
Kalau sedang mencari ulasan lengkap tentang silsilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Pajajaran, kamu bisa menyimaknya berikut ini. Daripada penasaran, langsung saja dibaca, ya!
Sebuah kerajaan yang mampu mempertahankan eksistensinya selama beberapa ratus tahun tentu tidak terlepas dari raja yang memimpinnya. Nah, berikut adalah silsilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Pajajaran.
Informasi tentang kehidupan sang raja ini didapatkan dari peninggalan-peninggalan yang ditemukan. Bukan hanya dari prasasti, tetapi juga kitab-kitab yang dirilis pada zaman itu.
Sepertinya kamu sudah tidak sabar ingin segera menyimak ulasan tentang silsilah Kerajaan Pajajaran ini, kan? Nggak perlu berlama-lama lagi, langsung saja simak selengkapnya berikut ini.
Raja-Raja yang Pernah Berkuasa di Kerajaan Pajajaran
Berikut ini adalah nama-nama raja yang mengisi daftar silsilah pemimpin Kerajaan Pajajaran. Ulasannya adalah sebagai berikut:
1. Sri Baduga Maharaja
Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja merupakan pendiri sekaligus raja pertama dari Kerajaan Pajajaran. Ia resmi menjadi raja pada tahun 1482 Masehi.
Sang raja merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala yang berasal dari Kerajaan Galuh. Sementara itu, ibunya bernama Mayangsari yang merupakan seorang permaisuri. Ia lahir pada tahun 1401 Masehi di Kawali dengan nama Jayadewata.
Pada waktu masih muda, Jayadewata dikenal sebagai seseorang yang berani dan suka mengembara. Pada saat itu pula, ia berguru untuk memperdalam ilmu pada Ki Gedeng Sindangkasih, yang juga merupakan pamannya.
Kemudian setelah dewasa, ia mewarisi tahta Kerajaan Galuh dan Sunda. Mengapa ia bisa mewarisi kedua kerajaan itu sekaligus? Hal ini dikarenakan laki-laki itu juga merupakan menantu dari Kerajaan Sunda.
Pada waktu kerajaan dipimpin oleh ayah dan mertuanya, terjadi sebuah situasi yang rumit sehingga mengakibatkan perselisihan. Karena peraturan leluhur yang mengatakan kalau para raja tidak boleh bertengkar, maka mereka harus turun tahta.
Ayahnya kemudian memutuskan untuk memberikan tahta kepada Jayadewata. Sementara itu, sang mertua yang bernama Prabu Susuktunggal juga memutuskan untuk menunjuk menantunya. Menurut tulisan yang didapatkan dari prasasti Batutulis, sang raja harus menjalani prosesi penobatan sebanyak dua kali.
Selama memerintah, raja yang paling terkenal ini dapat menghantarkan Kerajaan Pajajaran menuju kejayaan. Kebijakan-kebijakan yang diambil membuat rakyat hidup lebih baik, aman, dan tentram.
Salah satunya adalah dengan membebaskan pajak. Selain itu, ia juga terus membangun infrastruktur untuk mendukung kemajuan bersama.
Baca juga: Nama Para Raja yang Pernah Memerintah Kerajaan Kutai
Istri-Istri dari Sri Baduga Maharaja
Menurut beberapa sumber, Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja tercatat pernah menikah sebanyak tiga kali. Nama-nama dari istri sang raja adalah sebagai berikut:
a. Ambetkasih
Pernikahannya yang pertama adalah sebelum dirinya menjadi seorang raja. Ia menikahi anak perempuan dari Ki Gedeng Sindangkasih yang bernama Ambetkasih. Hal tersebut tertulis dalam sebuah naskah kuno berjudul Cariosan Prabu Siliwangi yang ditulis pada tahun 1435 Masehi.
Nyi Ambetkasih dikenal sebagai seorang perempuan yang memiliki wajah cantik, bijaksana, dan pemberani. Dari pernikahan ini, pasangan tersebut mendapatkan tiga orang anak. Mereka adalah Banyak Catra, Banyak Ngampar, dan Ratna Pamekas.
b. Subang Larang
Selanjutnya, pada waktu masih muda sang raja juga menikahi Subang Larang. Ia adalah putri dari Kerajaan Singapura yang bernama Ki Gedeng Tapa. Sebagai tambahan informasi, kerajaan tersebut merupakan cikal bakal dari Kerajaan Cirebon yang bercorak Islam.
Jayadewata dapat menyanding sang putri setelah mengalahkan Prabu Amuk Murugul dalam sebuah sayembara. Dari pernikahan ini, keduanya kemudian mendapatkan tiga orang anak. Namanya adalah Raden Walangsungsang, Nyimas Rara Santang, dan Raden Kian Santang.
c. Kentring Manik Mayang Sunda
Setelah itu, Sri Baduga dijodohkan dengan anak perempuan dari Kerajaan Sunda yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda. Karena memiliki status yang lebih tinggi, ia kemudian menjadi permaisuri.
Kentring Manik Mayang Sunda dikenal sebagai seseorang yang berhati tulus. Ia juga sering mengunjungi rakyat yang di daerah-daerah terpencil. Karena hal itu, ia begitu dihormati dan dicintai oleh rakyat.
Tidak diketahui dengan jelas berapa jumlah keturunan dari Sri Baduga dengan Kentring Manik Mayang Sunda. Namun, ada dua nama putranya yang dikenal, yaitu Surawisesa dan Surasowan. Salah satunya nanti akan menjadi raja dan meneruskan silsilah kepemimpinan Kerajaan Pajajaran.
Baca juga: Peninggalan Sejarah yang Menunjukkan Eksistensi Kerajaan Tarumanegara
2. Surawisesa
Pada tahun 1521, Sri Baduga Maharaja turun tahta. Silsilah pemimpin Kerajaan Pajajaran kemudian dilanjutkan oleh Raja Surawisesa. Ia menjadi kandidat paling kuat setelah Raden Walangsungsang memilih untuk keluar dari istana karena memperdalam agama Islam.
Dalam Kitab Parahyangan, lelaki tersebut digambarkan sebagai seorang ksatria yang gigih dan pemberani seperti ayahnya. Dalam empat belas tahun pemerintahannya, ia melakukan perang sebanyak 15 kali.
Sewaktu masih menjadi putra mahkota, ia pernah ditugaskan oleh ayahnya untuk menandatangani kerjasama dengan Portugis. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena sang ayah takut jika pelabuhan dagang yang penting diambil alih oleh Kerajaan Demak.
Perjanjian tersebut baru sah ketika Surawisesa diangkat menjadi raja. Isi dari perjanjian tersebut adalah Portugis dapat mendirikan benteng di Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan pasokan lada dari kerajaan sebanyak 1.000 karung per tahunnya.
Sebagai gantinya, Portugis nanti harus membantu Kerajaan Pajajaran untuk melawan musuh. Untuk menandai perjanjian tersebut, didirikan juga sebuah prasasti yang kemudian disebut Padrao.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Raden Wijaya, Sang Pendiri Kerajaan Majapahit
Terjadinya Perang dengan Cirebon
Perjanjian antara Kerajaan Pajajaran dengan Protugis tersebut ternyata membuat Kerajaan Demak menjadi gusar. Karena jika Sunda Kelapa dan Malaka dikuasai oleh Portugis, maka akan berimbas kepada perekonomian kerajaan tersebut yang mengandalkan perdagangan.
Kerajaan Demak yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggono kemudian mengirim utusan untuk merebut Sunda Kelapa. Pada saat penyerangan, pasukan Portugis sedang kekurangan pasukan. Maka dari itu dapat dipukul mundur dengan mudah.
Kekuatan Pajajaran semakin lama semakin melemah. Setelah itu terjadi pula penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon yang sudah menjalin kerjasama dengan Demak.
Kemudian pada tahun 1531, kedua kerajaan tersebut menandatangi perjanjian damai. Intinya adalah mereka tidak akan saling serang dan mengakui keberadaan kerajaan masing-masing. Pada akhirnya, Kerajaan Pajajaran kehilangan hampir separuh wilayahnya.
Kemudian pada tahun 1533, Raja Surawisesa mendirikan sebuah monumen peringatan untuk mengenang kejayaan Sri Baduga Maharaja. Tugu yang kini dikenal dengan nama Prasasti Batutulis tersebut dibuat bertepatan dengan peringatan 12 tahun kematian sang ayah.
Prasasti tersebut sepertinya juga merupakan tanda penyesalan sang raja. Hal itu dikarena dirinya tidak mampu mempertahankan wilayah dan menjadi pemimpin sebaik ayahnya.
Meskipun dikenal dengan seorang pemberani, rupanya raja Surawisesa tidak terlalu disenangi karena suka menyelesaikan masalah menggunakan jalur kekerasa. Akibatnya, banyak rakyat yang akhirnya malah menderita. Lalu pada tahun 1535 Masehi, Raja Surawisesa turun tahta setelah memimpin selama 14 tahun.
Baca juga: Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui
3. Ratu Dewata
Sepeninggal Raja Surawisesa, kursi kekuasaan Kerajaan Pajajaran kemudian jatuh ke tangan anak laki-lakinya yang bernama Ratu Dewata. Ia resmi diangkat menjadi raja pada tahun 1535 Masehi.
Kepribadian raja yang baru ini kerap dibanding-bandingkan dengan ayahnya. Sang ayah dikenal begitu pemberani dan bisa menjalankan siasat politik. Sementara itu, Ratu Dewata lebih memilih untuk fokus dengan kegiatan keagamaan dan tidak terlalu mengurusi kegiatan politik.
Perjanjian damai yang dibuat bersama dengan Cirebon membuatnya lengah dan mengira semua akan baik-baik saja. Padahal tanpa ia ketahui, kerajaan tetangga itu diam-diam menyusun siasat untuk melakukan penyerangan.
Pada saat Kerajaan Cirebon menyerang, sang raja beruntung karena masih memiliki pasukan tangguh peninggalan dari kepemimpinan sebelumnya. Serangan mendadak ke ibu kota kerajaan itu tidak terlalu fatal dan masih bisa ditangani dengan baik.
Dalam Naskah Parahyangan, Ratu Dewata dikenal sebagai seorang raja yang terlalu alim sehingga tidak terlalu disukai. Sebagai pemimpin seharusnya ia yang maju paling depan untuk melindungi rakyat.
Namun, ia malah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa. Padahal, hal itu seharusnya hanya dapat dilakukan ketika sudah turun tahta. Parahnya lagi, banyak yang mengatakan kalau sang raja memiliki kepribadian penakut karena lebih memilih untuk bersembunyi dengan melakukan pertapaan.
Masa pemerintahan pemegang silsilah raja Kerajaan Pajajaran ketiga ini tidak berlangsung lama. Ia turun tahta pada tahun 1543 dan hanya memegang kekuasaan selama delapan tahun saja.
Baca juga: Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat
4. Ratu Sakti
Silsilah raja yang memimpin Kerajaan Pajajaran selanjutnya adalah Ratu Sakti. Ia merupakan anak laki-laki dari Ratu Dewata yang resmi memerintah pada tahun 1543 Masehi.
Sayangnya, kondisi kerajaan semakin memburuk setelah diperintah olehnya. Diketahui, sang raja dikenal sebagai seseorang yang begitu kejam dan bertangan besi.
Dalam masa pemerintahannya, Ratu Sakti menerapkan hukuman yang semena-mena. Bahkan, hanya melakukan kesalahan kecil saja bisa membuat dirinya menjatuhkan hukuman mati.
Ia juga merupakan orang yang egois dan hidup berfoya-foya. Terlebih lagi, ia memiliki kegemaran untuk mabuk-mabukan.
Sang raja juga bukan seseorang yang patuh akan adat seperti pendahulunya. Ia berani menikahi seorang perempuan bernama Rara Hulajar yang secara adat itu dilarang. Bahkan, ia juga menikahi ibu tirinya sendiri.
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Pajajaran benar-benar berada pada periode yang begitu kelam. Padahal kalau saja ia bisa meredam egonya dan menjadi raja yang baik, ia dapat merebut kembali wilayah kerajaan yang direbut oleh Cirebon.
Karena pada waktu itu, kerajaan tetangga sedang sibuk untuk melakukan penaklukkan di daerah Jawa bagian timur. Pengamanan wilayah kekuasaan di daerah Jawa bagian barat pun menjadi longgar.
Akan tetapi, yang terjadi adalah ia hanya mementingkan diri sendiri dan tetap memeras rakyat dengan menetapkan pajak yang tinggi. Pada akhirnya, banyak rakyat yang memilih kabur ke Banten maupun Cirebon.
Pemerintahan Ratu Sakti juga tidak bertahan lama. Ia hanya memerintah selama delapan tahun dan meninggal dunia di tahun 1551. Mengenai penyebab kematiannya tidak diketahui, tetapi sang raja kemudian dikebumikan di Pengpelangan.
Baca juga: Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri
5. Ratu Nilakendra
Sumber: Wikimedia Commons
Pada tahun 1551 Masehi, Ratu Nilakendra resmi naik tahta dan menjadi Raja Pajajaran. Sayangnya, ia mewarisi pemerintahan yang cukup kacau dari periode yang sebelumnya.
Karena hal tersebut, kebijakan yang diambilnya tidak berpengaruh terlalu banyak. Kehidupan rakyat begitu sengasara dan terjadi bencana kelaparan di mana-mana.
Namun tidak ada sedikit pun bantuan yang diberikan oleh kerajaan. Keadaan itu kemudian memicu tindak kejahatan yang merajalela di wilayah kerajaan.
Situasi yang demikian kemudian membuat suasana di istana menjadi semakin runyam. Belum lagi rasa cemas yang dirasakan karena takut jika ada musuh yang tiba-tiba menyerang.
Penganut Aliran Sesat
Sebenarnya, pemegang raja pemegang silsilah Kerajaan Pajajaran yang kelima ini memiliki sifat yang lebih baik. Ia bukanlah seseorang yang gemar melanggar peraturan dan adat istiadat.
Namun entah siapa yang memulai, sang raja dan bangsawan lainnya kemudian memperdalam agama, yang sayangnya beraliran sesat, yaitu Tantrayana. Aliran tersebut dinilai sesat karena ketika bermeditasi melibatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Yang mengecewakannnya lagi adalah Raja Nilakendra lebih memilih untuk memperindah istana dengan menggunakan emas. Padahal, rakyat sedang benar-benar membutuhkan bantuan. Selain itu, istana tersebut ditempeli dengan jimat-jimat perlindungan.
Hingga kemudian, pasukan Banten pun menyerang kerajaan tersebut. Bukannya mengatur siasat yang baik untuk melawan, sang raja malah mengandalkan sebuah bendera keramat untuk membantu mengalahkan musuh.
Menurut kepercayaannya, jimat itu akan mampu melindunginya. Namun celakanya, benda tersebut justru tidak berguna sama sekali.
Kerajaan Banten dapat dengan mudah mengalahkan Pajajaran. Raja Nilakendra pun melarikan diri dan bersembunyi.
Baca juga: Silsilah Lengkap Raja-Raja yang Pernah Menjadi Pemimpin Kerajaan Singasari
6. Prabu Surya Kencana
Sepeninggal Raja Nilakendra, Kerajaan Pajajaran mengalami kekosongan pemerintahan. Meski begitu, beruntung pada waktu itu tidak ada musuh yang dapat menyerang karena kerajaan masih dilindungi benteng sakti buatan Sri Baduga Maharaja.
Baru pada tahun 1567 Masehi, Prabu Surya Kencana naik tahta untuk mengambil alih pemerintahan. Asal usul mengenai sang raja juga menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan kalau ia adalah putra dari Ratu Sakti. Namun, ada pula yang mengatakan kalau ia merupakan anak laki-laki Ratu Nilakendra.
Pada masa kepemimpinannya, pusat pemerintahan berada di Pulasari, bukan Pajajaran. Sayangnya, tidak ada informasi lebih rinci mengenai kebijakan yang dilakukan oleh raja.
Menurut beberapa sumber, sang raja menikah sebanyak dua kali. Yang pertama adalah dengan Nyimas Ratna Gumilang. Dalam catatan hanya disebutkan kalau pasangan ingin hanya memiliki seorang putra bernama Raden Aji Mantri.
Sementara itu dari pernikahan keduanya bersama Nyimas Oo Imahu, sang raja memiliki enam orang anak. Mereka adalah Nyimas Harim Hotimah, Sari Atuhu, Sastra Pura Kusumah, Istihilah Kusumah, Kokom Ruhada, dan Suniasih.
Runtuhnya Kerajaan Pajajaran
Lalu pada tahun 1579 Masehi terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Banten. Informasi tersebut tertuang dalam Naskah Banten.
Kerajaan tersebut akhirnya dapat menyerang pertahanan benteng Pajajaran karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh sang komandan. Ia merasa sakit hati karena tidak pernah mendapatkan kenaikan pangkat.
Akibat dari pengkhianatan tersebut, pasukan Banten yang dipimpin oleh Maulana Yusuf bisa dengan mudah masuk ke benteng. Pertarungan pun tidak dapat terhindarkan dan dimenangkan oleh pihan Banten.
Pertempuran tersebut diakhiri dengan diboyongnya tempat duduk raja atau Palangka Sriman Sriwacana ke istana Banten. Hal tersebut menyimbolkan bahwa tidak akan ada lagi raja yang bisa dinobatkan oleh Pajajaran. Dengan demikian, silsilah raja yang memimpin Kerajaan Pajajaran berakhir di era Prabu Surya Kencana.
Baca juga: Prasasti-Prasasti Peninggalan yang Menjadi Bukti Eksistensi Kerajaan Mataram Kuno
Sudah Puas Menyimak Ulasan Silsilah Kerajaan Pajajaran di Atas?
Demikianlah tadi ulasan lengkap tentang silsilah raja yang memerintah Kerajaan Pajajaran. Semoga saja setelah membacanya, kamu mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang terjadi dengan kerajaan tersebut pada masa lampau.
Nah, untuk kamu yang mungkin juga penasaran dengan informasi serupa mengenai kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, mending cek saja artikel-artikel PosKata yang lain. Jangan sampai dilewatkan, ya!