
Pertempuran yang melibatkan Komodor Yos Sudarso ini terjadi di perairan Laut Aru. Bersama dengan pasukannya, ia sedang menjalani misi rahasia untuk memata-matai tentara Belanda. Namun naas, mereka ketahuan dan mendapatkan serangan dari Belanda.
Kamu mungkin tak banyak mendengar tentang salah satu peristiwa sejarah yang terjadi setelah Indonesia merdeka ini. Pada tanggal 15 Januari 1962, terjadi pertempuran di Laut Aru antara tentara Republik Indonesia dengan Belanda.
Menurut sebuah sumber sejarah, hal yang melatarbelakangi peperangan tersebut adalah karena Belanda mengingkari keputusan yang telah menjadi kesepakatan bersama di Konferensi Meja Bundar (KMB). Lebih tepatnya karena masalah wilayah Irian Barat. Akan tetapi, benarkah demikian?
Penasaran ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya? Kalau iya, nggak usah kebanyakan basa-basi lagi. Mending langsung cek saja ulasan lengkap tentang Pertempuran Laut Aru di bawah ini, yuk!
Latar Belakang Pertempuran Laut Aru
Apabila ditarik ke belakang, kejadian peperangan di Laut Aru bermula dari kekalahan Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Memanfaatkan situasi tersebut, Indonesia lalu memproklamasikan kemerdekaan dua hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai negara yang baru, Indonesia telah menentukan wilayah mana saja yang akan menjadi teritorinya. Sesuai dengan kesepakatan bersama saat sidang persiapan kemerdekaan, wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah Hindia-Belanda. Termasuk di dalamnya adalah bagian barat Irian.
Pada awalnya, Belanda menolak kemerdekaan Indonesia. Meskipun akhirnya mau berkompromi, bangsa asing itu kekeuh menolak Irian masuk ke wilayah RI.
Salah satu alasannya adalah karena mereka masih menganggap kalau Irian masuk ke wilayah Kerajaan Belanda. Nantinya, mereka akan menjadikan wilayah tersebut sebagai negara merdeka.
Hal tersebut tentu saja membuat pemerintah Indonesia geram. Selanjutnya, wilayah itu menjadi rebutan antara Indonesia dan Belanda.
Kedua belah pihak lalu mengadakan berbagai perundingan, namun tidak pernah mencapai kesepakatan. Pada Konferensi Meja Bundar yang terselenggara di Den Haag tahun 1949, mereka setuju untuk membicarakan mengenai status Irian Barat dalam jangka waktu satu tahun.
Baca juga: Budi Utomo: Organisasi Pergerakan Nasional Pertama di Indonesia
Kelanjutan Kasus Irian Barat
Setahun berlalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa lalu membuat keputusan kalau Irian Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan Piagam PBB. Karena itu, Indonesia lalu mengklaim daerah tersebut menjadi wilayahnya.
Hal itu tentu saja tidak diterima oleh Belanda yang kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Internasional. Indonesia menolak usulan tersebut. Selama bertahun-tahun, Irian Barat masih menjadi rebutan antara Belanda dan Indonesia.
Pada tahun 1954, pihak Indonesia beberapa kali membawa masalah mengenai Irian Barat pada Sidang Majelis Umum PBB. Akan tetapi, usaha tersebut belum membuahkan hasil karena tidak mendapatkan dukungan dari anggota PBB yang lain.
Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB pun tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena hasil votingnya tidak mencapai perolehan suara minimal. Alasannya adalah karena banyak negara-negara yang mendukung Belanda.
Hal ini tentu saja membuat bangsa asing itu semakin tak mau merelakan dan melepaskan wilayah sengketa. Bahkan, mereka seperti menutup akses untuk membahas perkara tersebut lebih lanjut.
Tak ingin masalah persengkataan Irian Barat semakin berlarut-larut, akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggunakan cara lain. Tentu saja tidak menggunakan perundingan damai seperti biasanya.
Salah satu cara yang dilakukan untuk membebaskan wilayah sengketa itu adalah dengan melakukan demo besar-besaran dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Tak hanya itu saja, aset milik perusahaan Belanda diambil alih dan diserahkan pada pemerintah.
Peristiwa ini kemduian membuat hubungan Indonesia dan Belanda menjadi semakin buruk. Indonesia pun menganggap kalau Belanda sudah tidak lagi berniat untuk memenuhi kesepakatan yang dibuat di KMB. Maka dari itu, pada tanggal 17 Agustus 1960, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda secara resmi.
Baca juga: Peristiwa Kongres Pemuda 2: Sejarah Lahirnya Sumpah Pemuda
Mengumandangkan Trikora
Sumber: Wikimedia Commons
Untuk menindaklanjuti masalah pembebasan Irian bagian barat, Presiden Soekarno kemudian membentuk Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada tanggal 6 Maret 1961. Ia menunjuk Mayor Jenderal Soeharto untuk menjadi Panglima Komandonya.
Yang menjadi latar belakang pembentukan pasukan khusus itu adalah karena Belanda mulai menunjukkan taringnya di Irian Barat. Tak hanya membentuk parlemen, mereka juga membangun kekuatan militer di sana.
Pada tanggal 14 Desember 1961, pemerintah mengadakan sidang yang hasilnya adalah membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Presiden Soekarno sendirilah yang memimpin komando langsung.
Peristiwa yang terjadi selanjutnya adalah sang presiden menyampaikan pidato di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Ia membahas tentang Trikora atau Tiga Komando Rakyat.
Tujuannya adalah untuk merebut Irian Barat dari Belanda. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
- Menggagalkan Irian menjadi negara boneka Belanda
- Mengibarkan bendera Merah Putih di Irian
- Mempersiapkan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan pesatuan
Dengan adanya Trikora ini, Indonesia mulai melakukan konfrontasi terhadap Belanda. Pemerintah kemudian memperkuat semua bidang.
Baca juga: Perlawanan Rakyat Singaparna Melawan Penjajahan Jepang
Pembentukan Komando Mandala
Pada tanggal 2 Januari 1962, Dewan Pertahanan Nasional, Kepala Staf, dan KOTI melakukan rapat. Hasilnya adalah membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota Kotabaru dan menunjuk Putra Irian untuk menjadi gubernurnya.
Selain itu, Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Jaya. Tugasnya adalah untuk menyusun rencana, menyiapkan, dan mengadakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat supaya menjadi satu dengan Indonesia.
Dengan adanya keputusan tersebut, maka susunan komando menjadi:
- Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
- Panglima Besar Komando Tertinggi: Presiden Soekarno
- Wakil Panglima Besar: Jenderal A.H. Nasution
- Kepala Staf: Letnan Jenderal Ahmad Yani
- Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
- Panglima Mandala: Mayor Jenderal Seoharto
- Wakil Panglima 1: Kolonel Laut Soebono
- Wakil Panglima 2: Letnan Kolonel Udara Leo Wattimena
- Kepala Staf Umum: Kolonel Achmad
Pelantikan Komando Mandala terjadi pada tanggal 13 Januari 1962. Sementara itu, markasnya berada di Makassar.
Baca juga: Kebijakan Sistem Sewa Tanah yang Belaku pada Masa Penjajahan Inggris
Kronologi Kejadian Sebelum Pertempuran Laut Aru
Sumber: Wikimedia Commons
Sebagai langkah awal untuk menaklukkan Belanda, pasukan Indonesia menggunakan strategi infiltrasi atau penyusupan. Tentara yang melaksanakan tugas tersebut sebelumnya sudah mendapatkan pelatihan dari Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI).
Sementara itu, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) memiliki tugas untuk mengantarkan pleton pasukan ke Irian Barat. Lalu, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mengantarkan pasukan yang lain untuk melakukan misi serupa di lokasi lain. Sayangnya, pada waktu itu hubungan dan koordinasi antara ketiga korps tersebut kurang terjalin dengan baik.
Dalam melaksanakan misi infiltrasi tersebut, ALRI menerjunkan empat kapal perang. Namanya adalah KRI Matjan Tutul, KRI Matjan Kumbang, KRI Harimau, dan KRI Singa.
Yang menjadi Komandan Eskader adalah Kolonel Laut Sudomo. Ia berada di KRI Harimau. Selain itu, ada pula Komodor Yos Soedarso yang berada di kapal Matjan Tutul.
Sebenarnya, tak sedikit yang mempertanyakan mengenai keikutsertaan sang komodor dalam misi tersebut. Pasalnya, kedudukannya lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Sudomo. Dikhawatirkan, keikutsertaannya tersebut dapat membuat rantai komando operasi militer menjadi kacau.
Akan tetapi, keinginan Komodor Yos Soedarso untuk segera membebaskan Irian Jaya dari Belanda sangatlah tinggi. Ia juga berkata kepada Sudomo kalau laki-laki itu ikut misi, ia juga akan ikut.
Baca juga: Ulasan tentang Tujuan Dibentuknya VOC Beserta Penjelasannya
Persiapan Keberangkatan Pasukan ke Irian Barat
Sebelum terjadinya Pertempuran Laut Aru, pasukan Indonesia berangkat dari Tanjung Priok untuk bertolak ke Irian Barat pada tanggal 9 Januari 1962. Karena membawa banyak pasukan, kapal tersebut sebelumnya telah dimodifikasi terlebih dahulu.
Mereka mencopot senjata utama, yaitu torpedo yang memiliki ukuran 12 inch. Hal tersebut dilakukan supaya ruangannya menjadi lebih luas. Namun sebenarnya, ini adalah hal yang sangat fatal dilakukan. Kalau senjata andalan tidak dipasangan, pasti pasukan akan kewalahan jika tiba-tiba musuh menyerang.
Misi yang dilakukan oleh pasukan Indonesia tersebut benar-benar rahasia. Mereka bahkan tidak boleh menggunakan radio untuk melakukan komunikasi dengan pihak lain. Sinyal radio bisa saja terdeteksi dan keberadaa mereka dapat diketahui oleh lawan.
Dalam melakukan perjalanan mengarungi lautan dari Tanjung Priok ke Irian Barat, mereka sama sekali tidak boleh singgah di pelabuhan mana pun. Untuk pengisian bahan bakar dan juga keperluan logistik yang lain, akan ada kapal yang mengantar. Itu pun dilakukan pada saat malam hari untuk meminimalisir risiko ketahuan oleh Belanda.
Sayang sekali di tengah perjalanan, KRI Singa mengalami kerusakan mesin sehingga tidak dapat melanjutkan misi. Dengan demikian, hanya tiga kapal perang saja yang meneruskan perjalanan untuk melanjutkan misi.
Baca juga: Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui
Terjadinya Pertempuran Laut Aru
Sumber: Wikimedia Commons
Pada tanggal 15 Januari 1962 sekitar pukul sembilan malam, ketiga kapal pasukan Indonesia sampai di perairan Laut Aru. KRI Harimau berada di depan. Di dalam kapal perang tersebut ada Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo.
Sementara itu, di posisi tengah ada KRI Matjan Tutul yang dikomandoi oleh Komodor Yos Sodarso dan Kapten Wiratno. Lalu di posisi paling belakang adalah KRI Matjan Kumbang.
Setibanya di sana, Kolonel Musyid menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat ada tanda radar pada perlintasan yang akan mereka lewati. Mereka meyakini kalau itu adalah milik kapal Belanda
Parahnya, tanda tersebut diam dan tidak bergerak. Hal tersebut menandakan bahwa kapal berdiam diri di sana. Awalnya, mereka tetap melanjutkan perjalanan.
Tidak tahunya, dua pesawat pengintai milik Belanda menjatuhkan flare yang membuat lautan yang gelap gulita tersebut menjadi terang benderang. Apakah kamu tahu maksud tindakan dari pasukan Belanda ini? Dengan kata lain, Belanda memergoki misi pasukan Indonesia.
Selanjutnya, ada dua kapal Belanda yang menghadang laju ketiga kapal milik RI. Kedua kapal Belanda tersebut adalah Fregat Hr Ms Eversten dan Korvet Hr Ms Kortenaer.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
Puncak Pertempuran Laut Aru
Situasi di atas perairan Laut Aru menjadi semakin menengangkan. Terlebih lagi, tiba-tiba salah satu kapal perang milik Belanda melepaskan tembakan peringatan. Tembakan itu jatuh tepat di samping KRI Harimau.
Dalam keadaan yang terancam tersebut, Kolonel Sudomo lalu memerintakan anak buahnya untuk melepaskan tembakan balasan. Seragan dari KRI Harimau itu kemudian disusul dengan tembakan dari KRI Matjan Tutul. Namun sayang sekali, tembakan mereka meleset.
Parahnya, kapal perang milik Belanda berhasil menembak KRI Matjan Tutul. Tepat mengenai lambung kapal dan ruang kendali. Kejadian tersebut tentu saja membuat beberapa pasukan yang berada di kapal tersebut mengalami luka-luka, termasuk Kapten Wiratno.
Tanpa pikir panjang, Komodor Yos Soedarso lalu mengambil alih komando di KRI Matjan Tutul. Selanjutnya, kedua angkatan perang laut dari negara yang sedang bersengketa itu saling melemparkan serangan.
Sebenarnya, Pertempuran yang terjadi di Laut Aru ini sangatlah tidak seimbang. Pasukan Belanda sudah siap dan melengkapi kapalnya dengan senjata perangnya.
Sementara itu, pasukan RI bahkan tidak membawa senjata andalan mereka. Seperti yang sudah kamu simak di atas, torpedo yang ditinggalkan sebelum keberangkatan. Mereka hanya menggunakan senapam mesin dan meriam yang daya jangkaunya tidak terlalu jauh.
Baca juga: Informasi tentang Sin Po: Surat Kabar yang Tak Takut Memberitakan Perjuangan Indonesia
Akhir dari Pertempuran Laut Aru
Mengetahui situasi yang terjadi, Kolonel Sudomo lalu memberikan perintah supaya ketiga KRI putar balik dan kembali ke pangkalan. Karena kalau tetap memaksa untuk menyerang, mereka akan kalah dan kehilangan banyak prajurit.
KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang dapat memutar arah ke kanan dengan baik. Hal tersebut dilakukan supaya terhindar dari serangan fatal musuh.
Sementara itu, KRI Matjan Tutul yang lumayan rusak karena serangan Belanda gagal melakukan manuver tersebut. Kapal itu malah bergerak lurus dan mendekat ke arah kapal lawan, yaitu Fregat Hr Ms Eversten.
Karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, komando kapal lawan tentu mengira kalau KRI Matjan Tutul akan melakukan serangan balik. Karena itulah, pasukan bangsa asing itu kemudian mengerahkan pasukannya untuk menembaki kapal yang dikomandoi Yos Soedarso.
Suasana benar-benar mencekam pada saat itu. Meskipun demikian, sang komodor tetap memerintahkan pasukannya untuk tidak takut dan terus maju. Ia menjadikan KRI Matjan Tutul sebagai “umpan” supaya KRI yang lain selamat.
Dalam kondisi yang sudah benar-benar genting dan tidak ada harapan tersebut, Yos Soedarso tetap mengobarkan semangat para awak kapal untuk bertempur. Hingga akhirnya, kapal mereka benar-benar tenggelam karena mendapatkan banyak sekali tembakan dari lawan.
Komodor Yos Soedarso bersama dengan 25 prajurit yang lain pun gugur dalam menjalankan misi infiltrasi tersebut. Sementara itu, beberapa prajurit yang selamat kemudian menjadi tawanan pasukan Belanda.
Atas pengorbanan KRI Matjan Tutul, KRI Harimau dan Matjan Kumbang berhasil keluar dari perairan Laut Aru. Mereka melanjutkan perjalanan dan selamat sampai di pangkalan militer.
Baca juga: Suishintai: Barisan Pelopor Bentukan Jepang yang Menjadi Pengawal Kemerdekaan Indonesia
Hasil Akhir Kasus Irian Barat
Setelah pertempuran yang terjadi di laut Aru yang menewaskan Komodor Yos Soedarso, pasukan Indonesia kemudian semakin intensif melakukan infiltrasi. Kali ini, mereka lebih fokus melakukannya lewat jalur udara dibandingkan laut.
Semula, pasukan Belanda meremehkan usaha yang dilakukan oleh tentara RI dalam merebut Irian Barat. Bangsa asing itu juga tidak yakin kalau kekuatan militer Indonesia mampu menembus pertahanan mereka.
Namun, pasukan Indonesia dapat mematahkan anggapan tersebut lewat keberhasilan mereka dalam mengirim beberapa peleton sukarelawan ke beberapa daerah di Irian Barat. Selanjutnya, tentara Indonesia gencar melakukan operasi-operasi militer untuk menghancurkan pertahanan Belanda.
Operasi militer tersebut terjadi mulai bulan Maret tahun 1962. Beberapa nama operasi yang dijalankan adalah sebagai berikut:
- Banteng Ketaton (24 April 1962)
- Serigala (sekitar bulan yang sama)
- Naga (tanggal 15 Mei 1962)
- Jatayu (tanggal 1 Agustus 1962)
Sekitar bulan Agustus 1962, tentara Indonesia sudah menyiapkan sebuah operasi besar-besaran bernama Jaya Wijaya. Ini merupakan serangan terbuka untuk Belanda dalam rangka merebut Irian Barat. Kurang lebih ada 100 kapal perang yang diterjunkan dengan membawa 16.000 prajurit.
Semula, rencana pelaksanan Operasi Jayawijaya akan terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap I adalah untuk menguasai udara dan laut. Lalu operasi kedua adalah untuk merebut daerah Biak.
Operasi selanjutnya adalah usaha untuk merebut Jayapura dari laut. Dan, Operasi Jayawijaya IV adalah usaha untuk merebut Jayapura dari darat.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Silsilah Raja-Raja yang Memerintah Kerajaan Mataram Islam
Penyelesaian Persengketaan
Pasukan Belanda pun menyadari kekuatan pasukan Indonesia yang tak main-main menunjukkan usaha untuk merebut Irian Barat. Posisi Belanda juga sudah semakin terdesak. Hal tersebut karena negara-negara yang tadinya mendukung mereka malah berbalik mendukung Indonesia.
Salah satunya adalah Amerika Serikat. Karena itulah, mereka akhirnya mau berunding untuk menyelesaikan persengketaan. Operasi Jayawijaya pun akhirnya tidak jadi dilakukan.
Pada tanggal 15 Agustus 1962, kedua belah pihak yang bersengketa lalu mengadakan perundingan. Delegasi Indonesia adalah Adam Malik. Sementara itu, dari pihak Belanda adalah Dr. van Roijen. Lalu, ada E. Bunker dari Amerika Serikat yang bertindak sebagai penengah.
Perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York berisikan tentang Belanda yang harus mengembalikan Irian Barat kepada RI melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Nantinya, wilayah tersebut akan diserahkan kepada Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.
Sementara itu, Indonesia harus mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat, maksimal sampai akhir tahun 1969. Apapun hasilnya, kedua belah pihak harus menerimanya. Awalnya Belanda menolak keputusan tersebut, namun kemudian menyerah juga.
Pada akhirnya, Irian Barat resmi bergabung ke wilayah Indonesia. Karena berdasarkan Pepera, rakyat tetap memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Baca juga: Sekilas tentang Chuo Sangi In: Dewan Perwakilan Rakyat pada Masa Penjajahan Jepang
Tokoh-Tokoh dalam Perang Laut Aru
Tadi kamu sudah menyimak sejarah penyebab Pertempuran Laut Aru, kronologi, hingga penyelesaiannya. Berikut ini ada sedikit ulasan mengenai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa bersejarah tersebut.
1. Yos Soedarso
Sumber: Wikimedia Commons
Yosaphat Soedarso atau yang lebih dikenal dengan nama Yos Soedarso ini merupakan tokoh Pertempuran Laut Aru yang lahir pada tanggal 24 November 1925 di Salatiga. Ayahnya adalah seorang anggota polisi.
Maka dari itu, sejak kecil ia juga bercita-cita untuk menjadi seorang prajurit seperti sang ayah. Akan tetapi, orang tuanya tidak menginginkan anak lelakinya untuk terjun ke dunia militer.
Hingga kemudian, Yos remaja diterima di sekolah pendidikan guru yang terletak di Muntilan. Hal tersebut membuat orang tuanya menjadi lebih lega. Namun sayang, ia tidak dapat menyelesaikan pendidikannya karena situasi Indonesia pada saat itu benar-benar tidak kondusif.
Namun sepertinya memang takdir laki-laki ini adalah untuk menjadi seorang prajurit. Sewaktu Jepang membuka lowongan prajurit militer besar-besaran, ia diterima.
Yos Soedarso mengikuti pendidikan militer angkata laut Jepang dan menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang. Dalam kurun waktu satu tahun, ia berhasil lulus dan menjadi lulusan terbaik. Selanjutnya, ia bertuga sebagai perwira di kapal Jepang pada tahun 1944.
Setelah Jepang resmi menyerah kepada Sekutu, tokoh nasional itu lalu bergabung menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat. Ia turut aktif sebagai anggota militer. Sejak saat itu, kariernya di bidang militer berjalan dengan mulus.
Pada tahun 1950, Yos Soedarso diangkat sebagai komandan dan membawahi beberapa kapal perang Indonesia. Bahkan, ia juga semat menjadi hakim pengadilan militer tahun 1958.
Setelah itu, ia lalu naik pangkat menjadi Deputi I. Tak berapa lama, pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Dan yang terakhir, ia menjadi Laksamana Pertama (Komodor).
Yos Soedarso gugur pada tanggal 15 Januari 1962. Ia meninggalkan seorang istri bernama Siti Kustini dan lima orang anak. Untuk mengenang jasanya, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.
Baca juga: Sejarah dan Tujuan Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
2. Kolonel Sudomo
Sumber: Solo Pos
Selain Yos Soedarso, tokoh lain yang sering disebut dalam Pertempuran Laut Aru adalah Kolonel Sudomo. Ia lahir pada tanggal 20 September 1926. Sejak kecil, dirinya memang tertarik dengan dunia kelautan. Maka dari itu, ia memilih masuk ke sekolah pelayaran setelah menamatkan pendidikan menengahnya.
Kariernya di dunia militer bermula ketika ia menjadi anggota BKR laut pada tahun 1945. Tak butuh waktu yang lama, ia mendapatkan kenaikan pangkat yang cukup cepat.
Sama seperti yang telah kamu simak di atas, laki-laki ini juga terlibat dalam operasi Trikora di Laut Aru. Karena pengorbanan Yos Soedarso dan awak kapal KRI Matjan Tutul, ia dapat kembali dengan selamat. Tak lama setelah tragedi itu, Sudomo lalu menjalankan misi ke Makassar untuk membantu Mayor Jenderal Soeharto.
Situasi politik di Indonesia menjadi berubah semenjak Soeharto mengambil alih pemerintahan dari Soekarno. Kejadian ini berlangsung tak lama setelah terjadinya G30S/PKI. Soeharto melakukan “pembersihan” anggota PKI di keanggotaan tentara darat.
Sementara itu, di korps angkatan laut hal tersebut dilakukan oleh Sudomo yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Laut Kawasan Maritim Tengah. Pada tahun 1969, ia lalu diangkat menjadi Kepala Staf TNI AL.
Sewaktu Soeharto naik menjadi presiden, Sudomo lalu beralih ke kancah politik. Ia bahkan menjadi tangan kanan dan membantu menyelesaikan masalah sang presiden. Kedekatan dua tokoh Indonesia ini sepertinya terjalin sewaktu menjalankan misi di Makassar.
Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada tahun 1983. Lalu pada tahun 1988, dirinya diangkat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Hukum. Jabatan terakhirnya di pemerintahan adalah sebagi Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI pada tahun 1933–1998.
Baca juga: Peristiwa Westerling: Sejarah Kelam Bagi Masyarakat di Sulawesi Selatan Usai Proklmasi Kemerdekaan
Ulasan Sejarah Pertempuran Laut Aru
Demikianlah informasi lengkap mengenai sejarah dan kronologi Pertempuran Laut Aru yang bisa kamu simak di PosKata. Bagaimana? Semoga saja pertanyaan-pertanyaanmu mengenai salah satu peristiwa sejarah di atas.
Kalau misalnya kamu masih menginginkan untuk membaca ulasan tentang peristiwa-peristiwa setelah kemederkaan Indonesia, bisa langsung saja cek artikel yang lainnya. Tak hanya itu saja, di PosKata juga ada ulasan mengenai Indonesia pada zaman penjajahan dan juga sejarah kerajaan-kerajaan yang sayang sekali kalau dilewatkan. Maka dari itu, baca terus, ya!