Kelinci, sementara Beruang masuk ke dalam guanya, dan Pelatuk tidur di dalam sarang barunya. Kura-kura pun akhirnya memutuskan untuk tidur di dekat kelinci.
Ketika semuanya sudah mulai terlelap, mendadak terdengar suara dengkur Beruang dari dalam gua. Dan seperti biasanya, Kelinci yang mendengar suara dengkur beruang dari dalam liangnya mulai merasa marah. Namun, mendadak ia kembali teringat ucapan Beruang.
Mungkin seharusnya aku memandangnya dengan cara yang berbeda, pikir Kelinci. Sebenarnya suara dengkuran itu tidak terlalu kencang, oleh karena itu aku harus berhenti menganggapnya sebagai suara berisik yang menjijikkan. Akan lebih baik jika aku menganggapnya sebagai pengingat bersahabat yang menyenangkan, bahwa temanku si Beruang tengah berada di dekatku.
Benar saja, suara dengkuran itu kini membuat Kelinci merasa bahagia dan hangat. Musim semi benar-benar musim yang menyenangkan. Dan Kellinci pun kemudian tertidur dengan lelap dan tenang.
Unsur Intrinsik Dongeng Kelinci dan Beruang
Setelah membaca kisah dongeng tentang Beruang dan Kelinci di atas, kini kamu juga bisa mengetahui sedikit ulasan seputar unsur intrinsiknya. Di bawah ini sudah kami siapkan ulasan seputar tema, latar lokasi dan waktu, tokoh dan perwatakannya, alur jalannya cerita, dan tentunya tak lupa pesan moral yang bisa didapatkan dari dongengnya.
1. Tema
Jika ditilik dari kisahnya, dongeng Beruang dan Kelinci di atas memiliki tema kesabaran. Hal itu terlihat dari sikap Kelinci yang terlalu mudah marah ketika menemui sesuatu yang tidak ia sukai. Sehingga akhirnya, sahabatnya, si Beruang pun harus mengajarinya untuk menjadi seseorang yang lebih sabar dan mencoba melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.
2. Tokoh dan Perwatakan
Ada beberapa tokoh yang disebutkan dalam cerita Beruang dan Kelinci di atas. Setidaknya ada tiga tokoh utama yang memiliki peran penting sepanjang jalannya cerita, yaitu si Beruang, si Kelinci,dan juga burung Pelatuk.
Beruang digambarkan sebagai sosok hewan yang sabar dan bijaksana. Hal itu dapat terlihat ketika ia terus saja berusaha mengingatkan sahabatnya untuk tidak mudah kesal dan mencoba melihat segala sesuatu melalui sudut pandang yang berbeda. Selain itu, ia juga merupakan sosok hewan yang baik hati dan tidak ragu berbagi makanan kepada teman-temannya yang lain, bahkan kepada Serigala sekalipun.
Sementara itu, Kelinci adalah hewan kecil yang tidak sabaran dan mudah terbakar amarah. Segala sesuatu di dunia ini seolah menjadi musuhnya dan selalu membuatnya kesal. Meskipun begitu, ia mau mendengar ucapan sahabatnya dan pada akhirnya berubah menjadi hewan penyabar dan bijaksana juga.
Burung Pelatuk adalah hewan mungil yang baru datang ke area hutan tempat Beruang dan Kelinci tinggal. Tak banyak yang diceritakan tentangnya selain ia datang untuk membuat sarang di puncak pohon. Namun, ia juga digambarkan sebagai hewan yang mau berbagi pemandangan indah di hadapan sarangnya kepada Beruang dan juga Kelinci.
Selain ketiga hewan tersebut, ada juga beberapa tokoh yang disebutkan meskipun tidak memiliki peran yang cukup signifikan. Di antaranya adalah Kura-kura yang hanya terus tidur, Tikus, Tikus Mondok, Tikus Padang Rumput, dan Serigala yang turut serta bernyanyi juga menari bersama Beruang.
3. Latar
Secara umum, ada beberapa latar lokasi yang disebutkan dalam cerita dongeng Beruang dan Kelinci di atas. Di antaranya adalah hutan belantara tempat para hewan itu tinggal, gua tempat tinggal Beruang, liang rumah si Kelinci, dan juga puncak pohon tempat burung Pelatuk membuat sarangnya.
Sementara itu, latar waktu yang disebutkan sepanjang cerita adalah pagi hari, malam hari, dan juga musim semi yang baru saja dimulai.
4. Alur
Jika ditilik dari kisahnya, cerita dongeng Beruang dan Kelinci ini memiliki alur jenis progresif atau maju. Kisahnya dimulai dari kebahagiaan Kelinci yang menyambut musim semi dengan cara membersihkan liang yang sudah lama ia tinggalkan. Setelah lelah bersih-bersih, ia berniat untuk istirahat dan melanjutkan tidurnya.
Namun, mendadak suara ketukan keras mengganggu istirahatnya. Kelinci pun merasa kesal, ditambah lagi ia sama sekali tak bisa melihat siapakah sumber kebisingan itu. Ia pun kemudian memanggil sahabatnya si Beruang untuk mengecek siapakah yang membuat suara ketukan keras itu. Rupanya, sumber kebisingan itu berasal dari seekor burung Pelatuk yang sedang mematuk batang pohon untuk membuat sarang.
Beruang pun menyarankan pada Kelinci agar, alih-alih marah akan lebih baik jika mereka membantu burung Pelatuk dalam membuat sarang. Namun, Kelinci menolak ide itu. Akhirnya, Beruang naik sendiri ke atas pohon dan menawari burung Pelatuk untuk membuat sarangnya. Rupanya, proses membuat sarang itu tidak mudah.
5. Pesan Moral
Jadi setelah membaca kisahnya, kira-kira apa amanat yang dapat diperoleh dari cerita dongeng persahabatan Beruang dan Kelinci di atas? Pesan moralnya adalah usahakan untuk menjadi seseorang yang sabar dan bijaksana. Jangan menjadi seperti Kelinci yang mudah marah pada hal-hal kecil yang tak perlu. Karena dengan kesabaranmu, kamu akan bisa melihat bahwa segala sesuatu yang awalnya menyebalkan rupanya sangat menyenangkan.
Selain unsur intrinsik, di dalam cerita dongeng Kelinci dan Beruang di atas kamu juga bisa mendapatkan ulasan seputar unsur ekstrinsiknya. Yaitu hal-hal dari luar kisahnya yang turut serta mempengaruhi kisahnya. Di antaranya adalah nilai sosial, nilai budaya, dan juga nilai moral.
Fakta Menarik tentang Dongeng Kelinci dan Beruang
Jangan kemana-mana dulu karena di artikel ini kami juga telah menyiapkan ulasan tentang fakta menarik seputar cerita dongeng Beruang dan Kelinci. Kalau penasaran, langsung saja simak ulasannya di bawah ini:
1. Ada Beberapa Serial yang Berbeda
Kisah dongeng tentang Kelinci dan Beruang di atas berasal dari salah satu cerita yang dibuat oleh Julian Gough dan diilustrasikan oleh Jim Field. Dongeng tersebut rupanya tidak hanya ada satu macam cerita juga. Selain kisah di atas yang mengajarkan tentang kesabaran dan kebijaksanaan, ada juga beberapa kisah lainnya yang tak kalah menariknya.
Jika kisah di atas berdasarkan serial yang berjudul The Pest in the Nest (Gangguan di Naungan), ada juga kisah lain dari serial yang berjudul Attack of the Snack (Serangan Makanan Ringan) dan Rabbit’s Bad Habits (Kelinci dan Kebiasaan Buruknya).
Pada kisah dongeng yang berjudul Attack of the Snack (Serangan Makanan Ringan) diceritakan bahwa Kelinci dan Beruang memiliki teman baru yang bernama Burung Hantu. Kelinci sangat takut pada hewan itu karena ia sering mendengar cerita buruk dan mengerikan tentang Burung Hantu. Jika kamu membacakan kisah ini pada buah hati, kamu bisa mengajarkan tentang persahabatan, menghargai teman, dan kira-kira apa yang bisa kalian lakukan dengan bluberi.
Sementara Rabbit’s Bad Habits (Kelinci dan Kebiasaan Buruknya) menceritakan tentang asyiknya membuat manusia salju bersama-sama. Namun, dengan tantangan longsor salju dan serigala lapar yang menghalangi jalan Kelinci dan Beruang, pada akhirnya mereka pun mulai menyadari betapa pentingnya keberadaan seorang sahabat di sisi mereka.
Selain tiga serial yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui penerbit Elex Kids itu, ada juga dua serial lain yang tidak kalah serunya. Yaitu A Bite in the Night dan A Bad King is a Sad Thing.
2. Versi Cerita yang Lain
Selain kisah dongeng tentang Kelinci dan Beruang yang menarik di atas, sebenarnya ada beberapa cerita lain yang tidak termasuk dalam serial karya Julian Gough dan Jim Field. Biasanya, kisahnya jauh lebih sederhana tapi tetap mengandung pesan moral yang baik. Satu-satunya persamaan dari kisah tersebut adalah, tokoh utama dalam cerita tersebut sama-sama Kelinci dan Beruang.
Pada salah satu kisahnya, diceritakan kalau Beruang dan Kelinci bersahabat baik. Uniknya, persahabatan itu dimulai akibat Kelinci beberapa kali sering mencuri wortel dari kebun milik seorang kakek petani. Karena kesal, si kakek pun mulai menangkap perangkap. Benar saja, keesokan paginya si kelinci tertangkap dalam perangkap milik kakek dan langsung berteriak meminta pertolongan.
Untungnya, saat itu Beruang sedang lewat di dekat kebun wortel itu dan mendengar teriakan itu. Dengan kebaikan hatinya, Beruang pun menolong si Kelinci kemudian menasehati hewan bertelinga panjang itu untuk tak lagi mencuri wortel di kebun milik kakek dan mengajaknya untuk mencari makan bersama. Sejak saat itu, persahabatan mereka pun terjalin dengan baik.
Membacakan Kisah Kelinci dan Beruang Sebagai Dongeng Sebelum Tidur untuk Buah Hati
Jadi bagaimana? Sudah puas membaca cerita dongeng Beruang dan Kelinci di atas? Kisahnya menarik dan penuh dengan pesan moral yang cocok untuk diajarkan pada buah hati tersayang, kan? Kalau mau, kamu bisa membacakan kisahnya sebagai dongeng pengantar tidur untuk si kecil.
Kalau masih ingin mencari kisah lain yang tak kalah menariknya, langsung saja telusuri kanal Ruang Pena di PosKata ini. Di sini kamu tak hanya bisa menemukan dongeng-dongeng fabel yang sarat akan pesan moral, tapi juga ada cerita tentang Putri dan Pangeran Kerajaan, kisah 1001 malam Abu Nawas, dan asal-usul beberapa kota atau wilayah yang ada di sepenjuru Indonesia.
Selain kisah dongeng, di PosKata ini kamu juga bisa menemukan berbagai macam artikel lain yang tak kalah menariknya. Ada beberapa inspirasi kata-kata yang bisa kamu kirimkan pada orang-orang yang kamu sayang, ada juga beberapa kumpulan makna kata-kata di dalam bahasa Indonesia yang bisa menambah kosa katamu, dan juga berbagai macam informasi seputar sejarah negeri kita tercinta. Seru dan informatif, bukan?