
Peradaban sebuah kerajaan, dapat diketahui dari benda atau bangunan peninggalannya. Nah, buat yang penasaran dengan keberadaan kerajaan Gowa-Tallo, kamu bisa menyimak ulasan tentang bukti-bukti peninggalan sejarahnya berikut ini.
Eksistensi sebuah kerajaan di masa lampau dapat dilihat dari sisa-sisa peninggalannya. Sama seperti Kerajaan Gowa-Tallo yang bukti-bukti peninggalan sejarahnya dapat kamu simak lewat artikel ini.
Berbeda dari kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu atau Buddha, kerajaan ini tidak memiliki peninggalan berupa prasasti maupun candi. Memang, kebanyakan peninggalannya berbentuk bangunan. Namun bukan candi, melainkan masjid atau benteng. Sebagian tempat peninggalan tersebut dibuka untuk objek wisata, jadi kalau berminat, kamu bisa berkunjung ke sana.
Sepertinya, kamu sudah penasaran dan tidak sabar untuk membaca ulasan lengkap tentang peninggalan-peninggalan Gowa-Tallo beserta gambarnya ini, ya? Kalau begitu, nggak usah basa-basi lagi, langsung cek saja di bawah ini!
Peninggalan-Peninggalan Bersejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo
Ulasan dari peninggalan-peninggalan penting dari kerajaan yang pernah dipimpin oleh Sultan Hasanuddin adalah sebagai berikut:
1. Masjid Tua Al-Hilal Katangka
Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo ini merupakan masjid paling tua di daerah Sulawesi Selatan. Bangunan ini diperkirakan sudah ada sejak pemerintahan Sultan Alauddin, yaitu sekitar tahun 1603. Namun ada beberapa ahli yang menyangsikan hal tersebut dan memperkirakan bangunan itu baru dibangun sekitar tahun 1700-an.
Letak dari bangunan yang sudah menjadi cagar budaya ini berada di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Gowa. Biasanya, nama sebuah bangunan diambil dari letak atau lokasinya. Namun untuk peninggalan yang satu ini, penamaannya diambil dari bahan baku pembangunannya, yaitu kayu Katangka.
Pada saat pertama kali dibangun, Masjid Katangka masih berupa sebuah bangunan sederhana. Namun ketika Islam menjadi agama resmi kerajaan, tempat tersebut mengalami perluasan.
Setelah dilakukan perluasan, luas areanya mencapai 600 m². Sementara itu, luas bangunannya kurang lebih sekitar 200 m². Selain digunakan untuk beribadah, masjid ini dulunya merupakan pusat pengembangan agama Islam di wilayah Gowa.
Menurut catatan sejarah, tempat ini pernah digunakan sebagai tempat Sultan Hasanuddin untuk berlindung setelah mengalami kekalahan dari VOC. Banyak tempat yang dihancurkan oleh penjajah itu, tapi mereka tidak menyentuh masjid tersebut.
Aristektur Unik Milik Masjid Katangka
Masjid peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo ini memiliki empat tiang yang bulat dan besar. Wujudnya seperti penyangga bangunan yang banyak ditemukan di gedung-gedung khas Eropa. Tiang ini melambangkan empat sahabat nabi.
Selanjutnya, bangunan ini memiliki enam jendela dengan lima pintu. Hal tersebut melambangkan enam rukun iman dan lima rukun Islam.
Kemudian pada bagian atapnya, memiliki bentuk seperti kubah dua lapis yang mirip dengan Joglo. Tidak sembarangan, konon bentuk ini melambangkan dua kalimat syahadat.
Sementara itu, pada bagian mimbarnya kamu dapat melihat pengaruh kebudayaan Tiongkok. Pasalnya, atap mimbarnya berbentuk mirip atap klenteng. Menurut cerita yang berkembang, dulu yang menjadi arsiteknya memang berasa dari Tiongkok.
Lalu pada bagian depannya, ada sebuah bedug yang berguna untuk memanggil umat ketika waktu salat tiba. Dulu, bedug tersebut juga memiliki fungsi untuk memanggil masyarakat untuk menghadiri pertemuan penting. Selain itu, digunakan juga sebagai penanda adanya bencana alam, perang, atau keadaan genting lainnya.
Selama berdirinya, Masjid Katangka ini pernah mengalami renovasi sebanyak enam kali. Di tahun 1816 dan 1884, secara berturut-turut direnovasi oleh Sultan Abdul Rauf dan Sultan Abdul Kadir. Gubernur Sulawesi Selatan juga pernah merenovasinya pada tahun 1963. Lalu, renovasi selanjutnya terjadi pada tahun 1971, 1980 dan 2007.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Raden Wijaya, Sang Pendiri Kerajaan Majapahit
2. Kompleks Makam Katangka
Pada halaman Masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks pemakaman yang digunakan khusus untuk raja dan para kerabatnya. Dulunya, tempat ini adalah pusat pemerintahan Kerajaan Gowa.
Katangka sendiri merupakan sebuah pohon besar yang dipercaya memiliki nilai magis. Kepercayaan merupakan pengaruh dari nenek moyang yang dulunya menganut animisme.
Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa Katangka diambil dari kata ‘tangkasa’ yang dalam bahasa Makassar berarti kampung suci. Ketika raja wafat, ia harus dimakamkan di tempat yang suci. Maka dari itu, rajaraja Gowa-Tallo dimakamkan di tempat ini.
Di area pemakaman Katangka ini terdapat setidaknya 71 makam kuno dan 170 makam baru. Kijing atau jirat yang ada pada makam kuno memiliki bentuk yang berbeda-beda. Ada yang bentukya cungkup kubah, ada pula yang bentuknya cukup rumah tradisional.
Sementara itu, bentuk nisannya juga berbeda-beda, lho. Ada yang pipih seperti pedang, balok polos, dan silindrik segi delapan.
3. Benteng Somba Opu
Benteng Somba Opu juga merupakan salah satu bangunan bersejarah peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letaknya berada di sebelah selatan pesisir Kota Makassar. Tepatnya, ada di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa.
Menurut catatan sejarah, bangunan yang digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah ini dibangun sekitar abad ke-16. Pada waktu itu, kerajaan dipimpin oleh Raja Gowa ke-9, yaitu Karaeng Tumaparisi’ Kallona.
Lalu pada masa pemerintahan raja selanjutnya yang bernama Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng, benteng tersebut diperluas dan diperkuat konstruksinya menggunakan batu padas. Baru pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-12, bangunan ini dilengkapi dengan senjata dan meriam.
Benteng Somba Opu dibangun di sebuah area yang memiliki luas wilayah mencapai 113.590 m². Bangunan tersebut berada di antara dua aliran sungai, yaitu Balang baru dan Jene’berang.
Bentengnya memiliki tinggi sekitar tujuh hingga delapan meter. Namun, kini tingginya hanya tersisa sekitar dua meter saja. Dulu, di dalamnya dibangun istana dan juga pemukiman warga.
Selain sebagai pusat pertahanan kerajaan, tempat ini dulunya juga digunakan sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Banyak sekali pedagang, baik lokal maupun mancanegara, yang datang ke sini untuk melakukan transaksi.
Namun sekitar tahun 1660-an, benteng ini hancur. Selain karena serangan dari Belanda, ombak pasang juga turut menjadi salah satu penyebab keruntuhannya.
Benteng ini ditemukan kembali pada tahun 1980 oleh para sejarawan. Rekonstruksinya sendiri baru terlaksana di tahun 1990-an.
Baca juga: Candi-Candi Bersejarah Peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya
Yang Dapat Kamu Temukan di Benteng Somba Opu
Di dalam benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo ini ada berbagai rumah ada suku-suku yang ada di Sulawesi. Contohnya adalah rumah tradisional bugis, rumah tongkonan, rumah kajang, dan lain-lain.
Selain itu, di sini juga ada sebuah museum yang digunakan untuk menyimpan benda-benda bersejarah. Namanya adalah Museum Karaeng Pattingalloang. Penamaan tersebut diambil dari nama seorang cendekiawan yang begitu disegani di Kerajan Gowa.
Tepat di depan museum, terdapat sebuah Meriam yang memiliki panjang sekitar 9 meter. Tidak tanggung-tanggung, beratnya mencapai 9.500 kilogram, lho.
Sementara itu, beberapa koleksi yang dipajang di museum tersebut. Beberapa di antaranya adalah mata uang, benda-benda kerajinan, keramik, dan batu-batu purbakala.
Sayangnya, kondisi dari benteng tersebut bisa dibilang kurang terawat. Padahal, ini merupakan salah satu cagar budaya yang harus dijaga dan dilestarikan supaya anak-cucu nanti tidak akan lupa dengan sejarah bangsanya.
Apabila tertarik untuk melakukan perjalanan wisata ke sini, kamu bisa menyiapkan uang sebesar Rp10.000 rupiah untuk membayar tiket masuknya. Objek wisata sejarah ini mulai beroperasi dari jam 08.00-19.00 WITA.
4. Fort Rotterdam
Jika di pesisir pantai utara ada Benteng Somba Opu, di bagian selatan kamu dapat menemukan Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang. Lokasi dari salah satu peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo ini berada di Bulo Gading, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar.
Bangunan purbakala yang masih kokoh tersebut didirikan pada era pemerintahan Daeng Bonto Karaeng Lakiung sekitar tahun 1545 Masehi. Pada waktu itu, bahan utama yang digunakan untuk membangun adalah tanah liat.
Lalu pada pemerintahan Sultan Alauddin, konstruksinya diperkuat dengan menggunakan batu padas. Bentuk dari benteng ini sangatlah unik karena menyerupai penyu akan turun ke laut. Karena hal tersebut, masyarakat sekitar juga menyebutnya sebagai Benteng Penyu.
Konon bentuk tersebut ada filosofinya, lho. Penyu adalah hewan yang dapat hidup di laut maupun darat. Nah, Kerajaan Gowa juga ingin seperti itu. Pada mulanya, tujuan pendiriannya adalah sebagai markas pasukan laut dari Kerajaan Gowa.
Luasnya kurang lebih mencapai tiga hektar. Di setiap sudut benteng terdapat lima pos penjagaan atau bastion. Namanya adalah Amboina, Bacan, Buton, Bone, dan Mandarasyah. Fungsinya adalah untuk mengintai dan menembak musuh.
Baca juga: Mengenal Sosok Kundungga, Sang Pendiri Kerajaan Kutai
Masa Pendudukan Belanda
Namun sayang sekali, benteng ini harus jatuh ke tangan Belanda setelah Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongayya. Pada waktu itu, banyak benteng-benteng milik Kerajaan Gowa yang dihancurkan. Akan tetapi, Benteng Ujung Pandang ini malah dibangun kembali karena letaknya yang begitu strategis.
Saat berada di bawah kendali Belanda inilah bangunan tersebut kemudian berubah nama menjadi Fort Rotterdam. Penyebutan tersebut diambil dari kampung halaman Cornelis Speelman, Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu.
Ketika kepemilikan berganti, fungsi dari Fort Rotterdam pun berubah. Benteng ini kemudian dijadikan sebagai markas pertahanan Belanda. Selain itu, juga digunakan sebagai kantor perdagangan dan tempat tinggal para petinggi.
Bahkan, tempat ini dulunya juga pernah digunakan sebagai tempat pembuangan, lho. Pahlawan nasional yang dibuang ke sini adalah Pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1937, Fort Rotterdam kemudian diserakan kepada Fort Rotterdam Foundation untuk dikelola. Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1970, baru diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Di tahun 2010, barulah Benteng For Rotterdam ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu benda cagar budaya yang dilindungi. Selain itu, kemudian dibuka sebagai salah satu obyek wisata.
Museum La Galigo
Di dalam Fort Rotterdam juga terdapat sebuah museum, namanya adalah La Galigo. Nama tersebut diambil dari nama salah seorang tokoh mitologi yang terkenal di masyarakat Bugis.
Museum tersebut didirikan di atas bekas gedung kediaman Laksmana Speelman pada tahun 1938 lalu. Pada masa kependudukan Jepang, tempat ini sempat berhenti beroperasi. Namun, kemudian beroperasi kembali pada tahun 1966.
Museum ini terdiri dari beberapa gedung dengan koleksi peninggalan yang berbeda-beda. Contohnya saja di gedung nomor 2 terdapat keramik, piring emas, lukisan, benda zaman prasejarah, dan lain-lain. Untuk peninggalan dari Kerajaan Gowa berada di ruangan no 10 gedung ini.
Sementara itu, di gedung nomor 5 berisikan beberapa jenis perahu. Tak hanya itu saja, ada juga alat-alat pertukangan, pertanian, dan etnografi emas.
Jika penasaran ingin melihat sendiri, kamu bisa langsung saja berkunjung ke sini. Tiket masuknya hanya Rp10.000 saja.
Baca juga: Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat
5. Museum Balla Lompoa
Selanjutnya adalah Museum Balla Lompoa yang terletak di Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Gowa. Bangunan peninggalan tersebut sebenarnya adalah rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa-Tallo yang dibangun pada tahun 1936 lalu.
Museum Balla Lompoa ini resmi beroperasi pada tahun 11 Desember 1973. Namanya sendiri diambil dari bahasa Makassar yang berarti rumah besar raja-raja Gowa.
Tempat yang digunakan untuk menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Gowa-Tallo tersebut berdiri di atas tanah yang lusnya hampir mencapai satu hektar. Sementara itu, luas keseluruhan bangunan kurang lebih 1.114 m².
Di sini, bangunannya terbagi menjadi dua ruangan. Yang pertama adalah ruang teras dengan luas 40 x 4,5 meter. Kemudian, ruang utamanya memiliki luas 60 x 40 meter.
Di ruang utama, kamu akan menemukan silsilah lengkap raja-raja Kerajaan Gowa. Di sini pula ada singgasana yang dulu digunakan oleh raja dan yang diletakkan tepat di tengah-tengah ruangan. Lalu, di sebelahnya terdapt payung untuk pelantikan, tombak, alat perang, dan meriam kuno.
Keseluruhan benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang ada di sini kurang lebih jumlahnya mencapai 140. Beberapa di antaranya ada mahkota, gelang, kancing, serta kalung yang terbuat dari emas bertahtakan berlian atau permata.
Menariknya lagi, kamu tidak perlu mengeluarkan sepeserpun untuk dapat melihat-lihat warisan leluhur tersebut. Hal itu dikarenakan biaya masuknya gratis.
Istana Tamalate
Tepat di samping Museum Balla Lampoa terdapat sebuah bangunan yang bernama Istana Tamalate. Bangunan ini juga merupakan sebuah replika dari istana kerajaan Gowa-Tallo yang pertama. Kalau yang aslinya tentu saja sudah punah.
Istana Tamalate dulunya merupakan pusat administrasi segala urusan kerajaan. Tempat itu tidak digunakan lagi semenjak pusat pemerintahan berpindah ke Benteng Somba Opu.
Bangunan replika ini terbuat dari kayu ini berbentuk rumah panggung. Jika dibandingkan dengan Museum Balla Lampoa, ukurannya memang lebih besar. Namun, bangunannya tidak bisa dimasuki sembarang orang.
Tidak ada benda-benda peninggalan yang tersimpan di sini. Fungsi bangunan tersebut sekarang adalah sebagai tempat untuk pertemuan, pernikahan, atau acara khusus lain.
Baca juga: Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam
6. Masjid Jongaya
Bangunan lain yang menjadi saksi bisu keberadaan Kerajaan Gowa-Tallo adalah Masjid Jongaya. Letaknya berada di kawasan pemukiman penduduk, tepatnya di Jalan Kumala, Kelurahan Jongaya Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.
Menurut beberapa catatan sejarah, bangunan tersebut mulai dibangun sekitar tahun 1900-an atas permintaan keturunan raja untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad. Bentuk dari masjid ini bisa dibilang unik karena menyerupai rumah ada khas Jawa Tengah, yaitu Joglo.
Masjid yang memiliki nama lain Babul Firdaus tersebut dulunya digunakan sebagai tempat bertemunya para raja dari Gowa, Bone, dan Lawu. Di sini, mereka tidak hanya mengatur strategi perang untuk melawan Belanda saja, tetapi juga memperdalam ilmu agama.
Bangunan peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo ini pernah direnovasi pada tahun 1952. Karena ini merupakan tempat sejarah, waktu pengerjaannya memang cukup lama supaya tidak merusak bentuk aslinya.
Setelah itu dikarenakan jamaah semakin banyak, dilakukanlah perluasan pada tahun 1977. Pada saat dibangun, luas masjid ini hanya sekitar 100 m² saja. Namun, kini luasnya sudah mencapai hingga menjadi 750 m².
Saat masuk ke dalam, kamu akan menemukan ukiran huruf Arab pada dindingnya. Selain itu, tiang penyangganya berjumlah 12 yang menyimbolkan tanggal pembangunan masjid, yaitu pada 12 Rabiulawal 1314 H.
Ruang salatnya memiliki ukuran 9 x 9 meter dengan menara berbentuk segi lima yang tinginya mencapai 17 meter. Kini selain sebagai tempat ibadah, Masjid Jongaya juga merupakan obyek wisata religi. Yang datang ke sini tidak hanya wisatawan lokal saja, tetapi banyak juga yang dari luar kota.
Baca juga: Prasasti-Prasasti Peninggalan yang Menjadi Bukti Eksistensi Kerajaan Mataram Kuno
7. Benteng Tallo
Berbeda dari Fort Rotterdam dan Somba Opu, benteng yang satu ini keadaannya bisa dibilang sangatlah miris. Lokasinya terletak di pemukiman warga, yaitu di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.
Informasi dari beberapa sumber tertulis bawah Benteng Tallo didirikan sebagai benteng pertahanan kerajaan pada abad ke-15. Bangunan ini juga memiliki andil besar untuk mengantarkan Kerajaan Gowa-Tallo menuju kejayaan.
Sayang sekali, wujudnya kini sudah tidak berupa benteng lagi, tetapi hanya seperti reruntuhan yang berdiameter sekitar 10 meter. Di sebelah-sebelahnya terdapat batu-batu bertebaran dan tertutup oleh rerumputan. Dan yang lebih parah, areanya digunakan oleh warga untuk menjemur pakaian.
Namun menurut penuturan warga sekitar, masih ada beberapa orang yang biasa datang untuk melakukan ritual doa di sini. Biasanya mereka datang pada malam Jumat.
Mereka berdoa di area yang terdapat bangunan berukuran 1×1 meter. Di dalamnya ini, terdapat semacam tembok berbentuk segiempat yang berukuran 40×40 cm. Pada bagian tengahnya biasanya ditaburi daun pandan.
Menurut ketua RW setempat, sebenarnya ada petugas dari Balai Cagar Budaya yang merawat tempat tersebut. Hanya saja, mereka tidak setiap hari datang. Ia juga mengaku pernah mengusulkan untuk merenovasi peninggalan bersejarah itu, tapi belum mendapatkan tanggapan.
Sementara itu, dari pihak Balai Cagar Budaya berdalih anggaran untuk pemeliharaan belum tentu ada setiap tahunnya. Akibatnya, peninggalan-peninggalan itu memang menjadi terbengkalai.
Baca juga: Peninggalan-Peninggalan Bersejarah Milik Kerajaan Aceh Darussalam yang Masih Ada Hingga Sekarang
8. Makam Syekh Yusuf Tajul Khalwati
Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang terakhir adalah makam Syekh Yusuf. Letaknya berada di Kecamatan Somba Opu, Gowa. Jaraknya juga tidak terlalu jauh dari Benteng Somba Opu.
Kamu mungkin penasaran dengan siapa, sih, sebenarnya Syekh Yusuf ini? Ia adalah salah satu penyebar agama Islam pada abad ke-17 yang sangat disegani oleh masyarakat Gowa.
Selain sebagai ulama, ia juga dikenal sebagai pejuang yang sangat gigih untuk melawan Belanda. Maka dari itu, ia pernah dibuang ke beberapa tempat. Selain Banten, ia pernah dibuang ke Sri Lanka.
Selama di tempat pembuangan itu, Syekh Yusuf tetap menyebarkan agama Islam. Ia juga masih dapat berkomunikasi dengan lancar dengan pengikutnya yang ada di Gowa.
Namun rupanya, kabar tersebut terdengar sampai pemerintah Belanda. Setelah itu pada tahun 1693, ia kemudian dibuang ke tempat yang lebih jauh lagi, yaitu ke Cape Town, Afrika Selatan.
Pembuangan itu tentu saja tidak mematikan semangatnya. Bahkan, ia turut berjuang bersama orang-orang Afrika dalam perang melawan imperialisme Eropa.
Syekh Yusuf meninggal pada tahun 1699 ketika usianya 73 tahun. Berita kematiannya terdengar oleh murid-muridnya di Gowa. Raja Gowa pada saat itu, Abdul Jalil, meminta agar sang ulama dipulangkan dan dimakamkan di tanah air.
Sayangnya, untuk memulangkan beliau tidaklah mudah karena tidak mendapatkan izin Belanda. Akhirnya, sang raja membentuk pasukan khusus untuk melakukannya.
Sebelum di makamkan di Gowa, jenazah Syekh Yusuf beberapa kali singgah ke tempat di mana ia memiliki banyak pendukung seperti Sri Lanka, Banten, dan Sumenep. Di tempat-tempat itu pula, terdapat replika makam dari sang ulama.
Baca juga: Kisah Lengkap tentang Sultan Maulana Hasanuddin, Sang Pendiri Kerajaan Banten
Sudah Puas Menyimak Informasi tentang Peninggalan-Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo di Atas?
Demikianlah tempat dan benda-benda bersejarah peninggalan dari Kerajaan Gowa-Tallo yang bisa kamu temukan di artikel ini. Bagaimana? Apakah rasa penasaranmu sudah terjawan? Semoga saja iya.
Kalau misalnya masih ingin menyimak ulasan menarik dari kerajaan ini, kamu nggak perlu khawatir. Langsung cek saja artikel-artikel lainnya di PosKata ini.
Nah untuk yang mencari informasi serupa mengenai kerajaan-kerajaan lain di nusantara, kamu juga bisa menemukannya di sini. Tidak hanya ada kerajaan bercorak islam seperti Samudra Pasai, Demak, atau Banten lho. Tetapi ada juga kerajaan bercorak Hindu atau Buddha seperti Majapahit, Tarumanegara, Sriwijaya, dan lain-lain.