
Ada banyak cerita hikayat melayu yang menarik untuk disampaikan kepada buah hati tercinta, salah satunya adalah tentang Jaya Lengkara. Tertarik untuk mengetahui kisahnya? Cek saja ulasan yang telah kami siapkan di bawah ini!
Hikayat merupakan sebuah kisah dari zaman dahulu kala yang cukup menarik untuk diceritakan. Salah satunya adalah cerita hikayat tentang seorang pemuda bernama Jaya Lengkara.
Kisahnya menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang memiliki kemampuan luar biasa dan bisa membawa kemakmuran bagi negerinya. Namun, karena kebencian dan iri hati dari kedua kakaknya, anak tersebut harus dibuang ke hutan bersama ibundanya.
Penasaran bagaimana dengan nasibnya? Langsung saja baca cerita hikayat Jaya Lengkara yang telah kami siapkan di artikel ini. Kemudian, jangan lupa baca juga ulasan seputar unsur instrinsik dan fakta menariknya, ya! Selamat membaca!
Cerita Rakyat Hikayat Jaya Lengkara
Alkisah pada zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar bernama Ajam Saukat. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang adil bernama Saiful Muluk. Karena sebegitu adilnya, di negeri tersebut tak ada fakir dan miskin.
Saat itu, sebenarnya sang raja sudah memiliki seorang istri bernama Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum. Namun, setelah menikah selama beberapa tahun, mereka belum juga diberikan keturunan. Padahal, Raja Saiful Muluk sangat menginginkan keturunan. Ia pun kemudian menikahi Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-Bayang.
Dari pernikahan tersebut, Saiful Muluk dante Tuan Putri Sakanda Cahaya Bayang-Bayang dikaruni dua anak laki-laki kembar yang diberi nama Makdim dan Makdam. Sayangnya, kelahiran anak kembar itu tak memberikan kebahagiaan bagi Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum.
Istri pertama dari Saiful Muluk itu justru merasa takut kalau sang raja kini tak akan lagi menyayanginya karena ia tak bisa memberikan keturunan. Ia pun kemudian berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah Swt. agar bisa diberikan keturunan.
Benar saja, sesuai dengan doanya yang sepenuh hati, pada akhirnya Allah mengabulkannya. Tak lama kemudian, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum akhirnya hamil dan sembilan bulan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang berparas elok layaknya bulan purnama. Sang anak laki-laki kemudian diberi nama Jaya Lengkara.
Bertepatan dengan momen kelahiran Jaya Lengkara, negeri Ajam Saukat menjadi lebih makmur. Segala tumbuhan, seperti buah-buahan dan padi yang ditanam bisa tumbuh dengan makmur. Hingga panen pun akhirnya melimpah ruah.
Pada akhirnya, bahan makanan dan berbagai macam makanan bisa dijual dengan harga murah. Tentunya, hal itu membuat semua rakyat dari berbagai kalangan berucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Raja Saiful Muluk Ingin Mengetahui Nasib Jaya Lengkara
Raja Saiful Muluk pun sampai mempertanyakan apakah seluruh berkah itu memang disebabkan oleh kelahiran Jaya Lengkara. Dengan rasa ingin tahunya itu, sang raja kemudian memanggil para hulubalang dan ahli nujum ke istana.
“Wahai tuan-tuan sekalian,” ucap Raja Saiful Muluk ketika beberapa hulubalang dan ahli nujum sudah berkumpul di istana, “Adapun aku ingin bertanya apakah anakku yang bernama Jaya Lengkara ini memang memiliki kemampuan atau kemustahilan? Apakah memang dia yang membawa kemakmuran pada negeri ini?”
Tanpa menunggu lama, para ahli nujum dan hulubalang menggunakan kemampuannya untuk mengetahui lebih lanjut tentang putra dari raja Saiful Muluk dan Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum. Setelah selesai, mereka berdiskusi tentang hasil yang mereka dapatkan.
“Mohon maaf, baginda,” ucap salah satu perwakilan dari hulubalang dan ahli nujum, “setelah kami diskusikan dengan baik, kami tidak bisa menemukan apakah memang kemampuan Jaya Lengkara yang menciptakan kemakmuran itu ataukah memang hanya kebetulan semata.”
“Kemudian bagaimana dengan namanya?” tanya Raja Saiful Muluk masih penasaran, “Apakah arti dari nama Jaya Lengkara itu nantinya akan membawa kebaikan atau keburukan dalam hidupnya?”
“Maafkan kami, tuanku Syah Alam,” ucap sang wakil sekali lagi, “kami juga tidak mengetahui tentang hal itu. Akan lebih baik kalau baginda menanyakannya kepada Tuan Kadi yang lebih mahir dalam ilmu fikih. Dengan begitu Tuan Kadi jauh lebih mengetahui tentang makna-makna dan mana yang boleh ataupun makruh.”
Mendengar hal itu, Raja Saiful Muluk pun kemudian berpikir panjang. Setelah mempersilakan seluruh ahli nujum dan hulubalang pulang, ia mulai mencari cara untuk bisa mengetahui tentang nasib Jaya Lengkara.
Menemui Tuan Kadi demi Nasib Jaya Lengkara
Saiful Muluk memerintahkan kedua putra kembarnya, Makdam dan Makdim yang sudah mulai beranjak dewasa untuk mencari seorang ahli Kadi. Tujuannya tentu saja supaya mengetahui tentang makna dari Jaya dan Lengkara, juga tentang nasib yang dibawanya.
Sesuai perintah, Makdam dan Makdim pun pergi mencari kediaman sang Kadi dan menemuinya. Mereka datang dengan menggunakan arakan lengkap layaknya adat anak raja. Tentu saja hal itu membuat sang Kadi terkejut.
“Wahai, tuanku,” ucap sang Kadi ketika mendapati kedua putra Raja Saiful Muluk mendatangi rumahnya menggunakan arak-arakan, “Dalam rangka apakah hamba yang hina ini mendapatkan kehormatan seperti ini?”
Makdam pun menjawab, “Ada pun kedatangan kami kemari karena titah dari Syah Alam. Beliau meminta hamba untuk bertanya kepada Tuan Kadi perihal adik hamba yang baru lahir. Karena pada kelahirannya, malam terlihat lebih bercahaya seolah ada yang spesial tentang dirinya.”
“Siapakah namanya, tuanku?” tanya Tuan Kadi.
“Nama adik kami adalah Jaya Lengkara, Tuan Kadi,” jawab Makdim. Tak lama kemudian, Tuan Kadi membuka kitab dan tafsirnya. Setelah membacanya, ia terus berucap syukur tanpa henti hingga membuat Makdam dan Makdim merasa heran.
“Wahai, Tuan Kadi, mengapa kau berkata syukur terus menerus?” tanya Makdam dan Makdim nyaris bersamaan.
“Wahai Tuanku, sepertinya nasib adik kalian akan menjadi raja besar yang memiliki kesaktian luar biasa. Nantinya, negeri ini akan semakin makmur dan dilimpahi berbagai macam makanan yang tumbuh subur. Kemudian semua raja-raja yang gagah berani dapat dipastikan akan takluk di bawahnya dan orang-orang akan takut padanya.”
Kekhawatiran Makdam dan Makdim
Mendengar jawaban Tuan Kadi, Makdam dan Makdim hanya bisa keheranan seraya saling berpandangan. “Apakah kamu yakin kalau itu adalah Jaya Lengkara adik kami?” tanya Makdam memastikan.
“Benar, tuanku. Bisa dibilang bulan dan matahari berada dalam posisi garis lurus. Bulan akan akan membuka segala kekejian, sementara matahari akan menerangkan segala alam semesta. Dengan begitu, Jaya Lengkara akan mendapatkan nasib yang sangat baik. Bahkan, bisa dibilang terlalu baik.”
“Apakah nasib itu sudah pasti dan tak akan bisa diubah lagi?” tanya Makdam ingin tahu. Dan Tuan Kadi memastikan bahwa nasib itu sudah benar adanya. Bahkan, ia juga memastikan jika Jaya Lengkara ingin hidup di darat atau laut sekalipun, hidupnya akan selalu sejahtera dan tak akan ada orang ataupun jin yang berani melawannya.
Rupanya, informasi itu sama sekali tak memberikan kebahagiaan untuk Makdam dan Makdim. Mereka berdua justru merasa tak senang. Mereka merasa khawatir kalau nantinya ayah mereka akan lebih menyayangi Jaya Lengkara dan tak lagi mempedulikan mereka. Karena nyatanya, Raja Saiful Muluk pernah tak mempedulikan Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum ketika wanita itu belum dikaruniai keturunan.
“Kakanda, apakah yang kita bicarakan pada raja nanti?” tanya Makdim di antara kekhawatirannya.
“Adinda, sepertinya apa yang diucapkan oleh Tuan Kadi tadi tak perlu kita bicarakan pada raja,” jawab Makdam. Tak hanya itu, ia pun memberitahukan rencana tentang apa saja yang lebih baik diucapkan pada Raja Saiful Muluk. Setelah rencana tersebut matang, mereka kembali lagi ke istana.
Kebohongan Makdam dan Makdim akan Nasib Jaya Lengkara
“Bagaimana anak-anakku?” tanya sang raja ketika Makdam dan Makdim kembali dalam keadaan menangis, “Kenapa kalian terlihat sedih hingga menangis?”
Dengan berlinang air mata, Makdam pun menceritakan kebohongan yang sudah mereka rencanakan. “Ampun, Tuanku. Kami sudah bertanya pada Tuan Kadi dan mendapatkan informasi bahwa keberadaan Jaya Lengkara akan membawa celaka bagi negeri kita. Nantinya panen akan sulit dan harga buah-buahan, padi, serta beras akan menjadi lebih mahal. Pada akhirnya, banyak rakyat yang akan menderita dan pada akhirnya mati., Tuanku.”
“Itulah sebabnya kami menangis, Tuanku,” ucap Makdim menimpali, “Kami tak ingin kesedihan dan penderitaan akan menghampiri rakyat Ajam Saukat.”
Mendengar hal itu, tentu saja baginda Raja Saiful Muluk langsung merasa khawatir dan bingung. Ia langsung berusaha mencari solusi untuk menyelamatkan negerinya. Tanpa menunggu lama, ia mendatangi kediaman Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum beserta putranya, Jaya Lengkara.
“Wahai, adinda, pemilik hati dan cermin mataku,” ucap Raja Saiful Muluk ketika bertemu dengan istri dan putranya, “Izinkanlah kakanda membawa Jaya Lengkara terlebih dahulu.”
“Dalam rangka apa kakanda berkata demikian?” tanya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum penasaran dan khawatir.
“Adinda, maafkan kakanda. Karena rupanya anak kita itu akan membawa celaka yang teramat besar dalam negeri kita. Oleh karena itu, kakanad berniat untuk membunuhnya,” ucap Raja Saiful Muluk menjelaskan.
Betapa terkejutnya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum ketika mendengar hal itu. Tak bisa dipungkiri ia sebenarnya sangat menyayangi buah hatinya tersayang, Jaya Lengkara. Namun, ia juga tak ingin keluarganya membawa masalah dan kemaslahatan untuk rakyat negeri Ajam Saukat.
“Hamba paham, Tuanku,” ucap Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum, “Namun, hamba mohon jika memang putra hamba harus dibunuh, maka kakanda juga harus membunuh hamba sekalian.”
Jaya Lengkara Dibuang Ke Hutan
Raja Saiful Muluk kini yang terkejut. “Mengapa adinda berkata demikian?” tanyanya khawatir.
“Duhai, Tuanku, hamba tiada sampai hati melihat anak hamba dibunuh. Karena baik atau jahatnya anak hamba tersebut, tetap saja ia adalah putra hamba,” jawab sang putri dengan isak tangisnya. Mendengar hal itu, terdiamlah sang raja. Ia pun kini merasa tak tega.
Makdam dan Makdim yang juga berada di sana pun kemudian memberikan usulannya kepada sang raja. “Tuanku, kalau begitu bagaimana kalau Jaya Lengkara diasingkan saja bersama ibundanya?” ucap Makdam.
“Benar, Tuanku,” tambah Makdim, “Dengan begitu, Baginda tak akan memisahkan Jaya Lengkara dari ibundanya, dan keselamatan negeri Ajam Saukat ini pun masih terjamin. Karena tentunya tuanku tak bisa menyamakan harga satu anak tuanku dengan harga seluruh rakyat negeri ini, kan?”
Raja Saiful Muluk pun memikirkan ucapan kedua anak kembarnya itu. Setelah memikirkannya baik-baik, sang raja pun kemudian memanggil Mangkubumi alias patih istana dan memberikan perintah untuk membuang Jaya Lengkara beserta ibundanya.
Untuk memenuhi perintah Raja Saiful Muluk, Mangkubumi membawa Jaya Lengkara dan Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum melewati hutan rimba dan padang belantara. Setelah melakukan perjalanan selama tujuh hari tujuh malam, Jaya Lengkara dan bundanya kemudian di tinggalkan di dalam hutan. Sementara sang Mangkubumi kembali lagi ke negeri Ajam Saukat.
Anugerah Pertama Jaya Lengkara
Awalnya, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum hanya bisa menangisi nasibnya. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya memutuskan unutk berjalan mencari pertolongan di desa atau negeri terdekat.
Setelah berjalan selama sembilan hari sembilan malam lamaya, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum menemukan sebuah gua berukuran sangat besar. Ketika berusaha akan masuk ke dalam gua tersebut, rupanya di dalamnya sudah ada banyak harimau dan ular. Sang putri sempat merasa ketakutan dan khawatir. Namun, setelah beberapa saat, hewan-hewan buas tersebut mendadak bersujud pada sang putri.
Tentu saja Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum langsung terkejut. Namun, ia tak banyak berpikir lama karena ia butuh beristirahat. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk tinggal di dalam goa tersebut selama beberapa saat.
Siapa sangka cobaan yang harus dialami ibu dan anak itu rupanya belum juga selesai. Bayi Jaya Lengkara yang malang itu pun kehausan dan ingin menyusu pada ibundanya. Namun malang, karena terlalu lama tak makan dan minum, air susu Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tak keluar sama sekali.
“Maafkan Ibunda, anakku. Apalah dayaku karena sudah empat puluh hari dan empat puluh malam tanpa makan dan air, maka aku tak bisa menyusuimu,” ucap Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum dengan berlinang air mata penuh kesedihan.
Jaya Lengkara yang sangat kehausan pun menangis semakin kencang. Bahkan, ia sampai mengguling-gulingkan tubuhnya di atas batu. Dengan takdir dari Yang Maha Kuasa, mendadak di sebelah batu itu keluar air yang mengalir kencang.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum awalnya hanya bisa keheranan. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung meminum air tersebut hingga sekiranya ia bisa menyusui buah hatinya kembali. Jaya Lengkara pun akhirnya mulai kembali sehat dan kuat.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum dan Jaya Lengkara tinggal di gua tersebut selama beberapa tahun lamanya. Sang bayi itu pun tumbuh menjadi anak sehat dan cerdas. Sering kali, ia menghabiskan aktu bermain panah dan memanah kambing menjangan di dalam hutan.
Penyakit Raja Saiful Muluk
Di sisi lain, sepeninggal Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum dan Jaya Lengkara, kesehatan Raja Saiful Muluk justru semakin menurun. Tak peduli berapa banyak tabib yang diundang ke istana, tak ada satu pun yang bisa menyembuhkan penyakit itu. Bahkan, setelah mengundang tabib-tabib paling masyhur dari daerah lain sekalipun, tetap saja kesehatan sang raja justru menjadi semakin parah.
Lama kelamaan, hal itu membuat Makdam dan Makdim merasa gelisah. Maka mereka memanggil beberapa ahli nujum dengan harapan bisa menemukan apa penyebab dari penyakit tersebut. Para ahli nujum pun berusaha bekerja sebaik mungkin kemudian mendiskusikannya dan melaporkannya kepada Makdam juga Makdim.
“Tuanku,” ucap sang perwakilan ahli nujum, “Sayang sekali sepertinya penyakit ayahan terlalu keras. Kami tak bisa menemukan penyebabnya. Namun, bisa dipastikan jika penyakit tersebut tak segera disembuhkan, nantinya akan membawa banyak kesialan bagi seluruh negeri.”
“Namun, bisakah kalian menemukan obat atau cara penyembuhannya?” tanya Makdam dan Makdim.
“Ada cara untuk menyembuhkan baginda, Tuanku. Yakni menggunakan bunga kuma-kuma putih yang ada di puncak Gunung Mesir. Bunga tersebut nantinya bisa digunakan untuk menyembuhkan baginda raja,” ucap sang ahli nujum.
Tanpa menunggu lama, Makdam dan Makdim langsung memerintahkan pesuruhnya untuk mencari bunga kuma-kuma putih yang dimaksud. Sayangnya, proses pencari bunga yang terletak di puncak Gunung Mesir rupanya juga tak mudah. Sudah banyak pesuruh yang dikirim selama berbulan-bulan lamanya, tapi tetap saja bunga yang dimaksud tak juga ditemukan.
Pada akhirnya, Makdam dan Makdim pun turut serta mencari bunga kuma-kuma putih di puncak Gunung Mesir. Dalam perjalanan menuju ke gunung tersebut, mereka harus melewati hutan belantara tempat Jaya Lengkara tinggal.
Pertemuan Makdam dan Makdim dengan Jaya Lengkara
Saat itu, Jaya Lengkara tengah bermain panah dengan mengincar kijang dan menjangan. Makdam dan Makdim pun mendekati dan bertanya, “Wahai orang muda, dari mana kau berasal?”
“Hamba orang hutan, Tuan. Karena hamba tinggal di dalam hutan,” jawab Jaya Lengkara setelah berhenti memanah.
“Kalau kau memang asli tinggal di hutan ini, bantulah kami mencari air karena kami terlalu dahaga,” ucap Makdam yang langsung disetujui oleh Jaya Lengkara. Bahkan, Makdam dan Makdim pun diajak pergi ke goa tempat Jaya Lengkara tinggal bersama ibundanya.
Jaya Lengkara membawakan kendi berisi air dari dalam goa. Kendi itu diterima oleh Makdam dan Makdim yang kemudian meminum isinya. Tak hanya itu, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum pun turut serta menyambut sang anak kembar dan membawakan makanan dan sayur-sayuran.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum pun kemudian bertanya pada Makdam dan Makdim apa yang tengah mereka lakukan di dalam hutan. Makdam dan Makdim kemudian menjawab dengan posisi menyembah pada sang putri, “Kami berniat pergi ke puncak Gunung Mesir untuk mencari bunga kuma-kuma putih, Ibunda.”
“Apa guna dari bunga kuma-kuma putih itu, anakku?” tanya Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum.
Makdam dan Makdim pun bergantian menjelaskan, “Bunga itu nantinya akan dijadikan sebagai obat untuk Sri Paduka Baginda yang tengah sakit. Karena sudah empat puluh hari lamanya penyakit beliau tak bisa disembuhkan.”
Namun, saat itu fokus Jaya Lengkara justru pada posisi sembah Makdam dan Makdim. Kenapa kedua pria berpakaian rapi itu menyembah pada ibundanya yang hanya tinggal di dalam goa? Jaya Lengkara pun langsung menanyakannya pada sang ibunda.
Sembah Sujud Makdam dan Makdim pada Jaya Lengkara
Betapa terkejutnya Jaya Lengkara ketika sang ibunda menjelaskan bahwa kedua pria itu merupakan saudara satu ayah dengannya. Bahwa Jaya Lengkara sebenarnya merupakan putra dari raja di negeri Ajam Saukat.
“Lalu bagaimana bisa kita tinggal di dalam hutan ini, Bunda?” tanya sang putra penasaran. Namun, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum tak langsung menjawab pertanyaan itu. Alasannya karena ia tak ingin putranya membenci Makdam dan Makdim.
Di sisi lain, Makdam dan Makdim yang baru memperhatikan wajah Jaya Lengkara pun merasa takjub. Karena adik satu ayahnya yang dahulu pernah ia buang itu wajahnya terlihat begitu elok layaknya bulan purnama. Sama sekali tak terlihat seperti seorang anak yang dibesarkan di dalam goa yang tak nyaman.
Mereka berdua pun kemudian bersujud di kaki Jaya Lengkara. Tentu saja hal itu membuat Jaya Lengkara semakin keheranan. “Duhai ibuku, ada apakah dengan mereka berdua? Kenapa mereka juga bersembah sujud di kakiku?”
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum pun akhirnya menjelaskan tentang Makdam dan Makdim. Di mana mereka merupakan saudara Jaya Lengkara dari istri muda Ajam Saukat. Sang putri juga menjelaskan bahwa kedua saudaranya itu berniat mencari bunga kuma-kuma putih untuk obat ayahandanya yang tengah sakit.
“Kalau memang benar demikian, di manakah letak bunga itu, Kakanda?” tanya Jaya Lengkara penasaran. Makdam dan Makdim menjawab bahwa tak ada yang mengetahui di mana tepatnya letak bunga kuma-kuma putih itu. Yang orang-orang ketahui hanyalah lokasinya berada di puncak Gunung Mesir.
“Kalau begitu, bolehkah adinda membantu kakanda dalam mencari bunga kuma-kuma putih itu?” tanya Jaya Lengkara menawarkan diri.
“Tentu saja boleh, adinda!” jawab Makdam dan Makdim nyaris bersamaan. Sesudahnya, mereka menyusun rencana untuk menuju ke puncak Gunung Mesir.
Bertemu dengan Harimau dan Raksa
Setelah mempersiapkan segalanya, mereka bertiga berangkat menuju ke puncak Gunung Mesir untuk mencari bunga kuma-kuma putih. Di tengah perjalanan, mereka sampai di sebuah rimba padang. Di sana, Makdam dan Makdim merasa kehausan dan berusaha mencari sumber mata air. Sayangnya, karena daerah tersebut kering, mereka tak bisa menemukan air barang sedikit.
“Duhai, adikku,” ucap Makdam, “Bisakah kau membantu kami mencarikan sumber mata air? Aku sudah kehausan tapi tak bisa menemukan air sedikit pun.”
Jaya Lengkara pun kemudian berkeliling mencari sumber mata air sementara Makdam dan Makdim beristirahat di bawah pohon kayu beringin yang besar. Ketika beristirahat, Makdam dan Makdim terlihat seperti sudah meninggal hingga membuat Jaya Lengkara khawatir.
Kemudian, ia pun memanjat ke atas pohon kayu beringin itu. Ketika puncak dari pohon tersebut dipukul, mendadak keluarlah air seperti hujan yang turun dengan derasnya. Setelah mengumpulkan airnya di wadah kemudian turun dari puncak pohon tersebut, Jaya Lengkara membangunkan kedua kakaknya.
“Kakanda, bangunlah dan minumlah air ini!” ucap Jaya Lengkara yang langsung membuat kedua kakaknya terkejut. Setelah minum air, akhirnya Makdam dan Makdim bisa mengumpulkan kekuatannya untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan selama tiga hari tiga malam, mereka bertiga bertemu dengan harimau dan raksa. Melihat kedua hewan berukuran besar itu, Makdam dan Makdim langsung ketakutan kemudian bersembunyi di balik tubuh adiknya.
“Kakanda tak perlu takut,” ucap Jaya Lengkara meyakinkan kedua kakaknya kemudian berbalik menatap kedua hewan tersebut, “Wahai raksa dan harimau, janganlah mengganggu kami. Karena kedua kakakku sebenarnya sangat takut pada kalian berdua.”
Kedua hewan itu pun mendadak lari tunggang langgang ketika melihat Jaya Lengkara. Hal itu membuat Makdam dan Makdim terkejut.
Pertemuan Jaya Lengkara dan Tuan Putri Ratna Kasina
Tak berapa lama kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah goa. Karena kelelahan, Jaya Lengkara menawarkan pada kedua kakaknya untuk beristirahat di goa tersebut.
“Adinda, aku tidak yakin kita harus masuk ke dalam goa ini,” jawab Makdam ragu-ragu, “Goanya terlalu gelap dan tak ada cahaya. Bagaimana jika di dalam goanya ada harimau, ular, atau raksa?”
Untuk memastikannya, Jaya Lengkara masuk sendirian ke dalam goa tersebut. Namun, siapa sangka di dalamnya ia justru bertemu dengan seekor naga yang berukuran sangat besar. Yang jauh lebih mengejutkan lagi, di samping naga yang bernama Naga Guna tersebut terdapat seorang perempuan yang rupanya bernama Tuan Putri Ratna Kasina.
Rupanya Tuan Putri Ratna Kasina merupakan anak perempuan dari raja negeri Madinah. Ia berada di goa tersebut juga karena tengah dalam perjalanan menuju puncak Gunung Mesir. Rupanya, Raja Madinah juga tengah sakit parah. Dan Tuan Putri Ratna Kasina juga tengah mencari bunga kuma-kuma putih.
Sebenarnya, sang putri berangkat bersama pasukan sebanyak dua ribu orang yang dipimpin oleh seorang Mangkubumi. Namun, setelah perjalanan selama tujuh hari tujuh malam dan tanpa hasil sama sekali, seluruh pasukan itu dipaksa pulang sementara Tuan Putri Ratna Kasina menunggu di dalam goa dengan ditemani oleh sang naga yang rupanya baik hati.
“Wahai Jaya Lengkara, masuklah kemari,” ucap Naga guna ketika Jaya Lengkara baru saja masuk ke dalam goa, “Duduklah dengan Tuan Putri Ratna Kasina di sini!” Sesuai permintaan, Jaya Lengkara pun masuk ke dalam goa dan duduk di samping sang putri.
“Wahai Naga Guna, siapakah laki-laki itu sebenarnya?” tanya Tuan Putri Ratna Kasina. Karena rupanya, ketika ia baru pertama kali bertemu dengan si naga, sang putri diberitahu untuk menunggu di dalam goa sampai Jaya Lengkara datang.
“Pria itu adalah Jaya Lengkara, Putri,” jawab Naga Guna, “Ia adalah putra dari Raja Ajam Saukat. Nantinya laki-laki itulah yang akan bisa membantumu menemukan bunga kuma-kuma putih.”
Pencarian Bunga Kuma-Kuma Putih
Setelah saling berkenalan dan menceritakan tentang tujuan sang putri yang sama seperti Makdam dan Makdim, mereka pun kemudian merencanakan cara untuk mencari bunga kuma-kuma putih itu. Namun, Jaya Lengkara memastikan terlebih dahulu tentang di manakah lokasi bunga yang diyakini bisa mengobati penyakit para raja.
Naga Guna pun kemudian menjelaskan tentang tempat pastinya bunga kuma-kuma putih itu ditanam. Ia juga menjelaskan bahwa di depan goa akan ada dua kucing yang berwarna hitam dan putih. Kedua kucing tersebut akan menjaga Tuan Putri Ratna Kasina. Jaya Lengkara diminta untuk membantu kedua kucing tersebut mengawal dan menjaga sang putri.
Sesudahnya, mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan dengan ditemani oleh Naga Guna. Sesampainya di lokasi tumbuhnya bunga kuma-kuma putih, benar saja bunga yang mereka cari itu ada di sana. Namun, bunga yang dimaksud rupanya belum mekar.
Sang naga pun berpesan bahwa rupanya bunga kuma-kuma putih itu hanya akan mekar ketika air pasang. Alasannya karena Gunung Mesir itu merupakan pusat laut. Padahal, air pasang kira-kira baru akan terjadi sekitar empat puluh hari lagi. Oleh karena itu, Naga Guna menyarankan agar Makdam, Makdim, Jaya Lengkara, dan Tuan Putri Ratna Kasina istirahat dahulu selama empat puluh hari.
Namun, Makdam dan Makdim tak bisa bersabar menunggu hingga empat puluh hari lamanya. Mereka khawatir jika menunggu jauh lebih lama lagi, dikhawatirkan kondisi kesehatan raja akan semakin memburuk. Kedua saudara kembar itu pun kemudian mempengaruhi Tuan Putri Ratna Kasina dan Jaya Lengkara untuk mengambil bunga kuma-kuma putih itu.
Awalnya, Tuan Putri Ratna Kasina mencoba mengambil bunga tersebut. Sementara Jaya Lengkara mengambil daunnya. Menariknya, bunga yang awalnya masih kuncup itu mendadak mekar di tangan Tuan Putri Ratna Kasina.
Akal Busuk Makdam dan Makdim
Melihat hal itu, bukannya turut serta berbahagia, Makdam dan Makdim justru berniat melakukan kejahatan. Dengan sengaja ia mendorong adiknya itu ke pusat laut. Untungnya, karena saat itu Jaya Lengkara masih memegang daun bunga kuma-kuma putih yang sakti, ia tak bisa tenggelam. Justru pada akhirnya, nyawanya bisa terselamatkan.
Sementara itu, Makdam dan Makdim berusaha membawa Tuan Putri Ratna Kasina beserta bunga kuma-kuma putih yang sudah mekar itu ke istana. Naga Guna yang baru saja terbangun dari tidurnya langsung memerintahkan kedua kucing kepercayaannya untuk mencari Jaya Lengkara.
Di waktu yang bersamaan, terdapat Putri Ratna Gemala dari Mesir dan Putri Ratna Dewi yang merupakan anak perempuan dari Raja Peringgi. Rupanya, mereka berdua suatu hari mendadak bermimpi tentang sebuah bunga ajaib bernama kuma-kuma putih. Di waktu yang bersamaan, mereka memerintahkan seorang menteri untuk berangkat ke puncak Gunung Mesir dan mencari bunga tersebut.
Di tengah perjalanan, menteri yang dikirim itu bertemu dengan Makdam dan Makdim beserta Tuan Putri Ratna Kasina. Menteri yang curiga dengan keberadaan Makdam dan Makdim pun langsung menangkap saudara kembar itu kemudian memenjarakannya. Sementara Tuan Putri Ratna Kasina yang terlihat membawa bunga kuma-kuma putih pun diselamatkan.
Tak berapa lama kemudian, Jaya Lengkara yang berhasil diselamatkan oleh Naga Guna pun datang ke negeri Peringgi. Ia meminta agar pemerintah Peringgi membebaskan Makdam dan Makdim. Ketika permintaan itu tak langsung dikabulkan, Jaya Lengkara meminta bantuan kaum jin untuk menyelamatkan kedua kakaknya itu.
Setelah Makdam dan Makdim berhasil diselamatkan, Raja Peringgi bertanya siapakah Jaya Lengkara sebenarnya. Begitu mengetahui jati diri sang putra Raja Ajam Saukat yang sakti itu, Raja Peringgi mengusulkan agar sang pangeran menikah dengan putri Raja Peringgi.
Akhir Kisah Bahagia Jaya Lengkara
Namun, Jaya Lengkara memiliki ide lain yang menurutnya jauh lebih baik dan bijaksana. Yaitu, menikahkan Putri Ratna Dewi dengan Makdam dan Putri Ratna Gemala dinikahkan dengan Makdim.
Sesudahnya, Jaya Lengkara dan Tuan Putri Ratna Kasina berangkat ke negeri Ajam Saukat untuk menyembuhkan penyakit Raja Saiful Muluk. Karena saat itu Makdam dan Makdim yang masih dibutakan oleh keserakahan kembali ke negeri Ajam Saukat, mereka berdua pun memutuskan untuk meninggalkan negeri kelahiran Jaya Lengkara itu.
Mereka berdua diantarkan oleh Naga Guna menuju ke negeri Madinah untuk menyembuhkan ayahanda Tuan Putri Ratna Kasina. Sebagai tanda syukur dan terima kasih, Raja Madinah menikahkan anak perempuannya dengan Jaya Lengkara. Sementara sang raja sendiri menikahi Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum, ibunda Jaya Lengkara.
Tak lama kemudian, Jaya Lengkara diangkat menjadi Raja Madinah untuk memerintah negeri itu. Ketika ia memimpin Madinah, negeri itu menjadi lebih makmur dan subur. Seluruh raja-raja dari daerah lain pun tunduk di bawah Jaya Lengkara dan setiap tahunnya selalu mengantarkan upeti ke Madinah.
Unsur Intrinsik Cerita Hikayat Jaya Lengkara
Sumber: Buku Bahasa Indonesia SMA Kelas XI – Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Sudah puas membaca rangkuman cerita hikayat Jaya Lengkara di atas? Jangan lupa ketahui juga beberapa unsur intrinsik yang melengkapi kisahnya, ya? Di bawah ini kami sudah menyiapkan ulasan tentang tema, tokoh dan perwatakan, latar, alur, sekaligus pesan moral yang bisa didapatkan. Selamat membaca!
1. Tema
Tema atau ciri-ciri yang diangkat dalam cerita hikayat Jaya Lengkara ini adalah tentang keserakahan manusia akan harta, tahta, dan wanita. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Makdam dan Makdim yang selalu saja berusaha mengusir juga memanfaatkan Jaya Lengkara. Karena bagaimanapun juga, seseorang yang memiliki sifat serakah akan melegalkan segala cara dan rela mengorbankan apa pun demi mendapatkan apa yang ia inginkan.
2. Tokoh dan Perwatakan
Ada beberapa tokoh dengan karakteristik atau perwatakan yang menarik dalam cerita hikayat Jaya Lengkara ini. Di antaranya adalah Jaya Lengkara, Raja Saiful Muluk, Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum, Makdam dan Makdim, juga Tuan Putri Ratna Kasina.
Secara perwatakan, Jaya Lengkara yang merupakan tokoh utama dalam cerita hikayat ini yang memiliki sifat teladan dan selalu memiliki tabiat yang terpuji. Ia juga digambarkan memiliki rupa yang elok rupawan dan memiliki kesaktian mandraguna. Meskipun ia pernah dijahati oleh kakak tirinya, tapi ia tetap menjadi seseorang yang baik hati dan suka membantu sesama.
Sementara Raja Saiful Muluk merupakan ayah dari Jaya Lengkara yang sebenarnya memiliki sifat adil. Sayangnya, ia tidak sabaran dan mudah terprovokasi oleh orang lain. Sebagai seorang raja, ia kurang bisa disebut sebagai seorang raja yang bijaksana karena mudah terhasut pembicaraan orang lain.
Tuan Putri Sakanda Cahaya Rum merupakan ibu dari Jaya Lengkara yang memiliki sifat sabar dan penyayang. Ia juga seseorang yang tidak pendendam dan cukup pandai dalam mneyimpan rahasia. Seperti halnya ketika Makdam dan Makdim datang ke goa. Meskipun ia tahu kedua orang tersebut sudah menzaliminya dan anaknya, tapi tetap saja ia menyambut kedua tamunya itu dengan baik.
Makdam dan Makdim merupakan saudara tiri Jaya Lengkara yang selalu diceritakan beriringan dan memiliki sifat yang kurang lebih sama. Mereka adalah tokoh yang licik, suka menghasut, memfitnat, dan berbohong. Tuan Putri Ratna Kasina adalah anak dari raja negeri Madinah yang berparas cantik jelita dan memiliki sifat bertanggung jawab serta sayang kepada kedua orang tuanya.
3. Latar
Pada dasarnya, ada beberapa latar lokasi yang disebutkan dalam cerita hikayat Jaya Lengkara ini. Di antaranya adalah rumah Jaya Lengkara, hutan tempatnya dibuang, goa tempat tinggal, goa tempat ia bertemu dengan Naga Guna, serta puncak Gunung Mesir.
Sementara latar waktu yang digunakan adalah tujuh hari tujuh malam, dua puluh hari dua puluh malam, dan empat puluh hari empat puluh malam.
4. Alur
Alur yang digunakan dalam cerita hikayat Jaya Lengkara ini adalah alur maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kisahnya diceritakan secara berurutan. Mulai dari kelahirannya di lingkungan kerajaan yang penuh suka cita, kemudian dilanjutkan dengan pengusiran dan pengasingannya ke dalam hutan karena dianggap membawa petaka.
Dalam cerita hikayat ini, Jaya Lengkara tumbuh menjadi seorang anak yang luar biasa hebat dan memiliki kemustahilan atau keahlian. Hingga suatu hari ia bertemu dengan dua saudaranya, Makdam dan Makdim yang dahulu membuatnya diasingkan bersama sang ibunda di dalam hutan.
Mereka bertiga kemudian pergi mencari bunga kuma-kuma putih untuk Raja Saiful Muluk yang sedang sakit parah. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Tuan Putri Ratna Kasina yang juga sedang mencari bunga yang sama untuk ayahnya.
Konflik mulai muncul ketika Makdam dan Makdim berusaha membunuh Jaya Lengkara yang berhasil mendapatkan bunganya. Untungnya, Jaya Lengkara masih bisa selamat. Namun, siapa sangka kalau yang menginginkan bunga tersebut tak hanya Makdam dan Makdim saja, tapi ada juga Putri Ratna Dewi dan Putri Ratna Gemala.
Untungnya, dengan keahliannya dan bantuan dari Naga Guna, Jaya Lengkara berhasil mendapatkan kembali bunga kuma-kuma putih itu dan berhasil menyembuhkan ayahnya. Namun, siapa sangka kalau keserakahan Makdam dan Makdim masih saja terus berlangsung. Mereka kembali berusaha membunuh Jaya Lengkara, tapi tetap saja gagal.
Kisahnya berakhir dengan Jaya Lengkara menikahi Tuan Putri Ratna Kasina yang cantik jelita dan menjadi raja di negeri Madinah.
5. Pesan Moral
Sebenarnya ada banyak sekali pesan moral atau amanat yang bisa didapatkan dalam cerita hikayat Jaya Lengkara ini. Di antaranya adalah sabar dalam menghadapi sesuatu, saling tolong menolong dalam segala situasi, menghormati tamu, dan jangan lupa bersyukur.
Namun, satu pesan moral yang paling penting adalah tentang larangan untuk serakah. Karena serakah merupakan sifat tercela yang nantinya akan melahirkan sifat buruk lain, seperti kebohongan, fitnah, hasut, dan iri hati. Orang yang serakah hidupnya tak akan pernah mendapatkan kebahagiaan karena selalu merasa ada saja yang kurang dan tidak pernah menyukai kelebihan yang didapatkan orang lain. Ia akan selalu berharap apa yang dimili orang lain itu bisa menjadi miliknya.
Selain unsur intrinsik, dalam cerita hikayat Jaya Lengkara ini kamu juga bisa mendapatkan sedikit ulasan tentang unsur ekstrinsik yang melengkapi kisahnya. Seperti nilai sosial, budaya, agama, dan moral.
Fakta Menarik tentang Cerita Hikayat Jaya Lengkara
Kalau sudah membaca unsur intrinsiknya, kini saatnya kamu mengetahui beberapa fakta menarik seputar cerita hikayat Jaya Lengkara ini. Berikut ulasannya!
1. Aslinya Berbahasa Melayu
Berdasarkan kaidah kebahasaan, cerita hikayat Jaya Lengkara ini aslinya menggunakan bahasa Melayu dengan penulisan huruf Arab gundul. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau beberapa katanya tak bisa diterjemahkan begitu saja atau ditemukan padanan katanya dalam bahasa lain. Beberapa di antaranya adalah istilah bunga kuma-kuma putih atau hewan raksa.
Beberapa istilah lain juga ada yang tak bisa diterjemahkan secara langsung dalam bahasa lain, tapi setidaknya masih bisa ditemukan padanannya yang kurang lebih bermakna sama. Dalam artikel ini, beberapa katanya sudah kami permudah dengan menggantinya menggunakan bahasa Indonesia.
2. Ada Versi Wayang Golek dengan Kisah Berbeda
Cerita hikayat Jaya Lengkara ini terkadang membuat beberapa orang bingung karena di Indonesia sendiri sebenarnya ada kisah wayang golek dengan judul yang sama tapi penulisannya di tempel, yaitu Jayalengkara. Namun, kisahnya sama sekali berbeda dengan cerita yang sudah kami siapkan di artikel ini.
Dalam wayang golek tersebut, Jayalengkara merupakan seorang raja yang sangat sakti yang berhasil mengalahkan pasukan bala tentara Raja Urawan yang menyerangnya. Rupanya, Jayalengkara itu merupakan seorang dewi berparas rupawan bernama Candrakirana yang baru saja turun dari kahyangan.
Pasukan bala tentara tersebut rupanya dipimpin oleh seorang pangeran bernama Panji atau Marabangun yang kemudian lebih banyak dikenal dengan nama Jayakusuma. Karena kesal pasukannya dikalahkan oleh Jayalengkara, ia pun berusaha untuk balas dendam.
Namun, ketika mendapati kalau lawannya adalah wanita cantik, Jayakusuma kemudian justru berniat untuk menikahinya. Meskipun awalnya mereka sempat nyaris kembali berkelahi, tapi akhirnya mereka berhasil dilerai dengan bantuan Sang Hyang Narada yang turun ke bumi.
Sang Hyang Narada berusaha menerangkan asal usul alias jati diri mereka berdua. Kisahnya berakhir setelah mereka tersadar dan langsung menghentikan perselisihan itu. Tak lama kemudian, mereka pun akhirnya menikah dan menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan.
Sudah Puas Membaca Cerita Hikayat Jaya Lengkara?
Demikianlah cerita hikayat Jaya Lengkara yang telah kami siapkan khusus untukmu. Kisahnya menarik dan cocok sekali dibacakan untuk buah hati tersayang, kan? Apalagi dari ceritanya kamu bisa mendapatkan pesan moral yang bisa diajarkan untuk mereka.
Kalau masih ingin mencari kisah-kisah lain yang tak kalah seru dan menariknya, jangan lupa cek artikel-artikel di PosKata. Di sini kamu bisa mendapatkan beragam dongeng putri, fabel binatang, cerita 1001 malam, juga kisah-kisah nabi yang indah dan penuh pesan moral. Selamat membaca!