Ada beragam legenda dari Yogyakarta yang menarik untuk disimak. Salah satunya adalah cerita sejarah tentang KI Ageng Mangir. Agar lebih mengetahui siapa dia, langsung saja simak ulasannya di bawah ini!
Ada banyak legenda menarik dan penuh pesan moral dari Yogyakarta yang bisa dijadikan dongeng sebelum tidur. Salah satunya adalah cerita sejarah tentang seorang tokoh masyarakat bernama Ki Ageng Mangir.
Ia merupakan seorang pemimpin di wilayah Mangir, sebuah dusun yang kini berada di daerah Kabupaten Bantul. Bisa dibilang, ia adalah musuh sekaligus menantu dari Raja Kerajaan Mataram yang pertama, Panembahan Senopati. Lho, kok bisa, ya?
Daripada cuma penasaran, langsung saja simak ulasan yang telah kami siapkan di bawah ini. Selain cerita sejarahnya, kamu juga bisa mengetahui ulasan seputar unsur intrinsik dan fakta menariknya. Selamat membaca!
Cerita Rakyat Ki Ageng Mangir
Pada zaman dahulu kala, ketika era Kesultanan Demak dan Pajang berakhir, muncullah Kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, putra dari Ki Ageng Pemanahan. Dalam menjalankan kerajaan tersebut, Panembahan Senopati dibantu oleh patihnya yang sangat cerdas mengatur strategi, Ki Juru Martani.
Sebagai seorang raja, Panembahan Senopati ingin bisa menguasai seluruh wilayah Mataram. Sayangnya, setelah beberapa kali mencoba, ia masih saja belum mendapatkan hasil yang ia inginkan. Karena bagaimanapun juga, beberapa penguasa wilayah tidak mau tunduk pada kekuasaannya. Salah satu di antaranya adalah Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Pria tersebut merupakan penguasa daerah Mangir, sebuah desa perdikan atau desa yang tidak memiliki kewajiban membayar upeti kepada Kerajaan Mataram. Desa itu terletak sekitar 30 km dari Mataram, di dekat pertemuan Sungai Progo dan Sungai Bedok, yang kini terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Baginya, Desa Mangir tidak memiliki kewajiban untuk harus tunduk pada kekuasaan Mataram.
Oleh karena itu, bagi Panembahan Senopati, Desa Mangir dan seluruh warga dan pemimpinnya adalah duri dalam daging yang harus segera disingkirkan. Ia pun sampai berunding dengan Ki Juru Martani untuk membuat rencana menyerang Mangir.
Namun, sang patih menolak rencana tersebut. Menurutnya, Ki Ageng Mangir bukanlah lawan yang sepadan untuk Panembahan Senopati. Sebagai seorang keturunan Majapahit, pemimpin Desa Mangir tersebut tentu memiliki banyak pendukung di daerahnya. Belum lagi, ia memiliki tombak sakti bernama Kyai Baru Klinthing yang tidak akan bisa dikalahkan oleh Panembahan Senopati dengan mudah.
Rencana Besar dan Berbahaya
“Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan, Patih?” tanya Panembahan Senopati.
Ki Juru Martani tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Ia berpikir keras mencari siasat yang lebih halus, licik, dan dipastikan bisa memenangkan sang raja.
“Menurut hamba, kita harus menggunakan sebuah siasat, Baginda,” ucap Ki Juru Martani, “Kita bisa menggunakan siasat apus karma atau tipu daya halus, karena ia sangat menyukai tarian ledhek atau ronggeng. Jika Baginda berkenan, kita bisa mengutus putri Baginda, Sekar Pembayun, untuk menyamar sebagai penari kemudian pergi ke Mangir,”
“Untuk apa kita mengirim Sekar Pembayun?” tanya Panembahan Senopati.
“Dengan kecantikannya, ia pasti bisa memikat sang pemimpin Desa Mangir hingga akhirnya mereka menikah. Jika itu terjadi, berarti penguasa Mangir telah menjadi menantu Baginda. Mau tak mau, ia harus menghadap dan menghormati Mataram,” jawab Ki Juru Martani.
Jawaban tersebut membuat Panembahan Senopati tertegun. Pada satu sisi, ia merasa khawatir karena rencana tersebut bisa mengancam keselamatan buah hatinya. Namun, di sisi lain, rencana tersebut sangat sempurna untuk bisa menjaga kewibawaan Mataram. Setelah memikirkannya matang-matang, Panembahan Senopati pun menyetujui rencana tersebut.
Tanpa menunggu lama, ia langsung memanggil putrinya, Sekar Pembayun, dan mengungkapkan rencananya. Sebagai seorang putri yang taat pada orang tuanya, Sekar Pembayun tak bisa menolak perintah itu.
Baca juga: Dongeng Kelinci dan Kura-Kura Beserta Ulasannya yang Seru Tuk Dibacakan Pada Si Kecil
Persiapan Pelaksanaan Rencana
Sebelum memberangkatkan putrinya ke Mangir, Panembahan Senopati membentuk sekelompok seni musik ledhek yang terdiri dari para punggawa terkemuka di Mataram. Di antaranya ada Adipati Martalaya yang ditunjuk sebagai dalang, Ki Jayasupanta sebagai penabuh gamelan, dan Ki Suradipa sebagai penabuh gendang.
Masing-masing dari anggota ledhek tersebut memiliki nama samaran. Adipati Martalaya menggunakan nama Ki Dalang Sandiguna dan Ki Jayasupanta menjadi Ki Sandisasmita. Tak hanya itu, Sekar Pembayun pun menggunakan nama samaran Waranggana. Ia berpura-pura menjadi seorang penari sekaligus putri dari Ki Dalang Sandiguna yang dikawal oleh seorang bupati bernama Nyai Adirasa.
Grup kesenian ledhek itu harus berlatih selama beberapa saat dahulu agar terlihat lebih meyakinkan. Panembahan Senopati pun menyiapkan peralatan berupa gamelan dan wayang, yang nantinya akan dibawa ke Mangir juga.
Setelah persiapan yang matang, grup kesenian itu memulai perjalanannya menuju Mangir. Dalam perjalanan, mereka selalu mengadakan sebuah pertunjukan di setiap desa yang dilewati. Hal tersebut membuat nama mereka menjadi semakin dikenal di setiap desa hingga sampai ke Desa Mangir.
Oleh karena itu, ketika mereka tiba di tujuan mereka, grup kesenian palsu itu disambut dengan suka cita oleh Ki Ageng Mangir. Apalagi, kebetulan saat itu tengah diadakan merti dusun atau bersih desa, sebuah pesta rakyat untuk mensyukuri hasil panen yang melimpah.
Sang pemimpin desa langsung meminta Ki Dalang Sandiguna untuk mengadakan pertunjukan di halaman rumahnya. Ia pun mengundang para warga untuk menyaksikan pertunjukannya bersama.
Cinta Pada Pandangan Pertama
Ketika pertunjukan ledhek-nya dimulai, Ki Ageng Mangir terlihat sangat bahagia. Terutama saat melihat gerak tari Sekar Pembayun yang lemah gemulai dan suara merdunya.
Seperti dugaan Ki Juru Martani, sang pemimpin desa langsung terpikat dengan kecantikan Sekar Pembayun dan berniat untuk meminang sang putri. Padahal, selama ini belum ada satu wanita pun yang bisa memikat hatinya.
Ketika pertunjukan berakhir, ia langsung menemui Ki Dalang Sandiguna. “Ki Dalang, siapakah wanita cantik penari itu?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ia adalah Waranggana, Tuan, putri hamba,” jawab Ki Dalang Sandiguna. “Jika berkenan, perbolehkanlah aku meminangnya, Ki,” pinta Ki Ageng Mangir.
Tentu saja hal yang diharapkan itu langsung mendapatkan persetujuan Ki Dalang Sandiguna. Pesta pernikahan pun langsung direncanakan dan dilaksanakan sesegera mungkin.
Sejak saat itu, Waranggana menjadi bagian dari keluarga Mangir. Sebaliknya, Ki Ageng Mangir tanpa sadar telah menjadi bagian dari keluarga Mataram. Setelah pesta pernikahan selesai diadakan, rombongan Ki Dalang Sandiguna yang kini telah menyelesaikan tugasnya pun kembali ke Mataram.
Baca juga: Yuk, Baca Kisah Seru Damarwulan Asal Jawa Timur dan Ulasan Menariknya di Sini!
Rumah Tangga Sekar Pembayun
Selama berbulan-bulan, Sekar Pembayun atau Waranggana tinggal di Desa Mangir dengan penuh kebahagiaan. Ia bahkan tengah hamil tua dan sangat menyayangi sang suami.
Namun, bagaimanapun juga, ia masih memiliki sebuah tugas dari sang ayah. Yaitu membawa suaminya ke Mataram untuk bertemu dengan Panembahan Senopati. Sang putri pun berusaha mencari momen yang tepat untuk mengungkapkan jati dirinya.
Pada suatu malam, ketika suaminya tengah terlelap, Sekar Pembayun mengambil tombak Kyai Baru Klinthing milik suaminya. Kemudian, ia mengusapkan sampur sonder atau ikat pinggang yang ia gunakan untuk menari ke tombak tersebut. Hal itu membuat kesaktian tombak pusaka itu berkurang.
Sesudahnya, ia membangunkan sang suami untuk membongkar jati diri yang sebenarnya.
“Kakanda, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu. Namun, kumohon Kanda berjanji tidak akan marah setelah mendengarnya!” pinta Sekar Pembayun dengan lembut.
“Katakan saja, Dinda. Aku berjanji tidak akan marah padamu,” ucap sang suami.
“Sebenarnya namaku bukan Waranggana, Kanda. Aku adalah Putri Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati dari Mataram!”
Pengakuan tersebut tentunya membuat Ki Ageng Mangir terkejut. Ia tak pernah menyadari kalau rupanya wanita yang ia cintai adalah putri dari musuh terbesarnya. Pikiran dan hatinya pun menjadi tidak karuan. Ditambah lagi, Putri Sekar Pembayun mengajaknya untuk sowan atau menghadap ke Mataram. Tujuannya adalah untuk menunjukkan pengabdian dan baktinya sebagai seorang menantu.
Ki Ageng Mangir semakin merasa seperti tengah berada di persimpangan jalan. Namun, ia tak memiliki alasan untuk menolak permintaan istrinya. Akhirnya, meskipun dengan berat hati, Ki Ageng Mangir setuju untuk sungkem kepada Panembahan Senopati di Mataram.
“Baiklah. Demi cintaku padamu dan rasa hormatku kepada mertua, aku akan sowan ke Mataram,” ucap Ki Ageng Mangir dengan penuh keyakinan.
Menuju ke Mataram
Keesokan harinya, Putri Sekar Pembayun berangkat ke Mataram bersama suami, beberapa kerabat, dan pengawalnya. Ki Ageng Mangir tak lupa membawa tombak pusakanya, Kyai Baru Klinthing.
Rombongan ini berjalan selama berhari-hari menuju Kotagede, pusat dari Kerajaan Mataram. Sesekali, mereka berhenti di sebuah desa untuk beristirahat dahulu.
Suatu hari, saat tengah beristirahat di sebuah desa, Ki Ageng Mangir mendengar sebuah bisikan dari tombak pusakanya. “Kembalilah ke Mangir, Tuan! Jika Anda melanjutkan perjalanan ke Mataram, nyawa Tuan di-pal (dipastikan) akan melayang!”
Meskipun begitu, Ki Ageng Mangir tetap berniat untuk meneruskan perjalanannya. Ia tak peduli jika perjalanannya berisiko sekalipun. Namun sebelum meninggalkan desa tersebut, ia menamai wilayah itu sebagai Palbapang, yang berasal dari kata pal atau ngepal yang diucapkan tombak pusakanya.
Setelah beberapa lama melanjutkan perjalanannya, rombongan ini kembali beristirahat di sebuah desa. Saat beristirahat, suami dari Sekar Pembayun itu kembali teringat akan bisikan tombak pusakanya. Ia merasa ngemban mentul atau bimbang untuk melanjutkan perjalanannya atau tidak.
Bagaimanapun juga, Panembahan Senopati adalah musuhnya. Namun, di sisi lain ia ingin menunjukkan baktinya sebagai seorang menantu yang baik. Meskipun merasa ragu, Ki Ageng Mangir tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.
Sekali lagi, sebelum melanjutkan perjalanannya, ia memberi nama daerah tersebut menjadi Bantul, diambil dari suasana hatinya yang ngemban mentul.
Baca juga: Cerita Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, Sebuah Perlawanan terhadap Kebatilan!
Tiba di Mataram
Ketika sampai di Mataram, rombongan ini mendapatkan sambutan meriah dari para kerabat Istana. Kerajaaan Mataram juga mengadakan pesta yang disebut dengan ngunduh mantu. Di depan keraton, sudah disiapkan tarub atau teratak yang dijaga oleh Ki Juru Martani.
Saat Ki Ageng Mangir hendak melewati tarub tersebut, Ki Juru Martani menghentikannya. Rupanya, pesta ngunduh mantu sudah diatur sedemikian rupa untuk menjebak Ki Ageng Mangir.
“Maaf, Ki, menurut hamba sangat tidak sopan jika seorang menantu sungkem kepada mertuanya dengan membawa senjata,” ucap Ki Juru Martani.
Bukannya merasa kesal, Ki Ageng Mangir langsung melepas semua senjata yang ia bawa, termasuk Kyai Baru Klinthing. Kemudian, ia dan istrinya sungkem kepada Panembahan Senopati.
Sang raja sendiri memberikan sambutan yang hangat pada putri dan menantunya. Tanpa sadar, keramahtamahan ini membuat sang menantu terlena. Ki Ageng Mangir sampai duduk bersimpuh dan bersembah sebagai bentuk penghormatan.
Akhir Hidup
Ketika kepala Ki Ageng Mangir nyaris menyentuh lantai, mendadak Panembahan Senopati meraih kepala menantunya dan membenturkannya ke kursi singgasana. Suasana sekitar pun menjadi gaduh. Ki Ageng Mangir yang kepalanya baru saja dibenturkan ke kursi yang disebut Watu Gilang itu langsung tewas.
Putri Sekar Pembayun yang menyaksikan seluruh peristiwa tersebut dalam jarak dekat langsung menangis histeris. Penyesalan pun muncul di dalam dadanya. Kunjungannya ke Mataram pada akhirnya hanya menjadi sebuah petaka atas gugurnya suami yang ia cintai, Ki Ageng Mangir.
Jenazah Ki Ageng Mangir kemudian dibagi menjadi dua karena separuh jiwanya dianggap sebagai keluarga keraton dan separuh sisanya sebagai musuh mataram. Bagian atas jasad Ki Ageng Mangir dimakamkan di dalam kompleks keraton Yogyakarta, sementara bawahnya bermakam di batas wilayah keraton dengan daerah sekitarnya.
Sementara itu, singgasana Panembahan Senopati yang bernama Watu Gilang kini menjadi sebuah situs bersejarah di Kotagede. Kabarnya, cekungan pada salah satu sisi batu yang berwarna hitam tersebut merupakan akibat dari benturan kepala Ki Ageng Mangir.
Baca juga: Cerita Asal Usul Danau Kembar yang Berada di Solok, Sumatera Barat, Beserta Ulasannya
Unsur Intrinsik Cerita Sejarah Ki Ageng Mangir
Setelah menyimak ringkasan cerita sejarah Ki Ageng Mangir, selanjutnya kamu bisa mengetahui ulasan singkat tentang unsur intrinsiknya. Berikut ini ulasannya:
1. Tema
Tema atau inti cerita dari sejarah Ki Ageng Mangir ini adalah tentang perebutan kekuasaan. Panembahan Senopati menginginkan kekuasaan tunggal atas daerah-daerah yang terdapat di daerah wilayah Mataram. Namun, rupanya Ki Ageng Mangir tak ingin tunduk di bawah kekuasaan Mataram. Akhirnya, Panembahan Senopati pun melakukan cara licik untuk menundukkan desa di daerah Kabupaten Bantul itu.
2. Tokoh dan Perwatakan
Ada beberapa tokoh penting yang disebutkan di dalam cerita sejarah ini, di antaranya adalah Ki Ageng Mangir Wanabaya, Panembahan Senopati, Sekar Pembayun, dan Ki Juru Martani. Tokoh antagonisnya adalah Panembahan Senopati dan Ki Juru Martani.
Sebagai tokoh antagonis, Panembahan Senopati merupakan seorang pemimpin yang serakah. Ia selalu berusaha memperluas daerah kekuasaannya tanpa mempedulikan dampak jangka panjangnya. Demi melancarkan usahanya itu, ia tak ragu-ragu melakukan cara licik yang harus mengorbankan putrinya sendiri.
Begitu pula dengan Ki Juru Martani. Secara umum, ia merupakan seorang patih yang cerdas dalam mengatur strategi. Namun, sering kali strateginya penuh dengan kelicikan yang harus mengorbankan Sekar Pembayun.
Di sisi lain, Ki Ageng Mangir Wanabaya merupakan pemimpin yang bijaksana. Selain itu, ia juga merupakan sosok yang penyayang dan pemaaf. Ketika mengetahui kalau selama ini ia dibohongi oleh istrinya, ia tetap memaafkan wanita yang dicintainya itu. Tak hanya itu, ia juga seorang menantu yang santun. Meskipun mengetahui bahwa sang mertua adalah musuh bebuyutannya, tapi tetap saja ia sowan ke Mataram.
Putri Panembahan Senopati, Sekar Pembayun memiliki sifat lembut, santun, dan penyayang. Namun, ia juga selalu menuruti perintah kedua orang tuanya. Meskipun ia merasa berat membawa suaminya untuk bertemu dengan ayahnya, tapi ia tetap melakukan perintah itu.
3. Latar
Secara umum, ada dua latar lokasi yang disebutkan di dalam kisah ini, yaitu Kerajaan Mataram dan Desa Mangir yang berlokasi di Kabupaten Bantul. Selain itu, beberapa kali juga disebutkan desa-desa kecil yang terletak di antara Desa Mangir dan Kotagede.
Sementara latar waktunya adalah pada masa kepemimpinan Panembahan Senopati, raja pertama Kerajaan Mataram. Secara detail, latar yang disebutkan adalah bertepatan dengan merti dusun atau bersih desa, yaitu pesta panen ketika Ki Ageng Mangir bertemu dengan Sekar Pembayun dan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
4. Alur
Cerita sejarah Ki Ageng Mangir ini menggunakan alur maju atau progresif. Kisahnya dimulai dari upaya Panembahan Senopati menguasai seluruh wilayah Mataram secara merata. Satu-satunya daerah yang tidak bisa ia kuasai adalah Desa Mangir yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Ia pun berusaha melakukan taktik licik dengan mengirimkan putrinya untuk memikat sang pemimpin Desa Mangir. Beberapa bulan setelah mereka menikah, sang putri pun membongkar jati dirinya dan meminta suaminya untuk sowan menemui Panembahan Senopati. Kisahnya berakhir ketika Ki Ageng Mangir meninggal di tangan mertuanya sendiri.
5. Pesan Moral
Ada banyak pesan moral yang bisa kamu petik dari cerita sejarah Ki Ageng Mangir. Salah satunya adalah jangan pernah menjadi orang yang serakah dan tamak. Karena bagaimanapun juga, kekuasaan hanya akan menghancurkan hidup dan jiwamu tanpa ampun. Apalagi kalau kamu sampai harus mengorbankan orang-orang terdekatmu demi meraihnya.
Lagipula, kekuasaan dan materi tidak akan membawa kebahagiaan abadi. Yang ada justru membuatmu tertekan dan takut akan adanya orang yang merebutnya darimu. Lama kelamaan, kamu justru menjadi orang yang terlihat menyedihkan.
Selain unsur intrinsik, jangan lupa juga akan unsur ekstrinsik dari cerita sejarah Ki Ageng Mangir ini. Biasanya, unsur tersebut berhubungan dengan latar belakang penulis, masyarakat sekitar, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Baca juga: Legenda Asal Usul Danau Maninjau dan Ulasannya, Kisah Cinta Sepasang Kekasih yang Tak Direstui
Fakta Menarik tentang Cerita Sejarah Ki Ageng Mangir
Selanjutnya, kamu bisa mengetahui juga beberapa fakta menarik seputar cerita sejarah Ki Ageng Mangir. Berikut ini informasinya:
1. Gudeg Manggar
Gudeg merupakan salah satu kuliner yang cukup terkenal dari Yogyakarta. Biasanya, masakan tersebut terbuat dari nangka muda yang dimasak. Namun, tahukah kamu kalau rupanya ada gudeg yang tidak berasal dari nangka muda?
Adalah gudeg manggar (ꦒꦸꦝꦼꦒ꧀ꦩꦁꦒꦂ), gudeg yang berbahan dasar bunga kelapa muda yang dimasak. Selain perbedaan bahan dasar, cita rasanya pun agak berbeda. Tidak seperti gudeg nangka muda yang umumnya memiliki rasa manis, gudeg manggar rasanya cenderung gurih.
Lho, lalu apa hubungannya gudeg manggar ini dengan Ki Ageng Mangir? Rupanya, menurut kisahnya, gudeg yang terkenal di kalangan masyarakat Bantul ini merupakan wujud dari perlawanan sang pemimpin Desa Mangir kepada Kerajaan Mataram. Sebegitu tak maunya mengikuti aturan dari Mataram, ia sampai membuat gudeg yang berbahan dasar berbeda. Pernahkah kamu mencobanya?
2. Kisah Ki Ageng Mangir dengan Sunan Kalijaga
Kamu mungkin pernah mendengar sekilas kalau Ki Ageng Mangir Wanabaya ada hubungannya dengan Sunan Kalijaga. Rupanya, sebenarnya tidak ada kisah secara langsung di antara mereka berdua. Satu-satunya cerita yang ada adalah antara ayah dari pemimpin Desa Mangir, yaitu Ki Ageng Wanabaya, yang ingin berguru kepada Sunan Kalijaga.
Konon, karena terkesima dengan kemampuan Sunan Kalijaga, Ki Ageng Wanabaya sampai meninggalkan keluarganya sendiri, termasuk putranya, demi berguru. Berbagai macam hal rela ia lakukan, termasuk bertapa di gunung merbabu demi bisa menyempurnakan ilmunya.
Baca juga: Legenda Asal Mula Desa Trunyan dan Ulasan Menariknya, Alasan di Balik Cara Pemakaman yang Unik
Cerita Sejarah Ki Ageng Mangir sebagai Dongeng Sebelum Tidur
Jadi bagaimana? Menarik bukan cerita sejarah Ki Ageng Mangir yang kami siapkan di artikel ini? Cocok digunakan sebagai dongeng sebelum tidur yang penuh dengan pesan moral, bukan?
Kalau masih mencari cerita rakyat yang berasal dari Yogyakarta lainnya, cek saja artikel-artikel di PosKata. Di sini kamu juga bisa mendapatkan cerita asal usul Nyi Roro Kidul dan kisah Roro Jonggrang. Selamat membaca!