Kalau kamu suka membaca dongeng atau cerita-cerita rakyat Nusantara, sesekali bacalah cerita legenda Batu Badaong yang berasal dari Maluku. Tak hanya memiliki cerita yang seru, legenda ini juga sarat akan pesan moral. Kamu dapat menyimak artikel ini untuk mengetahui kisahnya.
Maluku memiliki beberapa cerita rakyat Nusantara yang menarik tuk kamu simak. Selain asal mula Telaga Biru, cerita rakyat Nenek Luhu, dan dongeng Putri Malu, Maluku juga punya cerita legenda Batu Badaong.
Badaong sendiri artinya adalah berdaun. Artinya, legenda ini mengisahkan tentang asal mula sebuah batu berdaun yang berasal dari Maluku. Kamu sudah pernah mendengar kisah legenda ini? Ringkasnya, cerita rakyat ini mengisahkan tentang keluarga kaya raya yang jatuh miskin.
Meski dalam kondisi terpuruk, anak dari keluarga itu tak mau hidup prihatin. Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, simak langsung saja cerita legenda Batu Badaong berikut ini. Ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menarik Batu Badaong juga telah kami rangkum.
Cerita Legenda Batu Badaong
Alkisah, pada zaman dahulu, hiduplah keluarga kaya raya di desa kecil daerah Pulau Tanimbar, Maluku. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, anak sulung lelaki, dan bungsu perempuan.
Sang Ayah sangat memanjakan kedua anaknya. Ia selalu menuruti apa pun keinginan mereka. Hal itu membuat mereka punya sifat yang sombong dan manja. Tak hanya itu, mereka juga sangatlah pemalas. Bagaimana tidak, di rumah mereka ada banyak pelayan yang selalu siap sedia melakukan pekerjaan rumah.
Pada suatu hari, nasib sial menghantam keluarga mereka. Sang Ayah yang sedang pergi untuk berdagang, tiba-tiba menghilang terbawa arus ombak laut. Karena sang Ayah adalah satu-satunya orang yang bekerja, semenjak kepergiannya, keluarga tersebut mengandalkan uang tabungan darinya untuk bertahan hidup.
Untuk menghemat pengeluaran, sang Ibu lalu memberhentikan semua pelayan. Ia lalu menggantikan tugas para pelayan, seperti membersihkan rumah, memasak, atau mencuci baju. Semua ia lakukan dengan ikhlas.
Uang peninggalan sang Ayah semakin menipis. Pasalnya, si Sulung dan si Bungsu tak ada hentinya menghambur-hamburkan uang. Sang Ibu kerap meminta mereka untuk berhemat. Namun, perkataannya tak pernah mereka dengar.
Hingga akhirnya, uang tabungan habis tak bersisa sedikit pun. Pada akhirnya, sang Ibu menjual rumah yang selama ini mereka tinggali. Ia lalu membeli gubuk kecil yang hanya beralaskan tanah.
“Suamiku, seandainya saja aku sedari dulu bekerja, mungkin sekarang hidup keluarga kita tak semiris ini. Maafkan aku yang selama ini terlalu mengandalkanmu,” ucap sang Ibu dalam hati pada sepertiga malam.
Anak-Anak yang Tak Tahu Diri
Setelah pindah ke gubuk kecil, sikap kedua anak itu semakin menyebalkan. Si Bungsu kerap membentak ibunya hanya karena menu makanannya tak lezat. Begitu pula dengan si Sulung, ia kerap memarahi ibunya karena rumah terlalu kumuh. Pokoknya, mereka memperlakukan sang Ibu seperti seorang pelayan.
Tentu saja, wanita paruh baya itu merasa sangat sakit hati. Namun, ia hanya bisa pasrah. Bagaimana pun juga, mereka adalah buah hatinya, sehingga ia tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Saat malam tiba, sang Ibu kerap menangis pilu sembari berdoa, “Ampunilah hamba, Tuhan. Hamba gagal mendidik anak-anak hamba. Hamba telah gagal menjadikan mereka anak-anak yang berbakti. Ya, Tuhanku, bukalah hati mereka, berikan mereka kesadaran, agar mereka kembali ke jalan-Mu.”
Keesokan harinya, Ibu pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ia lalu menjualnya ke pasar. Hasilnya memang tak seberapa, tapi tak ada hal lain yang ia bisa lakukan untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Sementara itu, si Sulung dan Bungsu sama sekali tak membantu ibu mereka. Saat subuh tiba, mereka masih terlelap dalam tidur, sedangkan Ibu bergegas bangun untuk ke hutan.
Menjelang siang, sang Ibu sudah kembali ke rumah untuk menyiapkan makan. Barulah si Bungsu dan si Sulung bangun untuk makan siang. Setelah itu, mereka hanya bersantai-santai ria.
Padahal, usai makan dan membereskan rumah, si Ibu langsung ke sungai untuk mencuci baju. Sungguh berat perjuangannya sebagai seorang ibu yang menghidupi dua anak manja dan tak tahu diri.
Terlambat Pulang
Pada suatu hari, cuaca sangatlah mendung. Usai mencari kayu bakar dan menjualnya, wanita tua itu langsung pergi ke sungai untuk mencuci baju. Ia tak sempat menyiapkan makan siang karena khawatir hujan kan segera turun.
Meski perut merasa lapar, ia tahan demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum hujan turun. Ia juga berharap anak-anaknya bisa menyiapkan sendiri makan siang. Minimal untuk diri mereka sendiri.
Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Saat bangun tidur, si Bungsu mengamuk saat mendapati meja tak ada makanan. Ia lalu mengadu kepada kakaknya, “Kak, lihatlah! Ibu tak menyiapkan kita makanan. Meja kosong tak ada satu pun makanan! Ke mana perginya dia? Harusnya ia menyiapkan kita makanan dulu!”.
“Hmm, ia pasti sedang mencuci baju di sungai. Ayo kita ke sungai,” ucap sang kakak.
Dalam keadaan marah, si Sulung dan Bungsu datang menemui ibunya ke sungai. Tanpa bertanya, si Sulung langsung menendang cucian ibunya hingga terjatuh berserakan.
“Kenapa kau berbuat demikian anakku?” ucap sang Ibu terkejut.
Tak mau kalah, si Bungsu langsung memegang tangan ibunya. Ia lalu mengayunkan pukulan bertubi-tubi ke badan wanita tua itu. Padahal, tubuh ibunya sangatlah kurus. Tentu saja, pukulan itu langsung menghantam tulang-tulangnya.
“Ampun, Nak. Ada apa gerangan? Kenapa kalian kasar kepada Ibu? Apa salah Ibu?” tanya sang Ibu sambil menangis kesakitan. Namun, si Bungsu tak kunjung berhenti memukuli ibunya.
Saat sudah lelah, ia pun berhenti memukul dan berkata, “Dasar kau wanita tak berguna. Sampai jam segini aku belum makan. Aku kelaparan. Katanya kau ibuku, harusnya kau memperlakukanku dan kakakku dengan baik!”.
“Seharusnya, bukan Ayah yang pergi, tapi kau saja! Kau bahkan tak bisa menghasilkan uang dengan baik!” imbuh si Sulung.
Mendengarkan anak-anak kandungnya berkata seperti itu, wanita tua ini hanya bisa menangis sambil memegang tubuhnya yang kesakitan. Sulung dan Bungsu lalu menyeret wanita itu kembali ke rumah. Mereka memintanya untuk segera menyiapkan makanan.
Jawaban dari Segala Doa
Usai menyiapkan makanan sambil menahan sakit tubuhnya, sang Ibu langsung pergi ke kamar. Tanpa merasa bersalah, si Sulung dan Bungsu menyantap makanan buatan ibu mereka.
Dalam kamar, wanita tua itu berdoa, “Tuhan, tolong ambil saja nyawaku. Aku sudah tak tahan dengan kelakuan anak-anakku. Biarkan aku menyusul suamiku, Tuhan. Benar kata mereka, seharusnya aku saja yang pergi dari dunia ini.”
Setelah berdoa, sang Ibu tertidur dalam sujudnya. Ia tampak sangat lelah menahan sakitnya hati dan raga. Kemudian, ia bermimpi bertemu dengan suaminya. Dalam mimpi tersebut, sang suami mengajaknya pergi ke sungai.
Di sungai itu, ada sebuah batu yang teramat besar. Batu itu mengeluarkan cahaya hangat yang menenangkan. Tak lama kemudian, batu itu terbelah menjadi dua. Sang suami lalu masuk ke dalam batu itu.
Setelah itu, sang Ibu terbangun dari mimpinya. “Kenapa aku bermimpi demikian? Pertanda apa ini?” tanyanya dalam hati.
Karena penasaran, ia pun datang ke sungai. Malam itu hujan turun dengan derasnya. Namun, perempuan ini tak peduli. Ia tetap berjalan menuju ke sungai. Dalam hati, ia berharap batu itu benar-benar ada.
Melihat ibu mereka pergi, si Sulung dan Bungsu mengikutinya diam-diam. Mereka cemas bila sang Ibu kabur meninggalkan mereka. “Awas saja kalau sampai ia melepaskan tanggung jawab merawat kita,” ucap si Bungsu pada kakaknya.
Tak selang lama, sampailah ia di tepi sungai. Ia lalu melihat sekitar sungai untuk mencari batu yang ada dalam mimpinya. Tiba-tiba, ia melihat cahaya dan hujan pun berhenti begitu saja.
Ia berjalan mendekati sumber cahaya itu. Kemudian, ia melihat sebuah batu besar seperti dalam mimpinya. “Inikah batu yang ada dalam mimpiku? Benarkah batu ini bisa terbuka?” tanyanya dalam hati.
Masuk ke Dalam Batu
“Wahai batu besar, terbukalah. Biarkan aku masuk ke dalam. Jadikan aku pohon rimbun yang berbunga wangi,” ucapnya pada batu itu.
Tak lama setelah itu, benar saja, perlahan-lahan batu itu terbuka. Saat hendak masuk ke dalamnya, tiba-tiba si Bungsu berteriak. “Ibu. Jangan masuk ke sana! Bagaimana kalau kau tak bisa kembali?” ucapnya.
“Ya, memang itu yang aku harapkan. Aku memang yang melahirkan kalian ke dunia ini, tapi mengingat perlakuan buruk kalian, apa gunanya aku hidup? Kalian bukan lagi anak-anakku,” ucap sang Ibu. Ia lalu berjalan memasuki batu itu.
Dalam sekejap mata, batu itu tertutup kembali. Bungsu dan Sulung terkejut. Mereka sama sekali tak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Si Bungsu mulai menangis. Ia terus-terusan berteriak memanggil ibunya.
“Ibu, ibu! Keluarlah dari batu. Bagaimana bisa kami hidup tanpamu. Kami berjanji tak akan berbuat jahat padamu lagi. Maafkan kami ibu,” teriaknya sambil menangis.
Tiba-tiba saja, di atas batu itu muncul pohon dengan dedaunan hijau yang menyejukkan mata. Pohon itu juga mengeluarkan bunga berwarna putih yang wanginya semerbak. Karenanya, orang-orang lalu menyebut batu itu dengan nama Batu Badaong alias batu berdaun.
Lantas, bagaimana dengan nasib kakak beradik yang keji itu? Mereka telah menyesali perbuatannya. Tapi, penyesalan itu datang terlambat. Warga sekitar yang mengetahui kekejaman si Sulung dan Bungsu pun mengusir mereka dari desa.
Karena tak punya tempat tujuan, mereka pun mendatangi Batu Badaong. Tak henti-hentinya mereka menangisi batu itu. Mereka berharap batu itu terbuka dan mengembalikan sang Ibu.
Baca juga: Cerita Legenda Kali Gajah Wong dari Yogyakarta yang Menarik Tuk Dibaca Beserta Ulasan Lengkapnya
Unsur Intrinsik
Usai membaca cerita legenda Batu Badaong, lengkapilah pengetahuanmu dengan menyimak unsur intrinsiknya. Mulai dari tema hingga pesan moral, berikut uraian singkatnya;
1. Tema
Tema atau inti cerita legenda Batu Badaong adalah tentang dua orang anak yang durhaka. Mereka memperlakukan sang ibu seperti seorang pelayan. Bahkan, mereka juga tega memukul ibu yang telah membesarkan mereka.
2. Tokoh dan Perwatakan
Ada empat tokoh utama dalam cerita rakyat Batu Badaong yang berasal dari Maluku ini. Mereka adalah sang Ayah, Ibu, si Sulung, dan Bungsu. Sang Ayah hanya muncul dalam awal cerita. Ia digambarkan sebagai seorang ayah yang sangat menyayangi dan memanjakan kedua anaknya.
Tokoh protagonis dalam kisah ini adalah sang Ibu. Ia merupakan sosok penyayang anak. Namun, sikapnya kurang tegas sehingga kedua anaknya bersifat semau mereka sendiri.
Sementara itu, kedua anak alias si Sulung dan Bungsu adalah tokoh antagonis dalam kisah ini. Sifat mereka sangatlah manja, keras kepala, tak mau hidup sederhana, dan kasar. Mereka bahkan tega memukul sang ibu hanya karena masalah sepele.
3. Latar
Cerita legenda Batu Badaong menggunakan beberapa latar tempat di daerah Pulau Tanimbar, Maluku. Lebih detailnya, latar tempat yang digunakan adalah rumah mewah, laut, gubuk, dan sungai. Untuk latar waktunya, cerita ini terjadi pada pagi, siang, dan malam.
4. Alur Cerita Legenda Batu Badaong
Legenda ini memiliki alur maju. Kisahnya bermula dari sebuah keluarga kaya raya yang jatuh miskin karena sang ayah telah meninggal. Bukannya hidup prihatin, kedua anak dalam keluarga tersebut malah hidup semau mereka sendiri.
Karena uang semakin menipis, mereka pun menjual rumah dan pindah ke gubuk. Meski begitu, kedua anak ini tetap bersikap manja dan semaunya sendiri. Mereka kerap marah-marah bila lauk tak lezat. Parahnya, mereka tak pernah membantu pekerjaan rumah.
Jadi, segala urusan rumah tangga dikerjakan sendiri oleh sang Ibu. Hingga pada suatu hari, sang Ibu tak sempat membuat makan siang karena harus segera mencuci. Bukannya menyiapkan makanan sendiri, kedua anaknya malah marah-marah dan menghardik sang Ibu.
Mereka juga tak segan memukulnya. Wanita itu lalu tertidur saat berdoa dan ia pun mimpi bertemu dengan suaminya. Dalam mimpi itu, suaminya mengajak dirinya untuk masuk ke batu besar di sungai.
Saat bangun dari mimpi, seorang ibu itu lalu pergi ke sungai dan benar-benar menemukan batu besar. Batu itu lalu terbuka dan ia masuk ke dalamnya. Tak berselang lama, batu itu mengeluarkan pohon yang berdaun dan berbunga. Kedua anak manja itu lalu hidup dengan penderitaan.
5. Pesan Moral
Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang terkandung dalam cerita legenda Batu Badaong? Tentu saja ada beberapa amanat yang bisa kamu petik. Salah satunya adalah jangan terlalu memanjakan anak. Meski hidup dengan harta melimpah, tetap ajarkan anak untuk hidup sederhana.
Pesan moral lainnya, jadilah anak yang berbakti kepada orang tua. Jangan bersikap kasar kepada mereka. Berikan kasih sayang setulus hati seperti mereka menyayangimu. Jangan seperti si Sulung dan Bungsu yang menghardik ibunya sendiri.
Tak hanya unsur intrinsik, cerita rakyat ini juga mempunyai unsur ekstrinsik. Sebut saja seperti kepercayaan masyarakat setempat dan budaya yang berkembang di tengah-tengahnya.
Baca juga: Cerita Rakyat Nenek Luhu dan Ulasan Lengkapnya, Dongeng Terjadinya Laguna Air Putri di Maluku
Fakta Menarik
Setelah menyimak cerita legenda Batu Badaong dan unsur intrinsiknya, kini saatnya kamu mengulik fakta menariknya. Berikut ulasan singkatnya;
1. Kisahnya Diangkat Menjadi Sebuah Lagu
Cerita legenda Batu Badaong terbilang cukup populer di Maluku. Karenanya, ada sebuah lagu berjudul Batu Badaong yang liriknya terinspirasi dari kisah rakyat tersebut. Diciptakan oleh Katje Hehanusa, lagu berbahasa Ambon ini dibawakan oleh penyanyi pria bernama Corr Tetelepta.
Lagunya mengisahkan tentang seorang pria yang berharap agar Batu Badaong terbuka. Ia ingin menyusul ibunya yang mungkin telah berada di dalamnya. Ia tak sanggup hidup sendiri tanpa ibunya.
2. Memiliki Beragam Versi Cerita
Seperti cerita rakyat pada umumnya, legenda Batu Badaong juga memiliki beragam versi cerita. Salah satu kisahnya menceritakan bahwa ada dua orang anak yatim piatu yang diasuh oleh seorang nenek.
Mereka hidup serba kekurangan. Untuk menghidupi kedua cucunya, nenek itu mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya. Kedua anak dalam versi cerita ini tidak manja, mereka kerap membantu sang nenek melakukan pekerjaan rumah.
Pada suatu hari, sang nenek mengajak kedua cucunya untuk menangkap kepiting di laut. Mereka mendapatkan banyak sekali kepiting. Lalu, Nenek meminta kedua cucunya untuk pulang terlebih dahulu dan memasak kepiting-kepiting itu.
Sebab, ia hendak pergi ke pasar dulu untuk menjual kayu bakar. Ia juga berpesan agar mereka menyisakan kaki-kaki kepiting untuknya makan sepulang dari pasar. Tentu saja, kakak beradik ini mematuhi ucapan nenek mereka.
Sesampainya di rumah, mereka memasak semua kepiting dan memakan bagian tubuhnya saja. Kaki-kaki kepiting mereka sisakan untuk sang nenek. Akan tetapi, saat sore datang, sang adik merasa kembali lapar.
Ia lalu memakan kaki kepiting yang seharusnya untuk sang nenek. Melihat adiknya makan, sang kakak juga jadi lapar dan turut memakan kaki-kaki itu hingga habis. Saat Nenek pulang, betapa terkejut hatinya karena tak ada satu pun kepiting tersisa.
Padahal, perutnya sangat lapar. Ia juga tak berhasil mendapatkan satu pun pembeli kayu bakar. Karena merasa sangat bersedih, nenek itu lalu datang ke sebuah batu besar dan masuk ke dalamnya.
Tentu saja kakak dan adik itu merasa bersalah karena tak mematuhi perkataan sang nenek. Mereka menangis tersedu-sedu sambil mengelus batu besar itu berharap sang nenek kembali.
Baca juga: Legenda Putri Aji Bidara Putih, Asal Usul Terbentuknya Danau Lipan Beserta Ulasan Lengkapnya
Sudah Puas dengan Cerita Legenda Batu Badaong?
Inilah akhir dari artikel yang mengulik tentang cerita legenda Batu Badaong. Kamu sudah puas dengan cerita yang kami paparkan? Semoga kisah ini bisa menambah wawasanmu, ya. Kalau suka dengan ceritanya, jangan ragu untuk membagikan kisah ini pada teman-temanmu.
Buat yang butuh kisah lainnya, langsung saja kepoin kanal Ruang Pena pada situs Poskata.com. Ada banyak cerita rakyat yang telah kami sajikan, seperti legenda Putri Malu, kisah Danau Sentalu, asal usul Gunung Merapi, dan masih banyak lagi. Selamat membaca!