
Membaca cerita rakyat Nusantara bisa menjadi salah satu alternatif pelepas penat. Salah satu cerita rakyat yang kisahnya seru adalah Si Kelingking dari Bangka Belitung. Kisah serunya bisa kamu simak di artikel ini. Selamat membaca!
Ada beragam cerita rakyat dari Bangka Belitung. Selain legenda Pulau Kapal dan Batu Balai, Bangka Belitung juga punya cerita rakyat Si Kelingking. Kamu sudah pernah dengar kisahnya atau belum, nih?
Secara singkat, cerita rakyat Si Kelingking ini mengisahkan tentang sepasang suami istri yang tak kunjung mempunyai momongan. Sepanjang malam, mereka memohon pada Tuhan agar mendapatkan anak, walau pun bertubuh kecil juga tak masalah. Doa mereka pun terkabulkan. Namun, anak mereka hanya sebesar kelingking.
Lantas, apa yang kan terjadi selanjutnya? Apakah pasangan suami dan istri tersebut tetap akan bersyukur? Kalau penasaran, tak perlu berlama-lama lagi, yuk, simak langsung cerita rakyat Si Kelingking yang ada di artikel ini! Selain kisahnya, kami juga telah memaparkan ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya.
Cerita Rakyat Si Kelingking dari Bangka Belitung
Alkisah, pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal di sebuah gubug sempit di Pulau Belitung. Mereka hidup sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sang suami mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar. Sementara sang istri bekerja di ladang dengan penghasilan yang tak seberapa.
Selama bertahun-tahun menikah, mereka sama sekali belum pernah memiliki anak. Padahal, sepanjang malam mereka selalu berdoa agar mendapatkan momongan,
“Ya, Tuhan! Karuniakanlah kami seorang anak,” doa sang istri pada suatu sepertiga malam.
“Jika Tuhan memberi anak, kami janji akan merawatnya dengan sepenuh hati dan menyayanginya dengan kasih yang penuh,” ucap sang suami.
Setelah berdoa, pasangan suami istri tersebut pun menatap nanar pada bintang yang bersinar di langit gelap melalui jendela kamar mereka. “Seandainya kita punya anak, hidup ini pasti tak terasa begitu sepi,ya, Bu,” ucap sang suami.
“Benar sekali, Suamiku. Kebahagiaan ini terasa kurang lengkap tanpa kehadiran anak. Tuhan kapan mengabulkan doa kita, ya?” ucap sang istri bersedih.
Waktu terus berlalu, tapi doa mereka tak kunjung Tuhan kabulkan. “Kita sudah semakin tua, Suamiku. Apakah ini tandanya kita tak bisa memiliki momongan?” ucap sang istri.
“Kita harus bersabar dan jangan pernah berhenti berdoa. Kita tak akan tahu doa mana yang didengar oleh Tuhan,” jawab sang suami mencoba menenangkan sang istri.
Doa yang Terkabulkan
Pada suatu malam, turunlah hujan yang sangat deras. Petir menyambar-nyambar. Sang istri pun terbangun. Ia lalu berdoa pada Tuhan.
“Tuhan, kali ini hamba tak muda lagi. Mohon kabulkanlah permintaan hamba. Berikan anak dalam keluarga ini, walau sekecil kelingking pun tak masalah, Tuhan,” ucap sang istri sambil menangis.
Mendengar istrinya menangis, sang suami pun terbangun dan turut berdoa. “Tuhan, kabulkanlah doa kami. Jika Kau memberi momongan, apa pun bentuknya, kami berjanji akan menjaganya dengan sepenuh hati dan mencintainya dengan kasih yang penuh,” ucap sang suami yang juga menangis.
Rupanya, doa tersebut dikabulkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Sang istri mengandung tak lama setelah doa itu dipanjatkan. Ia pun berhenti bekerja di ladang dan tak ingin melakukan pekerjaan berat.
Sembilan bulan pun telah berlalu. Sudah waktunya untuk wanita tua itu melahirkan seorang anak. Namun, alangkah terkejutnya mereka karena bayi yang lahir sangat kecil. Ukurannya hanya sebesar kelingking.
“Suamiku, kenapa anak kita sangat kecil?” tanya sang istri sedih.
Mendengar pertanyaan istrinya, lelaki itu hanya bisa termenung. Ia pun tak menyangka akan mendapatkan seorang anak yang sangat kecil. Lalu, ia pun teringat dengan doa pada malam badai.
“Istriku, bukankah kita pernah berdoa pada Tuhan jika tak masalah punya anak sebesar kelingking?” tanya sang suami.
“Ah, benar sekali, Suamiku. Tuhan ternyata mendengar doa kita itu,” ucap sang istri dengan wajah sedikit kecewa.
Merasa Kewalahan
Karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil, anak pasangan suami istri itu diberi nama si Kelingking. Mereka menjaga dan merawat sang anak dengan baik dan sepenuh hati.
Mereka pun merasa sangat bahagia karena pada akhirnya memiliki anak. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau dan galau.
Meski badannya kecil, si Kelingking makan dengan sangat rakus. Ia bahkan bisa menghabiskan secanting nasi dan kadang masing kurang.
“Anakku, tidak bisakah kau mengurangi porsi makanmu? Apa kau tak takut perutmu yang kecil itu kesakitan karena makan terlalu banyak?” tanya sang ibu.
“Tapi, aku masih merasa sangat lapar, Bu. Aku tak bisa berhenti makan,” ucap si Kelingking sambil mengunyah makanannya.
Setiap hari, sang ayah dan ibu bingung karena penghasilan mereka tak cukup untuk memenuhi nafsu makan si Kelingking. Terkadang, sang ibu rela hanya makan sesuap nasi demi memberi makan untuk anaknya.
Pada suatu malam, di saat Kelingking terlelap, sang ibu mengeluh pada suaminya. “Suamiku, kita tak bisa terus-terusan begini. Aku tak sanggup bila harus memenuhi kebutuhan si Kelingking,” ucapnya menangis.
“Apakah kita harus menyingkirkannya? Aku juga sudah tak sanggup merawatnya. Dengan tubuhnya yang sekecil itu, ia pasti tak bisa membantu kita bekerja,” ucap lelaki tua itu.
“Tapi, bagaimana caranya menyingkirkan si Kelingking?” tanya sang istri penasaran.
Mereka lalu terdiam sejenak untuk memikirkan cara yang tepat menyingkirkan Kelingking. Bukan anak yang seperti ini yang mereka pinta. Tapi, seorang anak yang bertubuh normal dan bisa membantu mereka.
Menyingkirkan si Kelingking
Tak lama kemudian, sang ayah pun mendapatkan ide untuk menyingkirkan anaknya. “Aku punya ide cemerlang, Istriku!” ucap sang ayah dengan tatapan berbinar.
“Ide apa itu? Aku sudah tak sabar ingin mendengarnya,” jawab sang ibu.
“Besok pagi aku akan mengajak si Kelingking pergi ke hutan. Lalu, aku akan membuangnya di tengah hutan dan menimpanya dengan sebatang kayu besar. Aku akan berpura-pura jika semua itu adalah kecelakaan,” jelas lelaki tua itu.
Ibu si Kelingking pun mengangguk mendengar ide itu. Ia tak peduli bila harus menyakiti anaknya. Yang pasti, ia tak sanggup lagi merawat anaknya.
Keesokan harinya, sang ayah pun mengajak si Kelingking pergi ke hutan. “Anakku, hari ini ayah akan mengajakmu ke hutan untuk menebang pohon besar. Kau harus membantu ayah,” ucapnya.
“Pohon besar untuk apa, Yah?” tanya lelaki kecil itu penasaran.
“Ayah ingin memperbaiki rumah kita,” ucap sang ayah berbohong.
Lalu, mereka pun berangkat ke hutan. Si Kelingking naik ke pundak sang ayah dan berangkat dengan hati yang gembira. Ia tak tahu bila sang ayah akan menyakitinya.
Setibanya di hutan, sang ayah pun berdiri di depan pohon yang besar. “Kamu berdirilah di depan pohon ini dan jangan pergi ke mana-mana, ya. Ayah, akan menebang pohonnya,” ucap sang ayah sambil menurunkan anaknya.
“Baik, Ayah!” ucap si Kelingking dengan semangat tanpa mengetahui kejadian buruk yang akan menimpanya.
Tanpa disadari Kelingking, ayahnya ternyata menebang pohon yang kan jatuh mengarah padanya. Tak lama kemudian, pohon itu pun berhasil tumbang dan menimpa si Kelingking.
Melihat hal itu, tentu saja sang ayah merasa lega dan bahagia. “Ah, akhirnya aku bisa menyingkirkan anak ini. Matilah kau kerdil! Hahaha,” ucapnya sambil tertawa.
Ia lalu pulang meninggalkan anaknya begitu saja. Sesampainya di rumah, sang ibu langsung menyambutnya, “Bagaimana? Kau berhasil menyingkirkannya?”
“Tentu saja! Dia kan hanya sekecil kelingking. Membuangnya bukanlah hal yang sulit,” jawab sang ayah.
“Ah, syukurlah. Kita jadi bisa hidup tenang sekarang,” ucap sang ibu dengan senyuman yang lebar menyiratkan perasaan lega.
Kembalinya Si Kelingking
Sepasang ayah dan ibu itu pun bersantai-santai di rumah mereka. Ada perasaan lega juga sedikit kehilangan karena si Kelingking telah tiada.
Namun, menjelang siang hari rupanya si Kelingking kembali. “Ayah! Ayah! Harus kuletakkan di mana kayu ini?” teriak pria kecil itu.
“Suamiku, sepertinya itu suara Kelingking? Apa kau sudah memastikan bahwa ia sudah mati?” tanya sang ibu heran.
“Ayo kita lihat langsung saja,” ucap sang ayah.
Betapa terkejutnya mereka menyaksikan si Kelingking mengangkat batang kayu yang teramat besar. Padahal, batang sebesar itu umumnya dipikul oleh 3–5 pria dewasa.
Ayah dan ibu hanya bisa melongo melihat si Kelingking pulang membawa kayu begitu besarnya seorang diri. “Ayah, aku harus meletakkan kayu ini di mana?” tanyanya.
“Emm, letakkan di depan rumah saja,” perintah sang ayah sambil menunjukkan tempat.
Setelah meletakkan kayu, si Kelingking langsung masuk ke rumah dan menghabiskan makanan. Kali ini, ia makan dengan sangat lahap dan banyak karena merasa lelah.
Ayah dan ibunya tak tahu lagi harus berbuat apa. Sejak Kelingking kembali ke rumah, suasana menjadi sangat dingin. Ayah dan ibunya banyak terdiam karena memikirkan cara lain tuk menyingkirkan Kelingking.
Pada suatu malam, mereka kembali berunding perihal cara menyingkirkan sang anak. “Suamiku, apalagi yang harus kita lakukan untuk menyingkirkan anak itu?” tanya perempuan itu panik.
“Bagaimana kalau besok aku mengajaknya pergi ke gunung yang tinggi. Lalu, aku akan mengambil batu besar dan menindihnya?” jelas sang ayah.
“Akankah rencana ini berhasil? Aku tak bisa hidup begini terus,” jawab sang ibu.
“Tenang, Istriku. Kali ini aku akan berhasil,” ucap sang ayah dengan penuh keyakinan.
Rencana Kedua
Keesokan harinya, sang ayah mengajak ke gunung untuk mengambil batu. “Anakku, kali ini kita harus ke gunung tuk mencari batu besar. Rumah kita tak bisa diperbaiki bila belum ada batu,” ucap sang ayah.
“Baiklah, Yah! Aku akan membantumu,” ucap si Kelingking.
Sesampainya di gunung, sang ayah berkata, “Kelingking, ayah akan naik ke atas gunung dan mendongkel batu besar itu. Kamu tunggu di sini saja dan hadanglah batu yang ayah dongkel,” perintahnya.
“Baik, Ayah!” jawab si Kelingking dengan semangat.
Setelah itu, sang ayah pun pergi ke atas gunung dan membawa sebatang kayu tuk mendongkel batu besar. Ia sengaja memilih batu yang sangat besar agar Kelingking tertindih.
Saat berhasil mendongkelnya, ia langsung turun ke bawah. Ia menyaksikan Kelingking telah tertindih batu.
Untuk memastikan apakah anaknya masih hidup atau sudah mati, ia pun memanggil sang anak. “Kelingking! Kelingking! Anakku!” panggil sang ayah,
Namun, tak ada suara yang menjawab. Kali ini, sang ayah yakin bahwa anaknya telah mati. Ia pun bergegas pulang dengan perasaan yang sangat gembira.
Sesampainya di rumah, ia meyakinkan istrinya bila anak mereka telah tiada. “Syukurlah kalau begitu, sekarang hidup kita benar-benar tenang,” ucap wanita tua itu lega.
Namun, rasa lega itu sirna seketika. Saat sore tiba, mereka mendengar suara panggilan lirih, “Ayah! Ayah! Di mana aku harus meletakkan batu ini?”
Suara itu datang dari Kelingking. Mereka terkejut, bagaimana bisa bocah sekecil itu kuat mengangkat batu yang sangat besar.
“Letakkanlah di situ,” ucap sang ayah sambil menunjukkan tempat.
Wajah mereka kembali murung. Sungguh, mereka tak habis pikir dengan apa yang baru saja mereka lihat. Seorang anak sekecil itu kuat mengangkat batu yang sangat besar.
Menerima Apa Adanya
Setelah berhasil meletakkan batu, si Kelingking pun kebingungan. “Ayah, Ibu, kenapa kalian tampak murung ketika aku kembali ke rumah? Kemarin juga begitu,” tanya Kelingking.
Tiba-tiba sang ibu jatuh terduduk sambil menangis. “Ibu, Ibu, kenapa kau malah menangis?” ucap Kelingking.
“Aku tak bisa begini terus. Aku harus berkata sejujurnya padamu, Nak. Ibu memang menginginkan seorang anak. Sebelum kelahiranmu, Ibu selalu berdoa agar Tuhan memberi kami anak. Namun, tak pernah Tuhan mendengar doa Ibu. Tanpa sadar, Ibu memohon anak dengan bentuk apa pun, bahkan sekecil kelingking pun Ibu terima,” ucap sang ibu sambil menangis.
“Lalu, lahirlah kamu di dunia ini. Ibu yang memintamu. Ibu yang mendoakan kamu sekecil kelingking, tapi kenapa Ibu yang merasa tak siap dengan keadaan ini?” imbuhnya dengan tangisan.
Bukannya marah, si Kelingking justru merasa sangat bersalah pada ayah dan ibunya. “Maafkan aku, Ayah dan Ibu yang tak mengerti keadaan ini. Namun, akan aku buktikan bahwa tubuh kecilku bukanlah penghalang untukku bekerja dan menjalani kehidupan normal. Aku akan menjadi kebanggaan kalian,” ucap Kelingking.
Mendengar ucapan anaknya, sang ibu tambah menangis. Ia merasa sangat bersalah pada anaknya. “Maafkan aku, Nak. Maafkan Ibu,” ucapnya memohon. Sang ayah pun turut meminta maaf.
Sejak saat itu, si Kelingking pun memutuskan tuk membantu sang ayah bekerja. Karena kekuatannya yang super besar, ia bisa mengangkut barang-barang berat seorang diri. Dengan begitu, kehidupan keluarga mereka pun semakin membaik.
Ayah dan ibu si Kelingking tak lagi kekurangan uang meski harus menyiapkan makanan yang begitu banyak. Mereka pun hidup dengan bahagia dan menjadi keluarga yang harmonis.
Unsur Intrinsik
Setelah membaca cerita rakyat si Kelingking dari Bangka Belitung ini, yuk, tambah wawasanmu dengan menyimak unsur intrinsiknya. Mulai dari tema hingga pesan moral, berikut ulasannya;
1. Tema
Tema atau inti dari cerita rakyat dari Bangka Belitung ini adalah tentang si Kelingking, seorang pria berukuran kecil, tapi kuatnya melebihi orang dewasa pada normalnya. Kedua orang tuanya sempat ingin menyingkirkannya. Tapi, pada akhirnya, mereka menerima anak itu dengan segala kekurangan fisiknya.
2. Tokoh dan Perwatakan
Ada tiga tokoh utama dalam cerita rakyat Bangka Belitung ini, yaitu si Kelingking, serta ayah dan ibunya. Ayah dan ibu si Kelingking sempat menjadi tokoh antagonis yang tega menyelakai anak sendiri.
Mereka merasa terpaksa melakukan perbuatan tersebut lantaran tak sanggup merawat seorang anak yang berkebutuhan khusus. Namun, rencana mereka selalu gagal. Pada akhirnya, mereka pun menerima si Kelingking dengan segala kekurangan fisiknya.
Sementara si Kelingking adala pria yang bijak dan pemaaf. Meski tahu kedua orang tuanya bermaksud menyelakainya, ia tetap memaafkan mereka dan berusaha tuk memperbaiki keadaan.
3. Latar
Sesuai judulnya, latar tempat dari cerita rakyat si Kelingking ini adalah di sebuah desa kecil di Bangka Belitung. Secara detail, latar tempat cerita ini adalah di sebuah gubug, hutan, dan gunung.
4. Alur Cerita Rakyat Si Kelingking dari Bangka Belitung
Alur cerita rakyat si Kelingking yang berasal dari daerah Bangka Belitung ini adalah maju alias progresif. Cerita berawal dari sepasang suami istri yang selalu berdoa meminta momongan.
Namun, mereka tak jua mendapatkannya. Pada suatu malam, mereka tanpa sadar menyebutkan bila tak masalah mendapatkan anak yang sekecil kelingking.
Tak lama kemudian, sang istri pun mengandung. Ketika melahirkan, mereka terkejut karena sang anak sangat kecil, yakni seukuran kelingking. Karena itulah mereka menamainya Kelingking.
Awalnya, pasangan suami istri yang telah menjadi ayah dan ibu itu tak masalah dengan ukuran tubuh anak mereka. Namun, si Kelingking rupanya punya porsi makan yang sangat besar sehingga mereka kewalahan.
Alhasil, mereka pun berupaya tuk menyingkirkan sang anak. Dua kali mencoba, tapi mereka selalu gagal. Pada akhirnya, mereka sadar, tak seharusnya mereka menyakiti sang buah hati. Sejak saat itu, keluarga mereka pun semakin harmonis.
5. Pesan Moral
Kira-kira, pesan moral apa saja yang bisa kamu petik dari cerita rakyat si Kelingking dari Bangka Belitung ini? Tentu saja ada beberapa nilai moral, salah satunya adalah jagalah perkataanmu.
Perkataan adalah doa. Jadi, jangan asal berucap tanpa memikirkannya dahulu. Ayah dan ibu si Kelingking asal mengucapkan jika mereka tak masalah punya anak sekecil kelingking. Lalu, Tuhan mengabulkan doa itu.
Amanat berikutnya adalah jangan menilai seseorang dari fisiknya saja. Orang yang kamu anggap lemah, bisa saja lebih tangguh dan kuat dari dirimu. Kenalilah seseorang terlebih dahulu sebelum menilainya.
Terakhir, jadilah seperti Kelingking yang mudah memaafkan. Ia bisa saja marah ketika mendapati ayah dan ibunya berbuat demikian. Namun, ia memaafkan mereka.
Selain unsur intrinsik, cerita rakyat Si Kelingking yang berasal dari Bangka Belitung ini juga ada unsur ekstrinsiknya. Di antaranya adalah nilai-nilai dari luar kisahnya yang mempengaruhi berlangsungnya jalannya cerita. Seperti, nilai sosial, budaya, dan moral
Fakta Menarik
Sebelum mengakhiri artikel ini, simak dulu, fakta menarik yang telah kami paparkan di bawah ini, yuk! Sayang banget untuk dilewatkan, lho!
1. Ada Versi Lain
Seperti cerita rakyat pada umumnya, legenda si Kelingking dari Bangka Belitung ini juga memiliki beragam versi. Bahkan ada kisah Kelingking dari Jambi yang ceritanya sangat berbeda.
Di Jambi, legenda ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang tubuhnya seukuran kelingking, tapi sangatlah pemberani. Ia tak takut kepada apa pun.
Bahkan, saat negerinya diserang oleh Nenek Gergasi, ia berani melawannya. Di saat semua orang mengungsi untuk bersembunyi dari si Nenek Gergasi, pria kecil itu justru berdiam diri untuk mengatur rencana perlawanan.
Pada akhirnya, Kelingking berhasil mengalahkan Nenek Gergasi. Raja lalu mengangkatnya sebagai panglima perang.
Bagikan Cerita Rakya Si Kelingking dari Bangka Belitung ke Teman-Temanmu
Demikianlah ringkasan cerita rakyat tentang si Kelingking dari Bangka Belitung beserta ulasan lengkapnya. Kamu suka dan sudah puas dengan kisah yang kami paparkan? Kalau suka, yuk, bagikan artikel ini pada teman-temanmu.
Kalau kamu butuh cerita rakyat Nusantara lainnya, langsung saja telusuri kanal Ruang Pena di Poskata.com. Dari Bangka Belitung, selain ada cerita rakyat Si Kelingking juga ada kisah Si Penyumpit, Tanjung Penyusuk, dan Bujang Katak. Yuk, simak lansung kisah-kisah menariknya di Poskata.com!