
Kamu sedang mencari informasi tentang silsilah raja-raja yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam? Kalau iya, pas banget, nih, karena kamu bisa menyimak ulasan lengkapnya di sini. Daripada semakin penasaran, cek selengkapnya berikut ini.
Kalau membicarakan tentang silsilah raja-raja dari Kerajaan Aceh Darussalam, kamu mungkin sudah tidak asing dengan Sultan Iskandar Muda. Ia adalah raja paling terkenal yang berhasil membawa kerajaan Aceh menuju puncak kejayaan.
Nah, di sini nanti, kamu tidak hanya akan menyimak informasi mengenai Sultan Iskandar Muda saja. Akan tetapi, ada juga ulasan mengenai pemimpin lain yang tidak boleh dilewatkan. Termasuk, juga di dalamnya tentang sultanah wanita yang berhasil memimpin kerajaan tersebut.
Bagaimana? Apakah kamu sudah semakin tidak sabar ingin segera mengetahui silsilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Aceh Darussalam ini, kan? Kalau begitu, langsung saja cek ulasannya berikut ini, yuk!
Silsilah Raja-Raja Pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam
Di bawah ini adalah nama raja-raja yang menempati silsilah Kerajaan Aceh Darussalam. Adapun ulasannya adalah sebagai berikut:
1. Sultan Ali Mughayat Syah
Raja pertama sekaligus pendiri dari Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Ia dinobatkan menjadi raja pada tahun 1514 Masehi dan bergelar al-Malik as-Shalih.
Dirinya memilih pusat kota sebagai lokasi pendirian Kerajaan Aceh Darussalam. Ibu kotanya lalu diberi nama Bandar Aceh Darussalam.
Menurut beberapa sumber sejarah, sang sultan sebenarnya adalah seorang pemimpin wilayah yang diangkat pada tahun 1507. Dulu, wilayahnya merupakan salah satu bawahan dari Kerajaan Lamuru yang bercorak Hindu.
Salah satu agendanya ketika menjadi pemimpin adalah memimpin pasukannya untuk menaklukkan daerah-daerah lain di sekitarnya. Sesudah itu, ia kemudian memutuskan untuk melepaskan wilayahnya dari Kerajaan Lamuru dan mendirikan kerajan sendiri.
Peristiwa tersebut juga didorong oleh kedatangan Portugis pada tahun 1511 ke Aceh. Pada saat itu, Portugis dikenal tidak terlalu menyukai Islam dan membunuh umat muslim dengan kejam. Dengan semangat yang membara, ia mengerahkan pasukannya untuk mengusir bangsa penjajah itu dari tanah leluhurnya.
Pada tahun 1520, Sultan Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer guna menaklukkan wilayah-wilayah di Sumatra bagian utara. Kegiatan ini sekaligus menjadi agenda penyebaran agama Islam karena di ketahui, di daerah itu belum mengenal Islam.
Setelah misinya selesai, sang raja kemudian melakukan perluasan wilayah hingga ke pantai timur Sumatra. Diketahui, di situ memang dikenal sebagai penghasil emas dan rempah-rempah. Ia lalu mendirikan banyak sekali pelabuhan dan memperkuat militer laut untuk membuat perekonomian semakin maju.
Pada masa kepemimpinannya, Sultan Ali Mughayat Syah memang pernah mengalahkan pasukan Portugis. Ia bahkan berhasil merampas benda-benda berharga milik mereka seperti meriam, senapan, dan pedang. Namun, hal tersebut tidak benar-benar bisa mengusir Portugis dari wilayahnya.
Karena pada tahun 1524, pasukannya dapat dipukul mundur oleh Portugis saat akan menaklukkan daerah Aru. Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada tahun 1530 sebelum benar-benar mewujudkan cita-citanya untuk mengenyahkan Portugis.
Baca juga: Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat
2. Sultan Salahuddin
Setelah wafatnya Sultan Ali Mughayat Syah, silsilah kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalan kemudian dilanjutkan anak laki-lakinya, yaitu Sultan Salahuddin. Menurut catatan sejarah, ia resmi diangkat menjadi raja pada tahun 1530 Masehi.
Namun sayang sekali, informasi mengenai pemimpin yang satu ini tidak banyak diketahui. Hanya saja, dirinya dinilai sebagai seorang raja yang begitu lemah. Berbeda sekali dengan sang ayah yang begitu gigih dan tangguh.
Karena ketidakcakapannya dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam, ia kemudian dikudeta oleh adiknya sendiri. Maka dari itu, kepemimpinannya pun tidak berlangsung lama.
Sebenarnya, tidak ada catatan pasti mengenai kapan ia turun tahta. Namun, diperkirakan ia menyudahi masa kepemimpinannya sekitar tahun 1537.
3. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar
Raja yang menempati daftar silsilah pemimin Kerajaan Aceh selanjutnya adalah Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. Seperti yang telah kamu baca di atas, ia adalah adik laki-laki dari Salahuddin.
Ia dinobatkan pada tahun 1537 Masehi. Di era pemerintahannya ini, situasi kerajaan bisa dibilang lebih baik dan kuat daripada sebelumnya.
Sultan Alauddin rupanya mewarisi semangat sang ayah untuk mengusir Portugis dari wilayahnya. Untuk memperkuat pertahanan, ia kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Turki Ottoman.
Sultan Turki menyambut hal tersebut dengan baik. Ia kemudian mengirimkan prajurit ahli serta ahli pembuat senjata ke Aceh.
Setelah semua persiapan matang, sang sultan kemudian berusaha menaklukkan Semenanjung Melayu. Ia menyerang daerah tersebut karena merupakan wilayah kekuasaan Portugis. Daerah yang ditaklukkan tidak hanya di pesisir saja, tetapi juga pedalaman. Setelah itu, ia juga berhasil menaklukkan Kerajaan Aru.
Pedalam Batak pun tidak lepas dari sasaran. Sultan Alauddin berusaha menaklukkan wilayah tersebut karena kebanyakan warganya pada saat itu memeluk agama Hindu. Ia ingin agar pengaruh Islam semakin luas.
Wilayah Kerajaan Aceh Darussalam kian hari kian luas. Rakyatnya pun hidup dengan makmur. Karena kesuksesannya itu, Kerajaan Aceh menjadi semakin disegani.
Raja ketiga tersebut bisa dibilang cukup lama memerintah, yaitu sekitar 30 tahun. Diketahui dari nisan yang ada di makamnya, ia meninggal pada tanggal 28 September 1571.
Baca juga: Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri
4. Sultan-Sultan Sebelum Iskandar Muda Bagian I
Kerajaan Aceh Darussalam bisa dibilang mengalami periode yang suram setelah ditinggal oleh Sultan Alauddin. Pada era tersebut, para keturunan saling menyerang satu sama lain untuk mendapatkan kekuasaan. Menurut catatan sejarah, setidaknya ada delapan raja yang berkuasa di periode tersebut.
Pada tahun 1568–1575, silsilah raja-raja Kerajaan Aceh diteruskan oleh Sultan Husain Ali Riayat Syah. Ia merupakan anak laki-laki dari Sultan Alauddin.
Setelah itu, muncul nama Sultan Muda yang hanya menduduki tahta sangat singkat, bahkan tidak ada satu tahun. Hal tersebut dikarenakan ia dibunuh akibat intrik perebutan kekuasaan.
Kemudian, yang menggantikannya sekaligus menjadi raja yang keenam adalah Sultan Sri Alam. Ia juga merupakan putra dari Sultan Alauddin. Sayang sekali, kekuasaan yang direbutnya secara kotor ini juga tidak bertahan lama. Ia hanya memerintah dari tahun 1575–1576 saja.
Di tahun 1576, Sultan Zainal Abidin kemudian meneruskan tampuk kepemimpinan. Ia adalah salah satu dari cucu Sultan Alauddin. Ia juga hanya memerintah selama satu tahun saja sebelum diterukan oleh Sultan Alauddin Mansur Syah.
Sang sultan menjadi raja kedelapan dan naik tahta pada tahun 1577. Ia kurang lebih memimpin selama 12 tahun sebelum akhirnya turun tahta, yaitu pada tahun 1589.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Raden Wijaya, Sang Pendiri Kerajaan Majapahit
5. Sultan-Sultan Sebelum Iskandar Muda Bagian II
Untuk selanjutnya, berikut adalah nama raja-raja yang mengisi daftar silsilah Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Mansur Syah lalu digantikan oleh Sultan Buyong. Ia sebenarnya bukanlah keturunan asli dari Kerajaan Aceh. Asalnya dari Kerajaan Inderapura, Sumatera Barat.
Laki-laki tersebut merupakan kakak dari Raja Dewi yang menikahi Sultan Sri Alam. Mengenai alasan diangkatnya pun tidak ada sumber yang mencatatnya dengan jelas. Para ahli sejarah berpedandapat bahwa mungkin pada saat itu tidak ada laki-laki dewasa yang dapat menggantikan sultan yang terbunuh.
Masa pemerintahannya pun tidak berlangsung lama. Ia meninggal karena dibunuh pada tahun 1589. Konon, yang mendalangi kejadian itu adalah kubu bangsawan sultan yang menghendaki pergantian pemimpin.
Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil lalu naik tahta untuk menggantikan Sultan Buyong pada tahun 1589. Pada masa pemerintahannya, terjadi sebuah peristiwa penting yaitu Belanda, Inggris, dan Perancis datang bersaaman di Selat Malaka.
Situasi pada saat itu menjadi semakin rumit karena timbulnya perpecahan akibat salah sangka dan juga adu domba. Pada tahun 1604 Masehi, ia digulingkan dari tahta kekuasaan karena sudah tua.
Di tahun 1604, Sultan Ali Riayat Syah menggantikannya dan menjadi Raja Kerajaan Aceh kesebelas. Masa kepemimpinannya begitu singkat dan penuh pergolakan politik. Ia hanya berkuasa selama tiga tahun saja.
Baca juga: Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui
5. Sultan Iskandar Muda
Setelah mengalami periode yang cukup kelam selama beberapa puluh tahun, Kerajaan Aceh mulai bangkit dari keterpurukan. Hal tersebut dikarenakan sosok Sultan Iskandar Muda yang begitu tangguh dan bijaksana dalam memimpin.
Pada masa kepemimpinannya yang dimulai dari tahun 1607, sang sultan berhasil memperluas wilayah kerajaan. Ia tidak hanya dapat menyatukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya melepaskan diri.
Akan tetapi, ia juga berhasil menaklukkan wilayah Semenanjung Malaya. Contohnya seperti Malaka, Pahang, Johor, Kedah, dan Perak. Selain itu, wilayah yang sekarang menjadi negara Thailand pun dikuasainya.
Sementara itu, Sultan Iskandar Muda juga dapat memajukan perekonomian Kerajaan Aceh. Ia dapat menguasai dan mempertahankan pelabuhan-pelabuhan dagang penting. Ia juga membuat para pedagang asing untuk tunduk dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya.
Di bidang pertahanan, sang sultan memperkuat armada perangnya. Terutama angkatan lautnya untuk melindungi pelabuhan dari serangan pihak-pihak asing. Dengan pasukannya yang sangat kuat, ia tidak segan-segan untuk menumpas siapa pun yang berani mengusik kedamaian wilayahnya.
Pada tahun 1615, Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun sayang, serangan tersebut dapat digagalkan. Dengan pantang menyerah, kerajaan tersebut menyerang untuk kedua kalinya pada tahun 1629.
Sebenarnya serangan ini hampir berhasil, hanya saja Portugis kemudian mendapatkan bantuan dari kerajaan yang menjadi musuh Aceh Darussalam.
Akhirnya, pasukan harus ditarik mundur dan kembali dengan tangan hampa. Setelah itu, sang raja memutuskan untuk lebih fokus pada masalah pemerintahan dan pendidikan agama.
Kehidupan Pribadi Hingga Wafatnya
Sultan Iskandar Muda diperkirakan lahir sekitar tahun 1593 dengan nama Tun Pangkat Darmawangsa. Ia adalah putra dari Sultan Mansur Syah. Sang ayah merupakan cucu dari Sultan Aceh ke-3, yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
Sementara itu, ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa yang merupakan anak dari Sultan Aceh kesepuluh, yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah. Karena garis keturunannya ini, Sultan Iskandar Muda memang berhak mewarisi tahta kerajaan. Sejak kecil, ia memang dipersiapkan untuk menjadi seorang pemimpin.
Setelah dewasa, Sultan Iskandar Muda menikahi seorang putri asal Kesultanan Pahang. Namanya adalah Putroe Phang. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak bernama Putri Sri Alam yang lahir pada tahun 1612.
Menurut catatan beberapa sumber sejarah, Raja Kerajaan Aceh tersebut diketahui juga memiliki selir yang tidak disebutkan namanya. Dari selirnya ini, ia memiliki seorang anak laki-laki bernama Meurah Pupok.
Pada awalnya, Meurah Pupok dipersiapkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi penerusnya. Namun karena putranya melakukan pelanggaran hukum yang berat, akhirnya harus mendapatkan hukuman yang setimpal, yaitu dirajam hingga meninggal.
Setelah hukuman dilakukan, fakta pun terkuak kalau itu semua hanyalah fitnah belaka. Nasi telah menjadi bubur, sang sultan memang tidak bisa menghidupkan putranya kembali. Akan tetapi, ia memberi contoh kalau keadilan memang harus ditegakkan.
Sultan Iskandar Muda cukup lama memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu selama 29 tahun. Ia meninggal karena sakit keras pada tanggal 27 Desember 1636.
Kemudian pada tanggal 14 September 1993, sang sultan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia. Namanya diabadikan di beberapa bangunan penting seperti bandara, udara, kapal, taman, yayasan, dan juga ruas jalan.
Baca juga: Prasasti-Prasasti Peninggalan yang Menjadi Bukti Eksistensi Kerajaan Mataram Kuno
6. Sultan Iskandar Thani
Yang mengisi daftar silsilah raja Kerajaan Aceh Darussalam selajutnya adalah Sultan Iskandar Thani. Ia memiliki nama asli Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah.
Raja Aceh ketigabelas ini sebenarnya bukanlah keturunan asli dari Aceh. Ia berasal dari Pahang yang kemudian menikah dengan putri Iskandar Muda, yaitu Putri Sri Alam.
Karena putra Sultan Iskandar Muda sudah wafat dan tidak memiliki keturunan laki-laki lain, akhirnya ialah yang naik tahta. Ia resmi dinobatkan menjadi pemimpin pada tahun 1636 Masehi.
Gaya kepemimpinan Sultan Iskandar Thani ini berbeda dengan pendahulunya. Daripada melakukan perluasan wilayah, ia lebih memilih fokus pada perkembangan dan pendidikan agama Islam.
Bahkan, ia menjadikan istana sebagai pusat pendidikan. Dirinya juga turut andil dalam penyebaran agama Islam di luar Aceh.
Urusan politik tentu saja tetap dijalankan. Hanya saja, bisa dibilang lebih lunak jika dibandingkan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani tidak berlangsung lama. Ia kurang lebih hanya memimpin selama lima tahun saja. Kebijakan-kebijakan yang diambilnya bakan belum berdampak besar terhadap kemajuan kerajaan.
Pada tahun 1641, ia meninggal dunia. Usianya masih muda saat itu, yaitu 31 tahun aja. Perihal penyebab kematiannya masih menjadi misteri.
Namun, upacara pemakamnnya dilangsungkan dengan mewah. Dikarenakan belum sempat memiliki keturunan, akhirnya tahta Kerajaan Aceh jatuh ke tangan Putri Sri Alam.
Baca juga: Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai yang Sarat Akan Nilai Sejarah
7. Sultanah Safiatuddin
Putri Sri Alam resmi menjadi pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam menggantikan suaminya pada tahun 1641. Gelarnya adalah Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Ia menjadi pemimpin wanita pertama yang mengisi daftar silsilah raja-raja yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Pada waktu itu, keadaannya memang sulit untuk mencari laki-laki yang masih memiliki hubungan darah untuk naik tahta.
Pengangkatan tersebut tentu saja tidak berjalan mulus begitu saja. Pasalnya golongan ulama dan wujudiah tidak setuju jika dipimpin oleh seorang wanita. Salah satu alasannya karena pada waktu itu pemimpin wanita memang tidaklah lazim. Terlebih lagi, ada yang mengatakan bahwa dipimpin oleh seorang perempuan bertentangan dengan hukum Islam.
Keadaan pun menjadi kisruh karena hal tersebut. Hingga akhirnya, sang ulama besar, yaitu Nuruddin ar-Raniri, turun tangan dan berhasil menengahi kericuhan yang terjadi. Keputusannya adalah Sultanah Safiatuddin tetap menduduki posisinya sebagai pemimpin kerajaan.
Masa Kepemimpinan Sultanah Safiatuddin
Meskipun pada awalnya seperti diremehkan, sang sultanah mampu membuktikan kalau dirinya bisa memimpin kerajaan. Buktinya, perekonomian kerajaan mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pada masa pemerintahannya, rakyat hidup dengan makmur dan sejahtera. Pada saat itu, makanan harganya murah dan mudah didapatkan. Selain perekonomian, bidang sastra dan budaya juga mengalami perkembangan yang baik.
Hal tersebut lantaran sang sultanah juga menyukai dunia tulis menulis. Beberapa karya yang lahir di era kepemimpinannya adalah Shiratul Mustaqim, Syaiful-Qutub, Bustanul Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin, dan Mir’at al Tullab.
Di zamannya pula, kedudukan wanita menjadi lebih diperhitungkan. Seperti pada tahun 1639 saat terjadinya Perang Malaka, ia membentuk pasukan khusus untuk menjaga benteng istana yang semuanya beranggotakan perempuan.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Sultanah Safiatuddin mampu mengantarkan menjadi pemimpin yang disegani dan dicintai oleh banyak orang. Maka dari itu, masa kepemimpinannya bisa cukup lama, yaitu selama 34 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 1675 Masehi.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
8. Raja-Raja yang Lain
Seperti yang mungkin telah kamu baca sebelumnya, pernikahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Safiatuddin tidak mendapatkan keturunan. Maka dari itu, sang sultanah mempersiapkan beberapa anak angkatnya untuk mewarisi tahta kerajaan.
Mereka adalah Naqi Al-Din Nur al-Alam, Zaqi al-Din Inayat Syah, dan Kamalat Syah Zinat al-Din. Ya, ketiganya adalah perempuan dan konon tidak memiliki hubungan darah dengan sultanah.
Setelah Sultanah Safiatuddin wafat, singgasana Kerajaan Aceh Darussalam kemudian diteruskan oleh Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam. Tidak banyak yang dapat dikulik dari pemerintahan sultanah yang satu ini. Hanya saja, ia cukup lama memerintah dari tahun 1675 sampai 1678.
Dua periode kekuasaan selanjutnya juga masih dipegang oleh perempuan. Pada tahun 1678 hingga 1688, silsilah Kerajaan Aceh Darussalam diteruskan oleh Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah.
Setelah itu, baru Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din yang menjabat sebagai sultanah. Ia resmi menjadi ratu pada tahun 1688. Masa jabatannya cukup lama yaitu sampai 1699.
Sepeninggal Sri Ratu Kamalat Syah, pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam jatuh ketangan Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din. Ia memrintah pada tahun 1699 hingga 1702. Selanjutnya, masih ada tujuh belas raja lagi yang meneruskan tonggak kepemimpinan kerajaan tersebut.
Baca juga: Informasi Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Memimpin Mataram Kuno
9. Sultan Daud Syah
Sultan Daud Syah merupakan raja terakhir yang menempati daftar silsilah pewaris Kerajaan Aceh Darussalam. Ia naik tahta pada tahun 1875.
Pada waktu itu usianya masih sangat muda, yaitu tujuh tahun. Dirinya diangkat menjadi raja karena menggantikan Sultan Alaiddin Mahmudsyah yang terkena wabah kolera.
Apabila dibandingkan dengan raja-raja yang sebelumnya, kehidupan sang sultan bisa dibilang sangatlah miris. Tidak ada lagi kemewahan yang tersisa untuknya. Bahkan, ia dinobatkan menjadi raja di sebuah masjid.
Sebenarnya, ia bisa saja mendapatkan kemewahan apabila bekerja sama dengan Belanda, seperti kebanyakan bangsawan pada waktu itu. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Karena sampai kapan pun, ia tidak akan pernah tunduk kepada Belanda.
Seluruh hidupnya dihabiskan untuk mempertahankan kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam. Ia bergerilya di hutan-hutan untuk memimpin perlawanan terhadap penjajah.
Namun kemudian, sekitar tahun 1903, Sultan Daud Syah ditangkap oleh Belanda dan dijadikan tahanan rumah. Penangkapan tersebut berdasarkan sikap sultan yang menolak kooperatif untuk menandatangi perjanjian damai.
Menjadi tahanan rumah tak menyurutkan semangatnya untuk melakukan perlawanan. Bersama beberapa tokoh Aceh lainnya, ia bahkan masih mengatur siasat menyerang Belanda. Kemudian pada tahun 1907, Sultan Daud Syah dibuang ke Pulau Jawa. Di tahun 1918, mereka kemudian dipindahkan ke Jakarta.
Sang sultan meninggal pada tanggal 6 Februari 1939 dan dimakamkan di Pemakaman Umum, Rawamangun, Jakarta. Tim Sejarah dan Budaya Aceh sebenarnya pernah mengusulkan sang sultan untuk diangkat menjadi pahlawan nasional. Sayangnya, belum mendapatkan tanggapan dari pemerintah.
Baca juga: Peninggalan Bersejarah yang Membuktikan Keberadaan Kerajaan Pajajaran
Sudah Puas Menyimak Informasi Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja Pemimpin Kerajaan Aceh Ini?
Demikinalan ulasan lengkap mengenai silsilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Bagaimana? Semoga setelah membacanya kamu mendapatkan pengetahuan baru.
Untuk yang mungkin juga mencari informasi serupa tentang kerajaan-kerajaan di nusantara, mending langsung saja cek artikel PosKata yang lainnya. Kamu dapat menemukan informasi tentang sejarah, peninggalan-peninggalan berharga, hingga penyebab keruntuhan kerajaan-kerajaan seperti Majapahit, Samudra Pasai, Tarumanegara, dan masih banyak lagi. Jangan sampai dilewatkan, ya!