
Selama ratusan tahun, Hindia Belanda atau Indonesia pernah dijajah oleh beberapa bangsa asing. Salah satunya adalah Inggris. Untuk ulasan lebih lanjutnya, kamu bisa membaca di bawah ini.
Pada tahun 1806, Hindia Belanda pernah berada di bawah kekuasaan Prancis. Namun pada tahun 1811, Inggris berhasil merebutnya. Mulai periode tersebut, Indonesia berada di fase masa penjajahan Inggris.
Pada waktu itu, di kalangan bangsa-bangsa maju Eropa sedang terjadi persaingan untuk memperebutkan wilayah koloni. Hal tersebut dikarenakan adanya anggapan bahwa bangsa yang memiliki jajahan paling banyak akan dianggap lebih unggul. Maka dari itu, mereka saling serang untuk mendapatkan wilayah-wilayah koloni.
Lantas, bagaimana nasib rakyat pada masa penjajahan Inggris di Indonesia? Apakah lebih baik atau menjadi semakin terpuruk? Kalau penasaran, kamu dapat membaca ulasan selengkapnya berikut ini. Selamat membaca!
Kebijakan Sistem Sewa Tanah yang Belaku pada Masa Penjajahan Inggris
Kebijakan sistem sewa tanah diberlakukan ketika Indonesia dijajah oleh Inggris. Tepatnya, pada masa kepemimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles sekitar tahun 1811–1816. Kalau ...
Latar Belakang Sejarah Penjajahan Inggris di Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Sekitar akhir abad ke-18, terjadilah peperangan antara bangsa Eropa untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Tepatnya pada bulan Desember 1794, Napoleon Bonaparte selaku pemimpin Prancis mengadakan serangan ke Belanda untuk menaklukkan wilayah tersebut.
Usaha penyerangan itu berhasil dan kemudian menjadikan Belanda sebagai negara boneka. Karena hal tersebut, otomatis wilayah koloni milik Belanda juga berada di bawah kekuasaan Prancis. Termasuk salah satunya adalah Hindia Belanda.
Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan Prancis. Akan tetapi, mereka masih memperkerjakan orang-orang Belanda untuk mengatur segala sesuatunya di sini. Hal tersebut dibuktikan dengan dengan penunjukkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Sebagai catatan tambahan, Daendels memang merupakan warga Belanda. Namun, ia juga dikenal sebagai simpatisan pro Prancis.
Nah, pada saat terjadi kerusuhan tersebut, rupanya pewaris tahta Belanda yang sebenarnya, yaitu Willem V, berhasil kabur. Ia melarikan diri ke Inggris pada tahun 1795 dan diterima dengan baik di sana.
Ketika bersembunyi inilah, laki-laki tersebut menemukan surat-surat penting. Isinya adalah bahwa para pejabat Belanda lebih menginginkan kalau wilayah mereka jatuh ke tangan Inggris. Dengan bukti-bukti tersebut, Inggris kemudian mengerahkan pasukannya untuk merebut daerah-daerah yang dikuasai oleh Prancis.
Pasukan Inggris semakin gesit melakukan serangan mulai tahun 1810. Pada waktu itu, mereka berhasil menghancurkan pangkalan utama milik Prancis yang ada di Mauritius.
Baca juga: Candi-Candi yang Menjadi Bukti Kemegahan Kerajaan Mataram Kuno
Penyerahan Hindia Belanda secara Resmi kepada Inggris
Setelah itu, pasukan Inggris bergerak menuju Hindia Belanda. Tanpa buang-buang waktu, mereka merebut pangkalan milik Belanda di Batavia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Agustus 1811.
Dari situ, mereka mulai menguasai daerah-daerah di sekitarnya. Hal tersebut membuat pasukan Belanda semakin terdesak sehingga mereka kabur ke daerah Jawa Tengah. Pada masa ini, yang memegang jabatan Gubernur Hindia Belanda adalah Jan Willem Janssens.
Belanda berusaha mati-matian untuk mempertahankan daerah jajahan. Namun, usahanya menemui jalan buntu. Akhirnya, mereka secara resmi menyerah dan mengakui kekalahan pada Inggris.
Kedua belah pihak tersebut kemudian memutuskan untuk bertemu dan menandatangani sebuah perjanjian pada tanggal 18 September 1811. Yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Tuntang.
Sesuai dengan namanya, lokasi penandatanganannya berada di Tuntang. Desa tersebut dipilih karena merupakan tempat yang digunakan oleh para petinggi Hindia Belanda untuk beristirahat.
Saat mengadakan perjanjian, pihak Inggris diwakili oleh Thomas Stamford Raffles. Sementara itu, wakil dari Belanda adalah Jan Willem Janssens.
Adapun isi dari Perjanjian Tuntang adalah pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan tumpu kekuasaan Hindia Belanda pada Inggris. Selanjutnya, para tentara yang tersisa dijadikan tawanan perang.
Di dalam perjanjian tersebut juga tertulis bahwa Inggris tidak akan menanggung utang milik Belanda. Meskipun demikian, para pejabat Belanda yang masih mau bekerja diperbolehkan untuk menjadi pegawai pemerintahan Inggris.
Setelah resmi ditandatangani, Thomas Stamford Raffles kemudian ditunjuk oleh pemerintah Inggris untuk menjabat sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Ia tidak menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris karena posisi tersebut masih dipegang oleh Lord Minto. Dari sinilah, masa penjajahan Inggris di Indonesia pun dimulai.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
Kebijakan-Kebijakan yang Pemerintahan Inggris di Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Berikut ini adalah beberapa kebijakan yang dijalankan oleh Raffles pada masa penjajahan Inggris di Indonesia.
1. Bidang Ekonomi
Salah satu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Inggris adalah menghapus peraturan tentang sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie) yang berupa kopi dan tembakau. Selain itu, mereka juga menghapuskan pajak hasil bumi (contingenten).
Peraturan tinggalan Belanda tersebut sangat memberatkan rakyat sehingga membuat daya beli barang-barang lain menjadi menurun. Sebagai gantinya, pemerintah menerapkan sistem sewa tanah.
Dalam peraturan tersebut para petani dianggap sebagai penyewa, sedangkan Inggris adalah pemilik tanahnya. Sementara itu, para petani bebas menentukan tanaman yang akan ditanam. Pemerintah nantinya yang akan membukakan pasar untuk memasarkan hasil pertanian.
Dengan adanya peraturan tersebut, mereka tetap harus membayar pajak. Pajak ini nanti akan diserahkan kepada petugas yang sudah ditunjuk.
Pada mulanya, mereka menggunakan sistem perorangan untuk pemungutannya. Namun karena kewalahan, akhirnya rakyat mengumpulkan kepada kepala desa terlebih dahulu. Sistem sewa tanah ini hanya berlaku di Jawa saja.
2. Bidang Birokasi Pemerintahan
Pada masa penjajahan Inggris, Pulau Jawa terbagi menjadi beberapa keresidenan. Karesidenan merupakan sebuah wilayah administratif yang diketuai oleh seorang residen.
Residen-residennya berasal dari perwakilan Inggris. Mereka ini yang memimpin para bupati pribumi. Adapun, para residen tersebut memiliki wewenang khusus saat menjalankan tugasnya dalam bidang pemerintahan, peradilan, kepolisian, maupun administrasi.
Pada zaman itu, residen merupakan wakil dari pemerintah Hindia Belanda di karesidenannya. Mereka juga memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sementara itu, menurut Peraturan Komisaris Jenderal No. 3 yang rilis pada tanggal 9 Januari 1819, Pulau Jawa terbagi menjadi dua puluh karesidenan. Pembagian di wilayah Barat adalah Banten, Jakarta, Priangan, Bogor, Karawang, dan Cirebon.
Sementara bagian tengah ada Semarang, Tegal, Pekalongan, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Jepara & Juana, dan Rembang. Lalu, di bagian timur terbagi menjadi Pasuruan, Surabaya, Banyuwangi, Besuki, Gresik, dan Madura & Sumenep.
Selanjutnya, pemerintah mencopot jabatan para bupati atau penguasa pribumi yang mereka dapatkan secara turun temurun. Tentu tidak dilepas begitu saja, mereka kemudian dijadikan sebagai pegawai pemerintah kolonial.
3. Bidang Sosial dan Hukum
Kemudian yang akan dibahas adalah mengenai kebijakan pemerintah Inggris di bidang sosial dan hukum. Salah satu yang mereka terapkan adalah dengan menghapuskan kerja paksa yang berlaku di era penjajahan Belanda.
Selain itu, Raffles juga melarang adanya hukum pynbank. Untuk yang belum tahu, pynbank merupakan sebuah hukuman yang kejam terhadap para pelanggar peraturan, khususnya kerja rodi.
Mengapa dikatakan kejam? Alasannya adalah orang-orang yang melanggar itu harus menjalani hukumannya dengan melawan harimau.
Selanjutnya, penerapan kebijakan di bidang hukum ini bisa dibilang lebih baik dari periode penjajahan yang sebelumnya. Pada zaman Belanda, periode pemberian hukumannya biasanya berdasarkan ras. Maksudnya adalah meski melakukan kejahatan yang sama, hukuman yang diberikan kepada orang Eropa, pribumi, maupun keturunan campuran bisa berbeda-beda.
Sementara itu, Raffles tidak memberlakukan kebijakan demikian. Para pelanggar akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Tidak lagi berpatokan pada ras.
Karena menurutnya, pengadilan adalah sebuah benteng untuk mendapatkan keadilan. Maka dari itu, semua warga negara harus memperoleh benteng yang sama.
4. Bidang Ilmu Pengetahuan
Beberapa kebijakan yang diterapkan pada masa penjajahan Inggris memang menyengsarakan rakyat. Namun, ada pula kebijakan yang setidaknya masih bernilai positif. Salah satunya adalah peninggalan mereka di bidang pendidikan.
Pada tahun 1817, Thomas Raffles menulis sebuah buku yang berjudul History of Java. Dalam penelitiannya, ia dibantu oeh Raden Ario Notodiningrat dan Notokusumo II. Dari buku tersebut, setidaknya ada catatan sejarah yang cukup valid mengenai apa yang terjadi pada masa penjajahan itu.
Selanjutnya, pemerintah Inggris juga memberikan bantuan kepada Residen Yogyakarta yang bernama John Crawfurd untuk melakukan sebuah penelitian. Hasilnya adalah berupa sebuah buku yang berjudul History of the East Indian Archipelago yang terbit pada tahun 1820.
Peninggalan yang tidak kalah penting dan masih dapat dilihat sampai sekarang adalah pendirian Kebun Raya Bogor. Laki-laki itu juga dikenal sebagai penemu dari bunga bangkai yang kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldi.
Tak hanya itu saja, rupanya Letnan Gubernur Hindia Belanda ini juga seorang pemerhati kebudayaan. Buktinya, ia turut aktif untuk mendukung kegiatan-kegiatan sebuah perkumpulan kebudayaan. Nama perkumpulan itu adalah Bataviaach Genootschap.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat dengan Sosok Sultan Suriansyah, Pendiri dari Kerajaan Banjar
Ulasan Singkat Mengenai Sistem Sewa Tanah
Kamu tadi sudah membaca sekilas mengenai sistem sewa tanah yang berlaku pada masa penjajahan Inggris di Indonesia, kan? Nah berikutnya, tidak ada salahnya membahas sistem tersebut lebih lanjut supaya kamu semakin mudah memahaminya.
Menurut catatan sebuah sumber, Raffles menggagas kebijakan tersebut karena melihat bahwa peraturan sebelumnya sangatlah mengikat. Maka dari itu, ia memberikan kebebasan untuk para petani dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam.
Adapun ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sistem tersebut adalah sebagai berikut:
a. Setiap petani wajib membayar pajak. Hal ini sesuai dengan kesepakatan bahwa semua tanah adalah milik negara.
b. Penentuan besaran pajak berdasarkan pada kondisi tanahanya. Selain itu, pajak untuk sawah dan ladang juga dibedakan sesuai dengan kelas-kelasnya.
- Besar pajak sawah kelas I adalah 1/2 dari hasil panen. Sawah kelas II besarnya 2/5 hasil panen. Dan, sawah kelas III harus membayar sebesar 1/3 dari panenan.
- Sementara itu, ladang kelas I dikenai pajak sebanyak 2/5 panenan. Untuk kelas II yang harus dibayar adalah 1/3 hasil panen. Sementara itu, ladang kelas III besaran pajaknya adalah 1/4 dari hasil panen.
c. Pembayaran pajak harus menggunakan uang tunai supaya lebih jelas tolok ukurnya. Karena pada masa penjajahan sebelumnya, rakyat diperbolehkan membayar menggunakan hasil bumi.
d. Bagi penduduk yang tidak memiliki tanah akan dikenai pajak kepala.
Meskipun sudah dirancang sedemikian rupa, tetap saja pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Salah satu masalahnya adalah tidak ada standar pengukuran yang jelas untuk menentukan tingkat kesuburan tanah.
Padahal, pengukuran ini adalah hal yang krusial untuk menentukan besaran pajak yang harus dibayar. Hal ini tentu saja menyebabkan kekacauan.
Selain itu, para petani kesulitan untuk menemukan pembeli. Pada masa sebelumnya, mereka terlalu bergantung kepada Belanda untuk memasarkan panenan. Akibatnya, pendapatan pun menjadi menurun.
Baca juga: Latar Belakang Terjadinya Perang Tondano: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa Melawan Belanda
Kekejaman Inggris pada Masa Penjajahan di Indonesia
Kalau dari apa yang sudah dibaca, mungkin kamu menganggap bahwa masa pemerintahan Inggris lebih menguntungkan bagi Hindia Belanda. Hal itu dikarenakan mereka menghapuskan peraturan-peraturan yang memberatkan rakyat yang berlaku selama masa penjajahan Belanda.
Namun, namanya saja penjajahan. Pihak yang dijajah tentu saja tetap menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Bangsa asing itu tidak hanya memanfaatkan sumber daya alam nusantara saja, tetapi juga memanfaatkan tenaga manusia.
Seperti contohnya, Raffles menghapuskan kerja rodi dan segala jenis perbudakan. Akan tetapi menurut sebuah sumber, ia sendiri kemudian melakukan hal yang sama.
Pada waktu itu, laki-laki tersebut pernah mengirimkan para kuli ke Banjarmasin untuk bekerja di sebuah perusahaan milik temannya yang kekurangan tenaga. Lingkupnya memang tidak besar, tetapi perbuatannya itu dapat dikategorikan sebagai perbudakan.
Kekejaman lain yang pernah terjadi adalah pembantaian Pangeran Sumodiningrat dari Keraton Yogyakarta. Namun, peristiwa sejarah ini ada kaitannya dengan perseteruan antara keraton tersebut dengan Kasunanan Surakarta.
Pada tanggal 20 Juni 1812, pasukan Inggris yang dipimpin oleh John Deans menyerbu kediaman Pangeran Sumodiningrat. Karena kalah jumlah, otomatis pihak sang pangeran mengalami kekalahan.
Selanjutnya, mereka membunuh sang pangeran dengan cara menebas lehernya. Tak sampai di situ saja, pasukan Inggris pun mengambil perhiasan beserta pakaian milik pangeran.
Baca juga: Ulasan Lengkap tentang Peninggalan Sejarah yang Berharga dari Kerajaan Mataram Islam
Akhir dari Masa Penjajahan Inggris di Indonesia
Sumber: Wikimedia Commons
Masa kejayaan Inggris di Hindia Belanda bisa dibilang sangatlah singkat. Mereka hanya menguasai negeri ini selama lima tahun saja, yaitu dari tahun 1811 hingga 1816. Lantas, apakah penyebabnya?
Cengkraman Inggris terhadap nusantara mulai lemah saat negara-negara lawan dari Napoleon Bonaparte mendirikan Kerajaan Belanda baru. Selain itu, diadakanlah Kongres Wina pada tahun 1815.
Salah satu keputusan yang disetujui dalam kongres tersebut adalah Inggris harus mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Keputusan tersebut diambil demi mengakhiri Perang Napoleon yang terjadi di benua Eropa sana.
Pada bulan Agustus 1816, Inggris secara resmi menyerahkan kembali Hindia Belanda pada Belanda. Peristiwa ini kemudian menjadi penanda berakhirnya masa penjajahan Inggris di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Inggris mencabut posisi Thomas Raffles dan memindahkannya ke Bengkulu. Selanjutnya, ia berkelana dan berhasil menaklukkan Singapura.
Kesepakatan antara Inggris dan Belanda rupanya tidak berhenti di situ saja. Sekitar tahun 1825, mereka membuat sebuah perjanjian beranama Treaty of London.
Isinya adalah mengenai Belanda yang menyerahkan kekuasaannya di Malaka untuk Inggris. Namun sebagai gantinya, bangsa asing itu meminta wilayah Bengkulu.
Dengan demikian, Belanda berkuasa atas daerah yang berada di selatan. Sementara itu, Inggris menguasai wilayah di sebelah utara garis pararel Singapura.
Baca juga: Bukti Peninggalan-Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo, Serambi Mekah di Indonesia Timur
Peninggalan-Peninggalan Inggris di Indonesia
Sama seperti Portugis maupun Belanda, Inggris juga memiliki peninggalan sejarah di Indonesia yang kini masih dapat dilihat. Beberapa contohnya adalah:
1. Bangunan Kediaman Raffles
Sumber: travelinyuk
Sebagian besar bangunan peninggalan zaman Inggris dapat kamu temukan di Bengkulu. Sebuah fakta yang tidak mengherankan mengingat wilayah tersebut merupakan pusat pemerintahan bangsa asing itu setelah diusir dari Pulau Jawa oleh Belanda.
Nah, salah satu peninggalannya adalah rumah dinas milik Thomas Stamford Raffles yang didirikan sekitar tahun 1818. Meski sudah berusia ratusan tahun, bangunan tersebut masih berdiri dengan kokoh. Ya, tentu saja sudah melewati beberapa kali renovasi, tetapi tidak meninggalkan ciri khas bangunan Inggris.
Untuk saat ini, bangunan tersebut sudah difungsikan sebagai rumah dinas milik Gubernur Bengkulu. Namanya adalah Gedung Balai Raya Semarak.
Selain itu, rupanya gedung tersebut juga dijadikan sebagai arena rekreasi bagi warga sekitar. Setiap sore, cukup banyak warga yang datang ke sana untuk melihat rusa tutul yang berkeliaran di halaman.
2. Benteng Marlborough
Sumber: Wikimedia Commons
Peninggalan sejarah Inggris selanjutnya adalah Benteng Marlborough. Lokasinya juga masih berada di Kota Bengkulu. Tepatnya berada di sebuah bukit buatan yang memunggungi Samudra Hindia.
Bangunan tersebut rupanya sudah ada jauh sebelum masa penjajahan Inggris di Indonesia, yaitu pada tahun 1714. Pendirinya adalah perusahaan dagang milik Inggris atau EIC di bawah pimpinan Joseph Callet.
Benteng Marlborough dibangun di atas tanah yang memiliki luas sekitar 44.000 meter. Bangunannya sendiri berukuran 140 x 170 meter. Jika dilihat dari atas, bentuknya menyerupai seekor kura-kura.
Dulu, tempat ini pernah digunakan sebagai kantor, barak, penjara, dan juga tempat tinggal. Bangunan tersebut kemudian dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah sekitar tahun 2004. Untuk yang ingin berkunjung, kamu bisa datang ke sini mulai pukul 08.00 dan cukup membayar sebesar Rp3.000 saja.
Baca juga: HEIHO: Organisasi Pembantu Tentara Jepang yang Turut Diterjunkan ke Perang Asia Pasifik
3. Tugu Thomas Parr
Sumber: Wikimedia Commons
Bangunan peninggalan lain yang dijadikan salah satu bukti peninggalan pada masa penjajahan Inggris di Indonesia adalah Tugu Thomas Parr. Letaknya hanya sekitar 170 meter dari Benteng Marlborough. Tepatnya, berada di Jalan Ahmad Yani, Kota Bengkulu.
Alasan pembangunan monumen tersebut adalah untuk mengenang Thomas Parr. Ia merupakan Residen Inggris yang terbunuh pada tahun 1807.
Tugu tersebut memiliki tinggi kurang lebih 13,5 meter dengan bagian atap menyerupai kubah. Sementara itu, luas tanahnya sekitar 70 m². Bangunan ini juga dimasukkan oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya.
4. Tugu Hamilton
Sumber: Cagar Budaya Kemdikbud
Hampir sama dengan yang sebelumnya, monumen yang satu ini dibangun untuk mengenang kapten angkatan laut Inggris, yaitu Robert Hamilton. Ia tewas pada tanggal 15 Desember 1793 karena amukan rakyat Bengkulu.
Lokasinya berada persimpangan tiga jalan yaitu Jalan Letkol Santoso, Jalan Soekarno-Hatta, dan Jalan M. Hasan di Kota Bengkulu. Persimpangan tersebut berada di kota yang ramai dilalui oleh kendaraan. Jadi, kamu tidak akan kesulitan untuk menemukannya.
Monumen Hamilton memiliki bentuk menyerupai obelisk dengan kaki tugu yang berbentuk persegi. Tingginya kurang lebih hanya sekitar 3 meter saja.
Pada tugu tersebut, terdapat sebuah tulisan, yaitu “Underneath this obelisk are interred the Remains of CAPTAIN ROBERT HAMILTON who died on the 15th of Dec’ 1793 at the Age of 38 Years in the Command of the Troops and Second Member of the Government.”
5. Makam Inggris
Peninggalan terakhir dari masa penjajahan Inggris di Indonesia adalah adanya sebuah pemakaman yang lokasinya tidak jauh dari Benteng Marlborough. Lokasi pemakaman ini merupakan tempat pembaringan tentara-tentara yang gugur dalam perang.
Pada zaman dulu, jumlahnya kurang lebih mencapai 1.000 makam. Ukuran nisannya pun bermacam-macam. Semakin tinggi pangkat sang tentara, biasanya akan semakin megah.
Namun, kini yang tersisa dan terawat dengan baik hanya beberapa puluh saja. Luas keseluruhan area pemakaman kurang lebih sekitar 4,5 hektar.
Baca juga: Informasi tentang Sin Po: Surat Kabar yang Tak Takut Memberitakan Perjuangan Indonesia
Ulasan Masa Penjajahan Inggris di Indonesia
Itulah tadi informasi lengkap mengenai masa-masa penjajahan Inggris di Indonesia. Bagaimana? Apakah pertanyaan-pertanyaanmu terjawab setelah membaca ulasan di atas? Semoga saja iya.
Oh iya, di PosKata ini, kamu tidak hanya bisa menemukan ulasan mengenai penjajahan saja, lho. Kalau misalnya tertarik dengan sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, kamu pun bisa menyimaknya di sini.
Tidak hanya artikel kerajaan bercorak Hindu-Buddha seperti Tarumanegara, Singasari, atau Majapahit saja. Akan tetapi, informasi menarik mengenai kerajaan bercorak Islam seperti Demak, Gowa-Tallo, maupun Mataram Islam juga ada. Jadi tunggu apa lagi? Teruskan membacanya, ya!